JAKARTA, GRESNEWS.COM - Sejumlah isu lintas batas kembali didorong pemerintah Indonesia dalam pertemuan negara-negara dunia. Pada Sidang Majelis Umum PBB ke-70, Rabu (30/09), Indonesia mengemukakan pandangan terkait tantangan yang dihadapi dalam ruang lingkup komunitas internasional. Salah satunya adalah isu imigran gelap atau irregular movement.

Diakui pemerintah, letak geografis yang strategis dan bentuk negara kepulauan membuat Indonesia rawan disusupi imigran gelap. Data United Nation High Commissioner for Refugees (UNHCR) tahun 2014 mencatat, terdapat sekitar 10.623 migran masuk ke Indonesia. Dari jumlah itu, 3.405 diantaranya merupakan pengungsi, sementara sisanya 7.218 para pencari suaka. Terjadi peningkatan dari segi jumlah apabila dibanding tahun lalu yang hanya mencapai 8.332 migran.

Menteri Luar Negeri Retno L.P. Marsudi menilai, masalah irregular movement termasuk sebagai salah satu masalah sekaligus fokus utama yang secara aktif terus didorong pemerintah Indonesia di forum internasional.

Dalam keterangannya di tingkat multilateral Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB),  Retno menyuarakan kerjasama dan peran aktif sesama negara berpartisipasi mengatasi permasalahan lintas batas seperti perpindahan manusia yang tidak beraturan (irregular migration).

"Bantuan kemanusian (humanitarian assistance) harus dilakukan karena menyangkut keselamatan manusia, tetapi yang lebih utama dan berlangsung lama (long lasting) adalah mengatasi akar masalah (root causes)," kata Retno dalam Sidang Umum PBB seperti dilansir laman resmi Kementerian Luar Negeri.

Langkah Indonesia mendorong kasus pergerakan imigran gelap menjadi suatu inisiatif yang patut diapresiasi. Sebab, selama ini Indonesia sering dijadikan negara transit sebelum menuju ke tempat tujuan.

Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana mengatakan, apabila ditelusuri kembali, gelombang migrasi ke Indonesia khususnya asal wilayah Timur Tengah termasuk cukup banyak. Salah satunya yaitu imigran dari Afganistan.

Negara Timur Tengah itu menyumbang sekitar 1.226 migran berstatus pengungsi dan 3.176 pencari suaka pada tahun 2014. "Warga migran asal Timur Tengah pada dasarnya memiliki tujuan sebenarnya menuju Australia dimana Indonesia hanya sekedar menjadi wilayah transit," ucap Hikmahanto saat dihubungi gresnews.com, Minggu (4/10).

Dari sudut pandang hukum internasional, menurutnya, Pemerintah Australia perlu bertindak dan menangani para migran ketika terjadi suatu masalah. Dengan kata lain, Australia harus bersedia memberikan bantuan kemanusiaan (humanitarian assiatance) kepada para pengungsi tersebut.

Apalagi, lanjut Hikmahanto, Australia secara hukum telah diikat oleh Konvensi PBB atau disebut Konvensi Jenewa Tahun 1951. Australia sebagai salah satu anggota yang telah meratifikasi perjanjian itu sejak 28 Juli 1951, diwajibkan menampung dan memberikan bantuan kemanusiaan kepada para migran yang berada dalam situasi mendesak seperti konflik ataupun perang.

"Konvensi itu mengharuskan Australia harus bertanggung jawab. Namun, kenyataannya mereka menyerahkan masalah migran ke Indonesia," tuturnya.

MASALAH BILATERAL - Soal para pencari suaka ini sempat membuat hubungan antara Australia dan Indonesia memanas. Terakhir, pada Minggu (31/5) lalu, sejumlah 65 orang yang mengaku pencari suaka (asylum seeker) asal Sri Lanka, Bangladesh dan Myanmar mencoba masuk ke Australia melalui Rote diusir sehingga terkatung-katung di laut dan kembali ke Indonesia.

Dari pengakuan mereka dan penyidikan yang dilakukan Polres Rote diketahui, para Anak Buah Kapal yang membawa mereka disuap sebesar US$30.000 untuk membawa para pengungsi itu kembali ke Indonesia. Persoalan tersebut sempat menimbulkan friksi antara Indonesia-Australia. Menlu Retno Marsudi tidak menerima insiden pengusiran pencari suaka oleh otoritas migrasi Australia.

Tidak hanya itu, kekecewaan Retno memuncak setelah mendengar kabar adanya praktik suap oleh petugas setempat kepada para pencari suaka agar mereka kembali ke Indonesia. "Sikap Australia telah melanggar ketentuan internasional karena berstatus negara konvensi pengungsi tahun 1951," kata Retno ketika itu.

Kabid Humas Polda NTT AKBP Ronalzie Agus mengatakan, masing-masing ABK diberi US$5.000. Mereka diminta berlayar kembali ke Indonesia hingga akhirnya diamankan di Rote.

Ketika itu, PM Australia Tony Abbott sebelumnya juga tak membantah ada upaya pemberian uang untuk menghalau para pencari suaka ke Australia. Bahkan dia menyebut langkah ini sebagai cara "kreatif". Indonesia pun bereaksi keras karena menilai Australia melanggar Konvensi Internasional 1951 dan Protokol 1967 tentang status pengungsi.

Kebijakan Australia ketika itu di bawah Tonny Abbot memang gencar berupaya melakukan pemulangan pencari suaka yang selama ini ada di Australia dan mengurangi gelombang pencari suaka sekalipun terdaftar di Badan pengungsi PBB, United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR).

Terkait masalah ini, menurut Hikmahanto, memang perlu ada jalan tengah untuk menyelesaikan persoalan yang melibatkan kedua negara. Jalan tengah yang perlu didorong pemerintah di level internasional PBB, menurut Hikmahanto adalah terus menyuarakan keterlibatan dan bantuan antar negara.

Dalam kasus irregular movement, dinilai sebagai masalah internasional yang harus ditangani langsung oleh PBB melalui United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) dengan menyertakan negara asal, negara transit dan negara tujuan untuk mencari solusi bersama.

INDONESIA HARUS WASPADA - Pergerakan manusia secara tidak beraturan dan bebas telah memicu kompleksitas dan dimensi persoalan bagi negara. Bahkan, pergerakan dalam intensitas dan jumlah yang besar berdampak pada instabilitas kemanan negara.

Pakar Geopolitik Pusat Studi Sosial dan Politik (Puspol) Suryo AB mengatakan, tidak menutup kemungkinan tantangan-tantangan baru yang bakal ditemui Indonesia kedepan adalah bergulirnya keterbukaan kawasan atau disebut Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dan fasilitas pembebasan visa (free visa) yang belakangan mulai diberlakukan pemerintah.

"Pemerintah, jangan sampai menyepelekan hal tersebut namun mengawasi pergerakan manusia dari luar (warga negara asing) berdasarkan aspek kedaulatan nasional," katanya kepada gresnews.com.

Ia menggarisbawahi, pemberlakuan bebas visa perlu dipertimbangkan dari sisi konsekuensi dan dampak negatif yang ditimbulkan. Sebab, mobilitas atau perpindahan secara bebas memberikan berbagai dimensi masalah pelanggaran imigrasi dan lainnya.

Berkaitan dengan itu, negara harus bersikap preventif dan selektif sebelum memberlakukan suatu aturan. Dalam konteks ini, berkaitan dengan pembebasan visa, syarat pendaatan izin tinggal, legalitas dokumen dan perizinan hingga dan motif kunjungan wisatawan harus jelas dan dapat dipertanggungjawabkan.

Secara geografis, Suryo menilai wilayah Indonesia berpotensi rawan terhadap isu kejahatan transnasional. Menurutnya, faktor itu dipicu oleh keberadaan letak Indonesia yang diklasifikasikan sebagai jalur strategis untuk perdagangan sekaligus penghubung jalur laut antar negara. "Secara geografis, Indonesia merupakan jalur rawan kejahatan lintas batas," kata Suryo.

Tak heran, dewasa ini, kompleksitas isu kejahatan kawasan kian dirasakan Indonesia seperti perdagangan manusia (human trafficking) dan penyelundupan manusia (people smuggling) serta kasus manusia perahu.

Suryo menekankan syarat kontrol dan pengawasan batas, menjadi faktor penting sebagai bagian dari sistem pertahanan dan kemanan nasional. Hal ini dirasa penting mencegah masuknya pengaruh politis dan kejahatan lintas batas. "Tidak ada tawar-menawar soal kedaulatan," tegasnya.

BACA JUGA: