JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kejaksaan Agung dalam pendapat hukum (legal opinion) terhadap kasus restrukturisasi dan penjualan kondensat oleh Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi alias SKK Migas (dahulu BP Migas) kepada PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (PT TPPI) telah menyatakan kasus tersebut merupakan perkara perdata. Kejaksaan Agung juga menyebutkan dalam kasus ini tidak ada kerugian negara yang timbul.

Meski demikian, dalam legal opinion tersebut Kejaksaan Agung juga tetap membuka peluang membawa kasus ini ke ranah pidana jika di kemudian hari diketahui bahwa dana yang digunakan berasal dari hasil kejahatan, otomatis perjanjian restrukturisasi utang (Master Restructuring Agreement/MRA) langsung batal demi hukum dan pelakunya tergolong melakukan tindak pidana. Terkait hal ini, Kejaksaan Agung memang menegaskan perlu kejelasan dari pemilik PT TPPI Honggo Wendratno mengenai asal usul pendanaan MRA dari Deutsch Bank yang dikucurkan kepada Pertamina, PPA dan BP Migas senilai US$500 juta.

Posisi Honggo sendiri, menurut Kejaksaan Agung, bukan kreditor maupun obligor walau Honggo merupakan pihak yang terafiliasi dengan para obligor. Posisi Honggo menjadi unik karena utang-piutang adalah antara badan hukum bukan pribadi Honggo sehingga kedudukan Honggo dalam MRA atau restrukturisasi PT TPPI adalah sebagai pihak ketiga terafiliasi yang memberikan jaminan dalam MRA.

Dengan demikian kedudukan Honggo harus dinyatakan oleh pihak obligor secara khusus. Adanya celah yang diberikan Kejaksaan Agung terkait kasus TPPI ini memang membuat peran Honggo menjadi penting untuk menentukan arah perjalanan kasus TPPI agar tak berakhir antiklimaks.

Terkait legal opinion itu sendiri, pihak Kejaksaan Agung menegaskan, pendapat hukum tersebut hanya diberikan kepada lembaga negara. "Sebab Kejaksaan tidak hanya menyidik atau menuntut perkara, tetapi juga sebagai pengacara negara," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung (Kapuspenkum) Tony T Spontana kepada Gresnews.com, Selasa (23/6)

Dalam Kepja (Keputusan Jaksa Agung-red) Nomor Kep-225/A/JA/3/2003 disebutkan tugas dan wewenang jaksa pengacara negara, salah satunya memberikan pertimbangan hukum kepada instansi pemerintah, BUMN dan BUMD. "Namanya pendapat, bisa diikuti atau tidak, jadi tidak mengikat," kata Tony kepada Gresnews.com, Senin (22/6).

Tony menegaskan, legal opinion yang diberikan jaksa juga tidak bisa berdiri sendiri. Tetapi tetap berkaitan dengan pertimbangan dan aturan lain. Begitupun ketika dibawa ke pengadilan, tidak bisa berdiri sendiri. Namun Tony mengatakan, sah-sah saja jika seseorang menjadikan legal opinion ini tameng melindungi dirinya dari jeratan pidana.

Terkait legal opinion kasus SKK Migas yang dikhawatirkan akan menimbulkan konflik kepentingan di internal Kejaksaan, Tony membantahnya. Kasus dugaan korupsi penjualan kondensat yang ditangani Bareskrim akan tetap ditelaah secara proporsional dan profesional oleh jaksa peneliti. Dan saat ini kasusnya masih disidik oleh Bareskrim Polri. "Akan tetap ditangani secara propersional," jelas Tony.

PERAN HONGGO DI KASUS TPPI - Pernyataan Tony Spontana terkait legal opinion Kejaksaan Agung atas kasus ini memang menggambarkan sikap hati-hati kejaksaan dalam memandang perkara ini. Kehati-hatian itu juga terlihat dari cara jaksa pengacara negara dalam memandang peran Honggo dalam kasus ini yang tertuang dalam dokumen legal opinion yang diterima Gresnews.com.

Dalam dokumen itu, pihak Kejaksaan Agung terlihat jelas mengarisbawahi perlunya ditegaskan status Honggo dalam perikatan terkait Master Restructuring Agreement (MRA) atau perjanjian induk restrukturisasi antara Pertamina, SKK Migas, TPPI, Tuban Petrochemical Industries, Petroina Ltd, Tuban Petroina dan Honggo sendiri.

Perjanjian MRA ini sendiri terjadi akibat perjanjian sebelumnya yaitu penjualan kondensat SKK Migas kepada TPPI berdasarkan perjanjian tanggal 23 April 2010. Penjualan kondensat SKK Migas ke TPPI sendiri bermula dari inisiatif Wakil Presiden (ketika itu) Jusuf Kalla.

Dalam surat bernomor B.1172/Seswpres/05/2008 tertanggal 15 Mei 2008, Wapres Jusuf Kalla melalui sekretaris wapres mengundang sejumlah pihak dalam rapat tentang Pengembangan Pusat Industri Petrokimia Tuban yang dipimpinnya pada Rabu, 21 Mei 2008.

Jusuf Kalla berinisiatif mengadakan rapat ini dengan tujuan membahas pemanfaatan kapasitas produksi dan optimalisasi peran dari PT TPPI dalam penyediaan suplai bahan bakar minyak (BBM) jenis premium RON 88 untuk kawasan Jawa Timur. Dalam awal rapat disebutkan kondisi TPPI saat ini dalam kondisi berhenti berproduksi karena harga outputnya (produk jadi) lebih murah dari harga inputnya (bahan baku).

Dari dokumen risalah rapat yang diperoleh Gresnews.com disebutkan Jusuf Kalla saat itu memberikan empat arahan. Yakni, pertama, PT TPPI sebagai perusahaan yang mayoritas sahamnya dikuasai pemerintah (kurang lebih 60%) perlu dioptimalkan perannya dalam penyediaan BBM, khususnya di Jawa Timur. Oleh karena itu kapasitas yang idle ini harus dapat dioperasikan.

Kedua, Pertamina menyediakan kebutuhan kondensat bagi TPPI dengan harga yang menguntungkan Pertamina maupun PT TPPI. Ketiga, Pertamina membeli output migas TPPI tetapi harga beli Pertamina tidak boleh lebih mahal dari harga impor yang selama ini dibayar Pertamina. Yakni landed price di Surabaya: MOPS plus 1,5% sampai dengan 2%.

Namun perjanjian penjualan kondensat berantakan karen dalam kasus ini TPPI tidak melaksanakan kewajibannya sehingga dilakukanlah restrukturisasi (MRA) atas utang TPPI. Peran Honggo Wendratno dalam MRA ini sendiri digarisbawahi oleh pihak Kejagung karena dinilai tak lazim. Lazimnya, perikatan terjadi antara badan hukum. Namun dalam perikatan restrukturisasi TPPI ini, ada pribadi yang bertindak sebagai penjamin.

Dalam legal opinionnya, Kejaksaan Agung menyebut, kedudukan Honggo dalam MRA tidak dalam kapasitas mewakili badan hukum meski disebut mewakili PT TPPI dan PT Silakencana Tirtamas. Karena perannya yang besar selaku pemberi jaminan pribadi dalam MRA, Kejaksaan Agung meminta agar pihak SKK Migas (BP Migas) untuk melakukan verifikasi terhadap Honggo Wendratno.

Kejaksaan juga meminta SKK Migas melakukan verifikasi atas badan-badan hukum (TPPI dan Silakencana) yang terkait dengan Honggo selaku pribadi yang tertuang dalam term and condition maupun dokumen transaksi guna menghindari tidak terpenuhinya syarat dan kondisi maupun dokumen transaksi tertentu. Selain itu Kejaksaan Agung juga meminta SKK Migas meminta kepastian bahwa dana yang dibawa Honggo sebesar US$500 juta dari Deutsche Bank tidak bertentangan dengan hukum dan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

Kepastian ini menurut legal opinion Kejaksaan Agung menjadi sangat penting mengingat dalam syarat dan ketentuan perjanjian tercantum bentuk pengalihan saham kepada PT Tuban Petroina dikategorikan sebagai bentuk penanaman modal asing (PMA). Karena itu diperlukan bentuk persetujuan dan perizinan dari otoritas pemerintah termasuk di dalamnya dalam bentuk persetujuan dan perizinan dalam bentuk lain di luar PMA seperti izin ekspor, impor dan izin kawasan berikat.

PERAN SKK MIGAS JUGA DISOROT - Selain menyoroti peran dan kedudukan Honggo, pihak Kejaksaan Agung juga menyoroti peran SKK Migas (BP Migas) dalam perikatan MRA dengan pihak TPPI ini. Kejaksaan mengingatkan SKK Migas terkait beberapa rambu yang harus dipenuhi agar perikatan dengan TPPI ini tidak dikategorikan sebagai penyalahgunaan wewenang yang akan berakibat pada timbulnya perbuatan melawan hukum yang merugikan negara.

Dalam konteks melakukan perikatan MRA dengan TPPI ini Kejagung dalam legal opinionnya menyatakan SKK Migas harus menempuh beberapa prosedur. Pertama harus ada pemberitahuan tertulis kepada DPR sesuai Pasal 11 Ayat (2) UU 22/2001 tentang Migas. Pasal tersebut menyatakan: "Setiap kontrak kerja sama yang sudah ditandatangani harus diberitahukan secara tertulis kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia."

Kejagung menyatakan, pentingnya laporan tertulis karena pengelolaan minyak dan gas bumi adalah dikuasai oleh negara. Sehingga persetujuan legislatif diperlukan. Juga terkait nilai kontrak yang mencapai Rp5 triliun rupiah dan masuknya investor asing ke dalam pogram restrukturisasi.

Kedua, SKK Migas wajib melaporkan tertulis kepada Menteri Keuangan dan harus ada persetujuan Menteri Keuangan berdasarkan Pasal 6 Ayat (3) PP 42/2002 tentang Migas. Persetujuan tertulis Menkeu penting karena sumber keuangan SKK Migas berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.

Ketiga, SKK Migas harus melaporkan kegiatan restrukturisasi kepada Presiden sesuai Pasal 15 huruf d dan e PP 42/2002.

Hal ini menjadi sangat penting mengingat belakangan ternyata TPPI juga tetap tidak melaksanakan kewajibannya kepada SKK Migas terkait pengembalian utang-utangnya ke SKK Migas. Padahal terlepas dari kerugian akibat penjualan kondensat, dalam kasus MRA ini sendiri ada dana lain yang digunakan yang mencapai nilai Rp 5 triliun.

POLISI TEGASKAN KASUS INI PIDANA - Meski telah ada legal opinion terkait restrukturisasi TPPI, pihak kepolisian menegaskan kasus ini tetap memiliki unsur pidana. Karena itulah polisi akan segera memeriksa Honggo Wendratno terkait kasus ini. Sayangnya, Honggo sendiri ternyata telah melarikan diri ke Singapura.

Dalam beberapa kesempatan, Direktur Direktorat Pidana Ekonomi Khusus Mabes Polri Victor Edison Simanjuntak mengatakan Polri akan berkoordinasi dengan kepolisian Singapura untuk memeriksa Honggo. Namun hingga kini, pemeriksaan atas Honggo tak kunjung dilakukan. "Untuk HW kita masih tunggu pemberitahuan dari polisi Singapura, Senin kemarin kita ajukan tapi belum ada balasan," kata Victor di Bareskrim, Jumat (19/6) lalu.

Larinya Honggo ke Singapura awalnya tak disadari penyidik Bareskrim. Surat panggilan pemeriksaan dilayangkan ke alamat kantornya di Gedung Midplaza. Namun Honggo tak datang. Tiba-tiba Honggo mengabarkan dirinya tengah sakit dan berobat di Singapura. Padahal Honggo sebelumnya telah dicekal oleh Bareskrim bersama dua tersangka lainnya. Namun ternyata, Honggo telah lebih dulu meninggalkan Indonesia.

Victor mengaku tak masalah Honggo di Singapura. Pihaknya akan mengejarnya. Apalagi, menurut Victor, Kapolri Jenderal Badrodin Haiti telah memberikan lampu hijau tim penyidik kasus ini berangkat ke Singapura untuk memeriksa Honggo. Memang, penyidik Bareskrim masih gigit jari. Polisi Singapura belum memberi lampu hijau.

Peran Honggo dalam kasus ini sendiri menurut pengamat ekonomi Ichsanuddin Noorsy sangat penting. Dia menilai ketika kasus ini terjadi Honggo memiliki kedekatan khusus dengan pejabat pemerintah sehingga TPPI bisa mendapatkan fasilitas dari pemerintah selain untuk melakukan restrukturisasi juga melakukan penjualan kondensat SKK Migas. "Jika tidak memiliki hubungan khusus tak mungkin dia akan mendapatkan fasilitas tersebut," katanya.

BISA TIMBULKAN KONFLIK - Meskipun Kejaksaan memberikan celah adanya unsur pidana dalam kasus TPPI, namun menurut pakar Hukum Universitas Parahyangan Bandung Agustinus Pohan, legal opinion yang diberikan Kejaksaan Agung tetap bisa menimbulkan konflik kepentingan (conflict of interest).

"Menurut hemat saya bisa menimbulkan conflict of interest, bidang kejaksaan sangat luas. Jaksa di perdata tidak sama dengan jaksa pada penuntutan kasus korupsi sehingga sangat mungkin terjadi perbedaan pendapat di internal kejaksaan," jelas Agustinus kepada Gresnews.com.

Namun, menurut dia, legal opinion posisi hukumnya tidak mengikat. Bisa saja penyidik Bareskim telah melanjutkan penyidikan kasus dugaan korupsi penjualan kondensat bagian negara itu. Hanya, Agustinus lebih menyarankan penyidik untuk berkoodinasi dengan Kejaksaan. Apakah legal opinion tersebut memang pendapat utuh dari Kejaksaan Agung.

Hal itu penting dilakukan, karena dalam tahap selanjutnya kasus ini akan dilimpahkan ke Kejaksaan untuk dilakukan penuntutan. Jika benar, Kejaksaan menyatakan itu kasus perdata maka penyidikan Bareskrim akan menjadi sia-sia. "Untuk bertindak lebih jauh mengusut kasus ini, baiknya Bareskrim mendiskusikan legal opinion tersebut dengan Kejaksaan," kata Agustinus.

BACA JUGA: