JAKARTA, GRESNEWS.COM – Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman menyatakan DPR telah melakukan pembangkangan terhadap konstitusi dalam penerbitan Undang Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3). DPR juga dinilai telah melakukan perbuatan melawan hukum, tidak taat azas, bahkan secara sengaja meruntuhkan wibawa negara hukum dengan penerbitan UU tersebut.
 
Kondisi itu, menurut Irman, jelas-jelas tidak memberikan teladan bagi rakyat Indonesia dalam penegakan hukum. Ketika hal ini terus menerus dilakukan, maka dapat dikatakan DPR tidak memiliki kedewasaan berdemokrasi, berpolitik dan kataatan pada UUD 1945. Hal ini juga berdampak pada pengurangan makna negara hukum karena muncul ketidakpastian hukum.
 
Sebab, kata dia, Mahkamah Konstitusi sebelumnya telah memberikan kewenangan bagi DPD untuk ikut serta dalam mengajukan dan pembahasan rancangan Undang-Undang (RUU) yang menyangkut daerah melalui putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012.
 
Poin dari putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 tersebut, yaitu DPD mempunyai hak dan kewajiban  setara dengan Presiden dan DPR dalam membahas undang-undang yang berkaitan dengan daerah. DPD juga berhak mengajukan dan membahas RUU dari tahap pertama hingga tahap terakhir. Bahkan, pada tahap kedua DPD dapat mengajukan pendapat dan pandangan akhir di depan sidang paripurna DPR. Dalam pembahasan RUU yang berkenaan dengan daerah, setelah putusan MK tersebut maka pembahasan RUU menjadi tripartit, yaitu antara Presiden, DPR, dan DPD.
 
Sehingga semua pembahasan undang-undang yang berkenaan dengan daerah tanpa melibatkan DPD RI, dapat dikatakan inkonstitusional. "Pada awalnya DPD berharap adanya perubahan yang selaras terhadap putusan MK itu, tapi kami terkejut dan tidak menyangka bahwa UU Nomor 17 Tahun 2014 sebagai pengganti UU Nomor 27 Tahun 2009 tentag MD3 sama sekali tidak merujuk pada putusan MK itu," tutur Irman,  saat menyampaikan kesimpulan pemohon principal dalam sidang lanjutan pengujian UU MD3 di gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Selasa (4/11).
 
Irman mengatakan, UU MD3 Nomor 17 ternyata tetap memuat pasal-pasal yang mereduksi, menegasikan, bahkan mengikis kewenangan konstitusional DPD sebagaimana telah ditegaskan MK melalui putusan nomor 92/PUU/X/2012. Bahkan dalam proses pembahasan, DPD sama sekali  tidak dilibatkan. Padahal substansi UU Nomor 17 itu juga mengatur tentang DPD.

Karena itu, kata dia, muatan UU MD3 yang melahirkan norma-norma hukum harusnya mematuhi putusan MK. Tidak dipatuhinya putusan MK oleh DPR, lanjutnya, merupakan pelanggaran terhadap sumpah jabatan DPR dan sikap tidak menghormati, tidak mematuhi dan melaksanakan putusan MK yang bersifat erga omnes (mengikat dan harus dipatuhi oleh setiap warga negara). Apalagi putusan MK bersifat final, tidak ada lagi upaya hukum seperti banding, kasasi dan lainnya.
 
Irman berkeyakinan, undang-undang yang pembahasannya tidak melibatkan DPD sebagaimana termaktub dalam Pasal 22D ayat 2 UUD 1945, merupakan produk yang inkonstitusional. Ia menambahkan, apa yang dikemukakan tersebut merupakan problem ketatanegaraan yang perlu mendapat penyelesaian konstitusional.
 
“DPD sejatinya tidak hanya sekedar menjadi pelengkap, tapi mempunyai peran signifikan dalam menghubungkan berbagai daerah dalam NKRI,” tegasnya.
 
Sementara pakar hukum tata negara Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Ni´matul Huda menilai UU MD3 Nomor 17 cacat formil. Alasannya, norma UU yang tidak melibatkan DPD dalam menyusun prolegnas telah mereduksi kewenangan DPD yang telah ditentukan oleh UUD 1945.

"Sepanjang yang berkaitan dengan kewenangan DPD dalam 22D ayat 2 UUD 1945, mengikutsertakan DPD dalam prakteknya tidak dilakukan oleh DPR dapat dinyatakan bahwa pembentukan UU MD3 Nomor 17 cacat secara formil," tutur Ni’matul saat menyampaikan keterangannya sebagai ahli pemohon dalam siding yang sama.
 
Menurutnya, pengabaian DPR dan Presiden dengan tidak melibatkan DPD dalam pembahasan UUD MD3 dapat dipandang sebagai pelecehan keputusan MK. Putusan MK yang tidak dilaksanakan oleh DPR atau lembaga lain yang seharusnya dilaksakan, dalam konstitusi dapat dianggap sebagai pelanggaran prinsip-prinsip negara hukum.
 
Seperti diketahui, DPD meminta MK menguji Pasal 71 huruf c, Pasal 72, Pasal 165, 166, 167, Pasal 170 Ayat (5), Pasal 171 Ayat (1), Pasal 174 Ayat (1), Pasal 174 Ayat (4), Pasal 174 Ayat (5), Pasal 224 Ayat (5), Pasal 245 Ayat (1), Pasal 249 huruf b, Pasal 250 Ayat (1), Pasal 252 Ayat (4), Pasal 276 Ayat (1), Pasal 277 Ayat (1), Pasal 281, Pasal 305, dan Pasal 307 Ayat (2) huruf d UU MD3.
 
Mereka menilai UUD MD3 inskonstitusional secara formil dan materiil. Inskontitusional formil diantaranya melanggar tata cara dalam melaksanakan perintah pendelegasian pembentukan peraturan sebagaimana ditegaskan konstitusi.  Seharusnya menurut DPD, dibentuk UU MPR, UU DPR, dan UU DPD secara tersendiri.

Selanjutnya, proses pembentukan UU MD3 dinilai melanggar ketentuan pasal 22D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 yang memberikan wewenang konstitusional DPD mengajukan dan ikut membahas RUU.
 
Sementara yang dianggap inskonstitusional materiil meliputi inskonstitusionalitas dalam fungsi legislasi; Inskonstitusionalitas dalam hubungan antar lembaga perwakilan; Inskonstitusionalitas dalam penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN.
 
Menurut pemohon, UU MD3 inskonstitusionalitas dalam fungsi legislasi terdapat pada pasal 166 ayat (2) dan Pasal 167 ayat (1) UU MD3, Pasal 276 ayat (1) UU MD3, Pasal 277 ayat (1) UU MD3, Pasal 165 dan Pasal 166 UU MD3, Pasal 71 huruf c UU MD3, Pasal 170 ayat (5) UU MD3, Pasal 171 ayat (1) UU MD3, Pasal 249 huruf b UU MD3.
 
Pokok-pokok inskonstitusionalitas dalam hubungan antar lembaga perwakilan terkait pengaturan diskriminatif antar lembaga perwakilan, ketiadaan kesejajaran kedudukan lembaga perwakilan, dan pengingkaran terhadap Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012.
 
Sedangkan pokok-pokok yang dinilai inskonstitusionalitas dalam penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN diantaranya terkait penghapusan bagian penyidikan untuk anggota MPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota.
 
Penghapusan tugas dan wewenang DPR untuk membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang disampaikan BPK serta penghapusan Badan Akuntabilitas Keuangan Negara.

BACA JUGA: