JAKARTA, GRESNEWS.COM - Peraturan Pelaksana UU Sistem Peradilan Pidana Anak sudah harus disahkan selambat-lambatnya pada tanggal 31 Juli mendatang. Terkait hal ini, perlu disoroti adalah berdasarkan ketentuan dalam Pasal 107 UU SPPA, Pemerintah diwajibkan untuk mengaluarkan setidaknya 6 (enam) materi Peraturan pemerintah (PP) dan 2 (dua) materi Peraturan Presiden (Perpres) sebagai Peraturan pelaksanaan UU SPPA yang harus ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun sejak UU SPPA diberlakukan.

Diantaranya, ada beberpa aturan yang sangat penting untuk dikeluarkan. Misalnya RPP tentang Diversi, sebelumnya Mahkamah Agung (MA) telah menerbitkan Perma No. 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak (Perma Diversi). Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.

Peneliti dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus T Napitupulu mengatakan, setelah Perma Diversi dikeluarkan, praktis tidak ada lagi aturan teknis baru terkait Diversi yang dikeluarkan oleh Intitusi lain yang terkait dalam Peradilan anak. "Termasuk didalamnya Kementerian Hukum dan HAM yang memiliki kewajiban sebagaimana disebutkan dalam Pasal 107 UU SPPA," katanya kepada Gresnews.com, Kamis (19/3).

Pada Desember 2014, Presiden Joko Widodo kemudian mengeluarkan Perpres No. 175 Tahun 2014 tentang Pendidikan Dan Pelatihan Terpadu Bagi Penegak Hukum Dan Pihak Terkait Mengenai Sistem Peradilan Pidana Anak (Perpres 175/2014). Salah satu fokus dari Perpres ini adalah memberikan kesepahaman bagi aparat penegak hukum terkait UU SPPA, termasuk didalamnya peningkatan kapasitas dalam penyelenggarann Diversi berdasarkan perpektif UU SPPA.

ICJR menilai bahwa Kementerian Hukum Dan HAM terlalu lambat dalam merespons kebutuhan Peraturan Pelaksana UU SPPA. "Menjadi hal yang sangat aneh apabila Pemerintah berusaha meningkatkan kapasitas aparat penegak hukum, misalnya dalam hal Diversi melalui Perpres 175/2014, namun aturan tehknis berupa PP yang menjadi pedoman dan landasan tehknis Diversi belum juga rampung," tegas Erasmus.

ICJR menegaskan, mendorong pemerintah mengeluarkan Peraturan Pelaksana, bukan berarti Peraturan Pelaksana yang nantinya dihasilkan menjadi aturan yang asal ada. ICJR mengingatkan meskipun batas dikeluarkannya peraturan pelaksana tersebut selambat-lambatnya 31 Juli 2015 jangan sampai Pemerintah mengambil resiko dengan mengesahkan Rancangan Peraturan Pelaksana SPPA yang tidak jelas kualitas pembahasannya.

Salah satu kritik ICJR pada pemerintah adalah tertutupnya mekanisme pembahasan Rancangan PP dan Rancangan Perpres oleh Pemerintah. "Sehingga hasil yang nantinya dikeluarkan juga tidak dapat dipastikan baik dan buruknya," ujar Erasmus.

Selama ini ICJR menilai bahwa pembahasan-pembahasan yang melibatkan masyarakat sangat minim dan cenderung tertutup. Bahkan Rancangan PP Diversi misalnya tidak dapat diakses secara terbuka. "Tidak satupun dari situs pemerintah yang memuat Rancangan tersebut," tegasnya.

Untuk itu, ICJR menyerukan agar pemerintah segera membuka informasi terkait pembahasan Peraturan Pelaksana SPPA. "Pemerintah bisa memulai dengan mengeluarkan informasi resmi terkait keberadaan RPP SPPA dan secara terbuka membuka kembali pembahasan RPP SPPA tersebut, untuk memastikan kualitasnya," pungkas Erasmus.

Sebelumnya, ICJR juga mengusulkan agar pemerintah menaikkan batas usia pertanggungjawaban pidana. Semula usia yang dikenai pertanggungjawaban pidana minimum umur 12 tahun, menurut UCJR sebaiknya dinaikkan menjadi 14 tahun. Hal itu sesuai rekomendasi Komite Hak Anak PBB, dimana Indonesia tunduk pada Konvensi Hak Anak.

Sesuai Pasal 1 angka 3 Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) memberikan batas usia minimum pertanggungjawaban bagi anak pada usia telah menginjak 12 tahun tetapi belum berusia 18 tahun. Penentuan usia 12 tahun itu didasarkan pada Putusan MK No. 1/PUU-VIII/2010 yang dalam pertimbangannya menyebutkan bahwa perlu menetapkan batas umur bagi anak untuk melindungi hak konstitusional anak, terutama hak terhadap perlindungan dan hak untuk tumbuh dan berkembang.

Namun menurut Erasmus yang perlu menjadi catatan adalah apakah usia 12 tahun masih sesuai dengan perkembangan hukum pidana anak saat ini. "Ataukah sudah saatnya Indonesia melakukan revisi pada usia minimum pertanggungjawaban pidana pada anak," ujarnya.

BACA JUGA: