JAKARTA, GRESNEWS.COM - Putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan Pasal 7 huruf r UU No.1 tahun 2015 tentang Pilkada membawa polemik berkepanjangan. Lewat putusan itu, MK memang memberi peluang bagi keluarga petahana untuk ikut pemilihan kepala daerah tanpa ada jeda masa satu periode kepemimpinan selama 5 tahun.

Putusan ini dinilai kontroversial lantaran dinilai hanya menghormati hak para keluarga petahana tetapi tidak menghormati hak masyarakat lainnya. Pasalnya, dengan kekuatan birokrasi, dan potensi keuangan yang ada, keluarga petahana kerap melenggang mulus menjadi kepala daerah menyisihkan mereka yang bermodal kecil, meski dalam soal adu program belum tentu kalah.

Dari sinilah kemudian muncul apa yang disebut dengan dinasti politik. Satu keluarga secara turun-temurun menguasai posisi-posisi strategis di daerah, khususnya posisi eksekutif. Terjadinya politik dinasti ini pula yang kerap menimbulkan kasus-kasus korupsi besar di daerah.

Contoh paling nyata tentunya adalah mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah. Keluarga Atut selama ini dikenal sebagai penguasa Provinsi Banten dimana hampir setiap posisi penting di level provinsi, kotamadya ataupun kabupaten, banyak dikuasai saudara-saudara Atut. Nasib dinasti politik Banten ini kemudian berakhir tragis.

Atut ketahuan menyelewengkan dana APBD provinsi dan menggunakannya untuk membiayai proyek-proyek di Provinsi Banten yang pengerjaannya diserahkan kepada perusahaan milik adiknya Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan. Kasus ini juga membuka kasus-kasus korupsi lainnya seperti pengadaan alat kesehatan di Tangerang Selatan yang juga melibatkan keluarga Atut.

Terkait hal ini, Plt Pimpinan KPK, Indriyanto Seno Adji mengatakan, sejak awal KPK memang sudah mengingatkan bahwa politik dinasti memang rawan praktik korupsi. "Apapun saya menghormati putusan MK mengingat basisnya adalah hak asasi warga negara dalam kehidupan dan sistem ketatanegaraan," kata Indriyanto, di KPK, Kamis (9/7).

Guru besar ilmu hukum pidana itu mengingatkan, KPK sudah berpengalaman menjerat beberapa kepala daerah yang jadi tersangka di KPK hampir selalu berkaitan dengan politik dinasti. "Soal potensi korupsi terhadap dinasti politik itu sangat memungkinkan berdasarkan praktik empiris, seperti Gubernur Banten, lalu ada kasus Bupati Empat Lawang dan beberapa kasus lain," jelas Indriyanto.

Karena itu, kata Indriyanto, dengan adanya putusan MK ini, KPK mengingatkan agar semua pihak berhati-hati karena akibat putusan MK, maka praktik politik dinasti tak mudah untuk dibendung lagi. "Sebaiknya implementasi politik dinasti harus dimaknai secara prudent yang akuntabel," tegas Indriyanto.

POLITIK DINASTI MAKIN SULIT DIHADANG - Dihapusnya pasal yang membatasi keluarga petahana untuk ikut pilkada tanpa jeda satu masa kepemimpinan ini, memang diprediksi bakal semakin memperkuat posisi dinasti-dinasti politik yang sudah terbentuk di daerah. Kenyataan ini cukup membuat pusing Badan Pengawas Pemilu yang memprediksi dalam pilkada serentak mendatang bakal banyak terjadi pelanggaran.

Menurut Ketua Bawaslu Muhammad, petahana memiliki potensi pelanggaran yakni mengerahkan birokrasi. "Petahana punya potensi (pelanggaran) mengerahkan birokrasi, melalui mobilisasi PNS, promosi jabatan, potensi itu tetap ada," ujar Muhammad di Hotel Mercure, Ancol, Jakarta Utara, Rabu (8/7).

Selain itu, penggunaan fasilitas negara ataupun menggunakan anggaran APBD merupakan potensi yang mungkin dapat digunakan oleh oknum petahana. "Kami sudah punya antisipasinya, dengan memahami potensi itu kami sudah bisa melakukan upaya pencegahan," ungkapnya.

Meski mengabulkan disnasti politik, Ketua MK Arief Hidayat menyatakan memang kenyataannya di mana kepala daerah petahana memiliki berbabagi keuntungan. Oleh karena itu penting untuk dirumuskan pembatasan-pembatasan agar keuntungan-keuntungan tersebut tidak disalahgunakan oleh kepala daerah petahana untuk kepentingan dirinya, anggota keluarganya, serta kerabatnya.

Hanya saja, menjalankan pengawasan seperti itu tentunya bukan perkara mudah mengingat dengan kekuasaannya, apalagi jika dinasti politik sudah terbentuk lama, akan mudah bagi keluarga petahana untuk membungkam suara-suara kritis yang muncul. Apalagi, sukses tidaknya dinasti politik melanggengkan kekuasaannya akan sangat tergantung pada daya kritis masyarakat pemilihnya.

"Ini adalah PR besar untuk pemilih karena itu harus kritis pada calon yang ada. Tidak boleh apatis apalagi permisif karena dinilainya politik dinasti hal wajar di daerahnya. Tidak boleh lagi begitu," kata Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini.

Dia mengatakan, keputusan MK yang terkesan melanggengkan politik dinasti ini harus dilawan secara nyata oleh masyarakat. "Caranya mudah yakni dengan mempelajari seluruh calon kepala daerahnya," ujarnya.

Yang paling penting, tak boleh ada pembiaran agar kerabat petahana menang hanya karena politik dinasti sudah menjadi hal yang biasa dalam perpolitikan di daerah. "Ini bukan negara kerajaan yang mengharuskan hanya keturunan raja yang harus naik sebagai pemimpin. Kita harus memberi kesempatan yang sama pada masyarakat. Apatisme masyarakat yang merasa sudah terbiasa dengan politik di dinasti daerah sudah tidak boleh," tegas Titi.

Titi menyebut, dengan putusan itu, MK tak paham substansi larangan keluarga petahana ikut pilkada tanpa jeda satu periode kepemimpinan. Ia menjelaskan, bukan tak mungkin anggaran di APPB dilahirkan untuk kebutuhan kampanye keluarga (petahana).

"Sayangnya ini tidak dielaborasi MK. MK hanya melihat dari satu sisi saja yakni perlindungan pada hak politik kerabat petahana. Padahal ada yang lebih penting yakni perlindungan kepentingan politik yang jurdil dengan pengaturan pencalonan," pungkasnya.

PENGAWASAN BIROKRASI DIPERKETAT - Putusan MK memang terlanjur diucapkan, dan putusan itu bersifat mengikat dan berkekuatan hukum tetap. Karena itu, untuk menghadang laju dinasti politik dalam melakukan penguasaan berbagai sumber daya di daerah lewat kekuasaan, maka diperlukan suatu sistem pengawasan yang ketat.

Titi mengatakan, yang harus dilakukan masyarakat saat ini untuk menghadang politik dinasti adalah melakukan pengawasan ketat bagi petahana hingga birokrasi di daerah tidak dimobilisasi petahana untuk tujuan tertentu. "Pengawasan internal birokrasi harus diperketat," ujarnya.

Dia mengatakan, negara harus memberikan perlindungan untuk para PNS ini agar tak bisa tersandera oleh kepentingan kepala daerahnya. Pasalnya, PNS kerap dijadikan alat kepala daerah untuk menggunakan anggaran daerah untuk kepentingan kampanye.

Titi memberi contoh beberapa camat di Jakarta yang akhirnya masuk bui karena menyelewengkan anggaran APBD. Kala itu, bertepatan dengan peristiwa Pilkada di Jakarta dimana Gubernur DKI Fauzi Bowo kembali ingin maju.

Karena itu, ia berharap Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN RB) bisa bekerja sama dengan KPK dan lembaga hukum lainnya serta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk memberi jaminan untuk PNS yang ingin melaporkan instruksi kepala daerahnya agar menggunakan anggaran daerahnya untuk kebutuhan kampanye.

"Kerjasama dengan lintas lembaga sangat bisa dilakukan apalagi KPK punya fungsi pencegahan dan penindakan," sambungnya.

Memang putusan MK itu tak seharusnya memadamkan semangat memerangi politik dinasti. "Terus perangi politik dinasti, masyarakat masih bisa tak memilih mereka yang terkait politik dinasti. Parpol juga punya tanggung jawab besar untuk menghentikan mata rantai politik dinasti," kata pengamat politik Universitas Paramadina, Hendri Satrio, kepada wartawan, Kamis (9/7).

Langkah untuk itu memang akan sangat tergantung kepada masyarakat sendiri untuk bisa bergerak untuk menyelamatkan demokrasi yang berkeadilan. "Demokrasi itu terganggu ketika ruang kontestasi untuk menjadi pemimpin baik di pilkada di tingkat kabupaten, provinsi, maupun pilpres itu didominasi oleh klan tertentu yang mengakibatkan rakyat tidak punya pilihan politik yang ideal," kata Sekjen Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Raja Juli Antoni.

Sebenarnya masih ada satu jalan lagi untuk kembali menegakkan aturan tentang politik dinasti. Yakni DPR melakukan revisi UU Pilkada karena pasal yang mengatur larangan politik dinasti sudah dihapus MK. "Tapi untuk yang satu ini kita semua tahu sepertinya sulit," ujar Toni pesimistis.

Padahal parpol adalah pintu masuk setiap calon kepala daerah di pilkada yang tidak menggunakan jalur independen. Saat ini sejumlah parpol mengecam putusan MK, namun mengecam saja tidak cukup, buktikan jika parpol punya komitmen memerangi politik dinasti.

LANGKAH JOKOWI HADANG POLITIK DINASTI - Terkait putusan MK tersebut, pemerintah memang sebaiknya tak mengambil sikap diam. Pemerintah sendiri dituntut proaktif untuk bersama-sama masyarakat menghadang pelanggengan politik dinasti ini.

Terkait hal ini, menurut Ketua KPU Husni Kamil Manik, Presiden Jokowi telah memberikan arahan agar petahana dan PNS tak ambil keuntungan. PNS, kata Husni, dituntut Jokowi untuk bersikap netral di gelaran pilkada.

"Tadi sudah ada beberapa langkah yang dimintakan dan kemudan Presiden instruksikan misalnya semua PNS daerah harus netral. Nanti Menteri PAN-RB, membuat surat edaran agar semua pegawai negeri di daerah harus netral. Kemudian Bawaslu melakukan penguatan terhadap pengawasannya, agar fasilitas negara tidak dipakai untuk kepentingan kelompok tertentu," kata Husni usai rapat terbatas tentang pilkada di Istana Negara, Jl Veteran, Jakarta Pusat, Rabu (8/7) sore kemarin.

Husni menyebut bahwa sudah ada upaya untuk mencegah politik dinasti, sehingga keputusan MK ini tidak dimanfaatkan oknum petahana. Selain itu KPU juga siap mengubah peraturan untuk menyesuaikan dengan putusan MK terkait keluarga petahana di Pilkada.

"Pertama, kami masih menunggu beberapa keputusan lagi yang akan dibacakan sampai esok hari jadwalnya. Jadi kami belum tahu. Sehingga nanti bisa dilakukan perubahan secara bersama menyangkut tentang yang disampaikan tadi. Jika ada keputusan MK yang berbeda dari UU, tentu kita pakai yang diputus oleh yang menjadi bagian dari putusan MK itu sendiri termasuk tentang petahana sendiri, yang kita ikuti putusan MK itu. KPU akan sesuaikan dengan peraturan KPU dengan putusan MK yang telah terbit dan kemungkinan akan terbit pada esok," ujar Husni.

Husni menegaskan bahwa putusan MK tak akan mengganggu jadwal pilkada serentak yang telah ditetapkan 9 Desember 2015. Revisi Peraturan KPU akan dilakukan dengan cepat. "Presiden sendiri sudah sampaikan semua pelaksanaan sesuai dengan tahapan yang ada," imbuh Husni.

MK YANG TERLALU LEGAL FORMAL - Mantan Ketua Panitia Kerja Rancangan Undang-undang tentang Pemilihan Kepala Daerah Abudullah Hakam Naja menyayangkan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Menurut dia dalam mengambil putusan posisi MK sangat legal formal yakni hanya membaca konstitusi dalam konteks kata-kata atau kalimat.

Semestinya, kata Hakam, MK juga melihat semangat atau nilai yang terkandung dalam konstitusi tersebut yakni aspek keadilan yang harus dijunjung tinggi. Dengan membuka peluang praktik dinasti, maka kesempatan rakyat untuk menduduki jabatan politik di pemerintah jadi terbatas. "Sangat disayangkan MK tidak melihat sudut pandang ini (keadilan)," kata Hakam, Kamis (9/7).

Politikus Partai Amanat Nasional itu juga tak sepakat dengan alasan MK bahwa pembatasan politik dinasti melanggar hak asasi manusia. Menurut dia soal pembatasan HAM itu diatur dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 28 huruf J.

"Pembatasan (politik dinasti) ini konstitusional, sesuai pasal tentang HAM di UUD 45 bahwa pembatasan HAM itu bisa dilakukan," kata Hakam.

Dia kemudian mencontohkan soal praktik pembatasan HAM bagi masyarakat untuk menyampaikan aspirasi dengan cara menggelar demonstrasi. Demonstrasi menyampaiakan aspirasi adalah hak asasi manusia, namun dibatasi oleh penegak hukum yakni hanya boleh sampai pukul 18.00 sore.

Semangat mencegah politik dinasti juga sama dengan pembatasan praktik kartel untuk mencegah monopoli oleh sekelompok konglomerat. "(Monopoli) yang besar dibatasi agar yang kecil bisa terlindungi," kata Hakam.

Pendapat berbeda disampaikan mantan Ketua MK Mahfud MD yang mendukung putusan tersebut. Mahfud menilai, putusan MK tersebut sudah tepat, karena memang seharusnya keluarga pejabat itu tidak boleh dilarang untuk menjadi calon kepala daerah. Karena, menurut Mahfud, bisa jadi anggota keluarga pejabat itu memang benar memiliki kapasitas yang unggul.

"Dan belum tentu juga dia didukung oleh kerabat, bisa jadi dia saudara tapi dia ingin mengganti kakaknya karena kakaknya dianggap kurang baik itu bisa juga. Maka tidak boleh ada larangan itu dan MK sudah benar memutus itu," ujar Mahfud usai buka puasa bersama dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla di Istana Wakil Presiden, Jl Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Rabu (8/7) kemarin.

Mahfud juga menegaskan, di dalam Undang-undang diitegaskan bahwa setiap orang berhak untuk maju sebagai calon kepala daerah. Untuk itu, diperlukan Peraturan Pemerintah (PP) lebih lanjut untuk megawal kebijakan ini.

"Karena dalam UUD itu disebut setiap orang, bukan setiap keluarga, berhak. Sekarang bagaimana caranya, ini kan bukan soal konstitusionalitas tapi moralitas politik. Oleh sebab itu menurut saya pemerintah bisa membuat PP sabagai panduan untuk melaksanakan itu, bahwa apabila petahana atau calon menggunakan kedudukan petahana untuk mengambil keuntungan, di situ bisa dibatalkan pencalonannya dalam, proses apa pun," jelas Mahfud.

PP itu juga nantinya diharapkan bisa memudahkan MK dalam memutus perkara sengketa pilkada. "Kalau ada PP seperti itu MK bisa memutuskannya dengan mudah jika ada sengketa karena sudah ada panduannya. Kalau dulu MK memegang panduan meskipun semuanya terbukti dulu, tidak dibatalkan karena MK dulu punya pedoman harus signifikan, lalu pembutkianya nunggu pidana. Nah sekarang kalau ada PP yang mengatur seperti itu ya lebih gampang penerapannya di MK maupun di pengadilan umum. PP ini presiden yang menyiapkan," tambahnya. (dtc)

BACA JUGA: