JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah tengah menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang berisi tentang Perlakuan Perpajakan dan atau Penerimaan Negara Bukan Pajak di Bidang Usaha Pertambangan Mineral. Rencananya, beleid tersebut akan menjadi pegangan untuk stabilitas investasi bagi para investor, salah satunya PT Freeport Indonesia.

Dalam draf RPP tersebut menyatakan bahwa RPP dibuat untuk pemegang Kontak Karya mineral logam yang belum berakhir dan berubah bentuk pengusahaan menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) operasi produksi. Dalam hal ini bisa dibilang RPP itu dibuat untuk Freeport.

Ahli Hukum Pertambangan Bisman Bhaktiar berpandangan, ketentuan dalam RPP yang memberikan keringanan pajak lagi untuk Freeport, jelas merupakan fasilitas bagi Freeport. Menurutnya, selama ini sudah luar biasa banyak fasilitas yang diberikan kepada Freeport termasuk "fasilitas" untuk melanggar UU Minerba, contoh izin ekspor dan janji buat smelter yang tidak kunjung konkret.

"Dalam RPP tersebut memang ada jenis pajak yang turun atau memberikan keringanan pajak untuk Freeport, tetapi jenis pajak tersebut harus dibarengi dengan kenaikan jenis pajak atau penerimaan negara yang lain. Sehingga harus dipastikan secara total penerimaan negara dari Freeport tidak boleh turun," kata Bisman dalam siaran pers yang diterima gresnews.com.

Namun, kata Bisman, apabila ternyata keringanan pajak ini secara umum membuat penerimaan negara dari Freeport menjadi turun, maka ini tidak sesuai dengan hasil perundingan dan kesepakatan final pemerintah dan Freeport yang diumumkan oleh Menteri ESDM pada 29 Agustus lalu, yang menyebut pada nomor 4, bahwa ada klausul stabilitas penerimaan Negara. "Artinya apabila ada negosiasi atau kebijakan baru, maka penerimaan negara secara agregat harus lebih besar atau tidak boleh turun," tegas dia.

Lebih lanjut menurut Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP) itu, ketentuan dalam RPP ini jika menyebabkan penerimaan negera turun juga bertentangan dengan Pasal 169 UU Minerba yang menyebutkan bahwa renegosiasi hanya bisa dilakukan apabila merupakan peningkatan penerimaan negara. "Apabila dalam RPP tersebut penerimaan menjadi turun jelas merupakan pelanggaran UU Minerba," tegasnya.

Di dalam draf RPP tersebut, pada BAB VII Pasal 14 menyatakan tarif pajak penghasilan (PPh) yang dibayarkan Freeport setelah berubah menjadi IUPK sebesar 25 persen. Persentase ini menunjukkan penurunan ketimbang status Freeport saat memegang KK yakni sebesar 35 persen.

Selain itu, ketika sudah berubah status menjadi IUPK, Freeport juga harus membayar bagian negara sebesar 10 persen dari keuntungan bersih atau setelah dikurangi PPh. Bagian negara ini dibagi menjadi dua untuk pemerintah pusat sebesar 4 persen dan pemerintah daerah 6 persen. Jadi, Freeport tetap menyetorkan 35 persen kepada negara. (mag)

BACA JUGA: