JAKARTA, GRESNEWS.COM - Syarat pemodalan yang besar bagi pelaku bisnis penerbangan dianggap sebagai jaminan bagi terciptanya penerbangan dengan keselamatan dan keamanan yang optimal. Dengan jaminan keselamatan dan keamanan tersebut, bisa dibangun penerbangan yang kuat di tataran nasional hingga global.

Pandangan ini diungkapkan pemerintah dalam agenda pemberian keterangan dalam pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (UU Penerbangan). Pasal 118 ayat (1) huruf b dan ayat (2) UU Penerbangan digugat pemohon yang merupakan pegawai negeri sipil (PNS) dari Kementerian Perhubungan Sigit Sudarmaji.

Pemohon menilai pasal yang berisi aturan minimum kepemilikan lima pesawat dan lima penguasaan pesawat udara dinilai diskriminatif. Sebab hanya pelaku penerbangan dengan modal besar saja yang bisa masuk ke bisnis penerbangan. Akibatnya aturan ini dituding bisa mematikan pelaku bisnis angkutan udara bermodal kecil.

Terkait hal ini, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Hukum dan HAM Mualimin Abdi menjelaskan filosofi UU Penerbangan diyakini lebih baik memiliki sedikit perusahaan penerbangan tapi kuat bersaing pada tataran nasional hingga global daripada banyak perusahaan tapi lemah dan tidak mampu bersaing. Melalui perusahaan penerbangan yang jumlahnya sedikit diharapkan mampu menciptakan jaminan keselamatan dan keamanan yang optimal.

"Jadi tidak dilandasai pada kepentingan individu dan jangka pendek guna mendapatkan keuntungan semata," ujar Mualimin menyampaikan keterangannya dalam pengujian UU Penerbangan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (14/4).

Ia menambahkan,  untuk menciptakan keselamatan dan keamanan yang optimal dalam bisnis penerbangan membuat pelaku bisnis penerbangan dihadapkan pada persyaratan yang ketat saat akan memulai bisnis tersebut. Syarat tersebut diantaranya modal yang cukup, kepemilikan saham mayoritas tunggal, jaminan bank, personel yang profesional, dan memiliki serta menguasai pesawat udara yang memadai.

Mualimin menyatakan pelaku bisnis penerbangan memang harus memiliki modal yang kuat. Sebab berkaca pada kecelakaan pesawat Adam Air pada 1 Januari 2007, para kreditor menagih piutang Adam Air. Utang tersebut diantaranya terdiri dari gaji pegawai, asuransi, bahan bakar, biaya pendaratan, biaya pelayanan navigasi penerbangan, parkir pesawat udara, biaya perawatan gedung, gudang, perkantoran, administrasi, dan pengembalian tiket yang sudah dibeli.

Menurut Mualimin seluruh aset Adam Air yang ada ternyata lebih besar dibandingkan dengan utang yang ada akibat kecelakaan yang dialaminya. Sehingga batas jumlah minimum kepemilikan dan penguasaan pesawat untuk perusahaan angkutan udara niaga berjadwal dianggap bisa menjamin keamanan dan keselamatan penerbangan.

Adapun argumen pemohon yang menilai aturan batas kepemilikan pesawat bersifat diskriminatif, menurut Mualimin, tidak bisa dibenarkan. Sebab berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia terdapat batasan diskriminasi. Pengertian diskriminasi yaitu tiap pembatasan, pelecehan langsung atau tidak langsung berdasarkan pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, kelompok, status sosial, ekonomi, jenis kelamin, dan bahasa. Pembatasan tersebut akan berakibat pada pengurangan hak asasi manusia dan kebebasan dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, dan aspek kehidupan lainnya.

Ia menekankan aturan ini tidak diskriminatif dan tetap memberikan peluang pada pemohon untuk melakukan bisnis penerbangan. Menurutnya kalau pemohon tidak bisa memenuhi syarat perusahaan penerbangan niaga berjadwal dengan minimal 10 pesawat karena hanya memerlukan dua unit maka pemohon bisa melakukan bisnis penerbangan niaga tidak berjadwal.

Menanggapi keterangan pemerintah, Hakim panel Wahiduddin Adams meminta pemerintah memperjelas terkait posita pemohon akibat Pasal 118 ayat (1) huruf b dan ayat (2) UU Penerbangan yang menyatakan pasal ini akan mengantarkan dunia penerbangan dalam ´era kegelapan´. Misalnya indikasinya tidak adanya penerbangan nasional yang baru, ditutupnya perusahaan nasional yang sudah ada dan tidak bisa memenuhi ketentuan tersebut, matinya perusahaan nasional yang sudah ada karena memaksakan ketentuan tersebut, dan tidak berkembangnya penerbangan lokal dan daerah karena dikuasai oleh beberapa pelaku usaha dengan modal besar. "Ini perlu dijawab pemerintah," ujar Wahiduddin pada kesempatan yang sama.

Menjawab hal ini, Mualimin menuturkan indikator penerbangan Indonesia masuk ke dalam ´era kegelapan´ seperti yang dicantumkan dalam posita pemohon akan lebih dulu diidentifikasi oleh pemerintah. Selanjutnya, identifikasi ini akan disampaikan melalui ahli dari pihak pemerintah.

BACA JUGA: