Mahkamah Konstitusi (MK) menggugurkan gugatan pasal makar yang diajukan Pembina Advokad Cinta Tanah Air (ACTA) Habiburokhman. Majelis hakim konstitusi mengganggap pemohon tidak serius dalam mengajukan gugatan.

Dalam sidang putusan yang dihadiri sembilan hakim konstitusi, baik pemohon maupun kuasa hukum Habibburokhman tidak terlihat batang hidungnya. Putusan sidang kali ini dibacakan oleh Wakil Ketua MK, Anwar Usman.

"Menyatakan permohonan gugur," ujar Usman dalam persidangan di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Gambir, Jakarta Pusat, Selasa (30/5).

Sedangkan dalam pertimbangannya, hakim konstitusi Saldi Isra, menjelaskan kewenangan hakim untuk berikan nasihat untuk kelengkapan bukti dan saksi. Namun dari hal itu pemohon tidak menujukan itikad baik. "Pemohon tidak sungguh ajukan permohonan aquo dan sesuai azas peradilan seserhana dinyatakan gugur," papar Saldi.

Saldi mengatakan dinyatakan gugur permohonan Habiburokhman bukan tanpa alasan. Sebab meski telah dijadwalkan dan dipanggil secara sah pemohon juga tidak hadir. "Panitera telah ditelpon tidak jawab, meskipun telah ada nada jawabnya," ujarnya.

Pada siaran pers, Senin (3/4/2017), Habiburokhman mendaftarkan Pasal 87 dan Pasal 110 Ayat 1 KUHP yang mengatur percobaan permufakatan makar ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dia berpendapat tidak logis bila menyamakan percobaan makar dengan tindakan makar itu sendiri.

"Akibatnya orang yang mengkritisi pemerintah rentan sekali dijerat secara hukum dengan kedua pasal tersebut secara bersamaan dan dituduh melakukan percobaan permufakatan makar," tulis Habiburokhman.

Gugatan itu diterima MK dengan nomor 1657/PAN.MK/IV/2017.

Pasal 87 KUHP sendiri berbunyi "Dikatakan ada makar untuk melakukan suatu perbuatan, apabila niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, seperti dimaksud dalam pasal 53". Kemudian Pasal 110 KUHP berbunyi "Permufakatan jahat untuk melakukan kejahatan menurut pasal 104, 106, 107, dan 108 diancam berdasarkan ancaman pidana dalam pasal-pasal tersebut."

Akibatnya, lanjut dia, orang yang mengkritisi pemerintah rentan dijerat kedua pasal tersebut secara bersamaan dan dituduh melakukan percobaan permufakatan makar yang ancaman hukumannya sama dengan tindak pidana utama makar.

"Apalagi beberapa waktu yang lalu banyak aktivis nasionalis dan Islam ditangkap dengan dalih pasal itu," ucap Habiburokhman.
 
Politikus Gerindra ini menilai Pasal 87 dan 110 KUHP berpotensi melanggar hak konstitusi seluruh warga negara Indonesia.

Dua pasal tersebut juga dianggapnya bertentangan dengan Pasal 28D ayat 1 UUD 1945 tentang hak mendapatkan kepastian hukum dan Pasal 28 G ayat 1 UUD 1945 tentang perlindungan untuk berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
 
"Dalam petitum saya menuntut agar MK menyatakan pasal percobaan permufakatan makar bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," ucap Habib.

Habib juga mencantumkan permohonan putusan sela agar penegak hukum melakukan moratorium penggunaan pasal percobaan permufakatan makar sampai dengan adanya keputusan final dari MK.
 
"Saya juga berharap agar jangan ada penangkapan dan penahahan terhadap warga negara Indonesia hanya karena melakukan rapat-rapat dan menyampaikan pendapat yang mengkritisi pemerintah. Jangan sampai ada kriminalisasi terhadap sikap kritis," katanya. (dtc/mfb)

BACA JUGA: