JAKARTA, GRESNEWS.COM - Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) mengusulkan agar sistem partipating interest (PI) bagi daerah penghasil minyak dan gas (migas) diganti dengan sistem royalti. Usulan itu mengemuka dalam diskusi bertema “Mengawal Revisi UU Migas” yang digelar oleh Pengurus Pusat ISNU di gedung PBNU Jakarta, Rabu (16/6).

Sekretaris Jenderal PP ISNU, M. Kholid Syeirazi mengatakan bahwa selama ini sharing pendapatan kepada daerah penghasil migas dalam bentuk PI faktanya banyak diselewengkan. Banyak daerah yang mendapat bagian PI tidak mampu membiayainya karena keterbatasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Banyak daerah akhirnya menggandeng swasta. "Ketidakmampuan daerah dalam mengadakan pembiyaaan memunculkan fenomena Ali-Baba. Yakni, swasta berkedok BUMD," katanya.

Meskipun, PI akhirnya dapat dibeli oleh BUMD, namun kendali kebijakan tetap dipegang oleh swasta pemasok modal. Karena itu, menurut M. Kholid, revisi atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas harus dipikirkan kembali mekanisme yang pas soal sharing ke daerah penghasil migas ini.

“Ini harus dikoreksi. Misalnya, dengan mengonversi langsung PI menjadi royalti ke daerah. Yang langsung disetor ke kas daerah,” ujarnya. Seperti diketahui, proses revisi UU Nomor 22 Tahun 2001 sudah masuk agenda program legislasi nasional (Prolegnas) 2015 ini.

Menanggapi usulan itu, Anggota Komisi VII DPR RI Kurtubi menyatakan bahwa hal itu bisa juga menjadi alternatif. Namun, tentu saja hal itu ada kelemahannya dan kelebihannya.

Lelaki yang saat ini istiqamah memakai peci hitam itu menjelaskan bahwa, sesuai ketentuan undang-undang, daerah selama ini berhak mendapat jatah participacing interest (PI) atau penyertaan modal sebanyak 10 persen. Namun, dulu saat kebijakan mengenai PI disusun tidak terpikirkan bagaimana  daerah membiayai. "Rata-rata daerah itu APBD-nya tidak mampu untuk membeli saham 10 persen yang disediakan untuk daerah”.

Karena daerah tidak punya dana, mereka lalu mencari solusi dengan menggandeng perusahaan swasta. "Swasta yang keluar uang, lalu dibagi (hasilnya). Pemda tidak lagi dapat 10 persen, namun lebih kecil. Tapi dia nggak keluar duit. Yang keluar duit swasta,” katanya.

Menurut Kurtubi proses kerjasama dengan swasta itu dilakukan pemerintah daerah dengan persetujuan dari DPRD. Sudah sesuai dengan aturan yang ada. Kecuali jika antara pemda dengan swasta ada kongkalikong, itu sudah masuk ranah pidana. "Ada praktik sogok-menyogok misalnya, itu kriminal," katanya.

Masalahnya, saat ini menurutnya ada menilai daerah tidak mendapatkan manfaat yang maksimal dengan sistem PI tersebut. Yang didapat pemda menjadi lebih kecil karena harus berbagi dengan swasta.

Anggota Fraksi Partai Nasional Demokrat itu mengatakan bahwa ada beberapa pilihan untuk membuat daerah penghasil mendapatkan manfaat dari pengelolaan minyak dan gas yang ada di daerahnya. Pertama, perlu ada regulasi pemerintah yang mengatur agar pemerintah daerah itu bisa mendapat uang untuk membeli jatah PI-nya.

Misalnya pemerintah daerah dapat meminta dukungan dari pemerintah pusat. Pemerintah pusat dapat mendukung jika Pemda ingin meminjam uang dari Bank untuk membeli jatahnya. Dengan uang pinjaman bank itu, pemerintah daerah dapat membeli saham itu. Setelah itu pemerintah dengan duit itu dia bisa membeli saham itu. "Nanti pemda bayar ke bank dari deviden yang mereka terima. Bisa seperti itu. Saat ini kan belum ada regulasinya," katanya.

Selain itu, usulan ISNU soal royalti juga masuk akal. Daerah tinggal menunggu uang ditransfer dari pusat, daerah tidak usah repot mencari dana dan membuat Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). "Bisa seperti itu. Jadi daerah terima bersihnya saja. Royalti dari hak PI bisa ditrasnfer dalam bentik uang ke daerah," katanya.

Namun, Kurtubi juga mengatakan sistem seperti ini juga ada kelemahannya. Karena tidak ada BUMD yang punya saham, Pemda tidak bisa ikut mengatur kebijakan perusahaan pengelola migas. "Kalau ada BUMDnya, pemda bisa jadi komisarisnya, bisa jadi apa, ikut menentukan. Tapi kalau hanya terima duit ya tidak bisa ikut menentukan arah BUMD,” pungkasnya. (Agus Hariyanto)

BACA JUGA: