JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kejaksaan Agung (Kejagung) terus mengungkap dugaan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang oleh mantan Kepala divisi VII PT Adhi Karya (Persero) Tbk wilayah IV Bali  Wijaya Imam Santoso sebesar Rp15 miliar. Imam diduga tidak bermain sendiri dalam melakukan aksinya.

Kepala Pusat Perangan Hukum Kejagung Setia Untung Arimuladi mengatakan tim penyidik dari Kejagung terus menyelidiki keterlibatan pihak lain dalam kasus ini. Penyidik mengaku telah mengorek pihak yang terkait dan mengetahui aksi tersangka.

Tim penyidik pun memeriksa empat saksi, pada Kamis (24/4). Mereka adalah Kepala Cabang BPR Lestari Denpasar, Wakil Ketua Komite Manajemen Adhi Karya, Kepala Proyek DSDP II Tahun 2010 PT. Wijaya Karya Bali dan Kepala Proyek DSDP I Tahun 2009 PT. Wijaya Karya Bali. Sayangnya keempat saksi tidak hadir.

"Kami akan agendakan kembali untuk panggil mereka," kata Untung kepada di Kejagung, Kamis (24/4).

Sebelumnya tim penyidik telah melakukan penggeledahan dan penyitaan data dan dokumen dari bagian keuangan kantor Adhi Karya cabang Bali pada Kamis (20/3). Penyidik Kejagung menetapkan Wijaya sebagai tersangka karena diduga menampung uang yang bersumber dari laba perusahaan dan hasil pencarian klaim asuransi PT Jasa Rahardja Putra pada periode 2009-2010. Uang tersebut yang seharusnya masuk ke kas perusahaan tapi oleh Wijaya malah dimasukkan ke rekening pribadinya.

Seperti diketahui, Adhi Karya merupakan salah satu pemain besar dalam proyek konstruksi bangunan. Proyeknya bertebaran dimana-mana. Namun dalam mendapatkan proyek Adhi Karya kerap menjalankan praktek tak sehat yakni Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN). Salah satunya proyek pembangunan sport center Hambalang yang kini bermasalah. Dalam proyek Hambalang telah menyeret mantan Menpora Andi A Malarangeng dan mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum.

Salah satu petinggi Adhi Karya yang tersangkut kasus Hambalang adalah mantan Kepala Divisi Konstruksi I Adhi Karya Teuku Bagus Mokhammad Noor. Ia menjadi terdakwa ketiga untuk kasus Hambalang yang disidangkan di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Selasa (8/4 lalu). Dalam persidangan itu terungkap bagaimana BUMN sebesar Adhi Karya melakukan perbuatan tercela dalam memenangkan tender.

Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Irene Putrie mendakwa Teuku melakukan korupsi bersama-sama Deddy Kusdinar, Andi Alifian Mallarangeng, Wafid Muharam, Andi Zulkarnain Anwar alias Choel Mallarangeng, M Fakhruddin, Lisa Lukitawati Isa, M Arifin, dan Paul Nelwan. Akibat perbuatan Teuku negara dirugikan Rp464,514 miliar. Perbuatan Teuku dianggap melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
 
Irene menguraikan, peristiwa ini bermula ketika Teuku mengetahui rencana pembangunan proyek Hambalang. Teuku meminta M Arief Taufiqurrahman selaku Manajer Pemasaran PT AK memonitor proyek tersebut. Arief mengkonfirmasi rencana proyek Hambalang melalui Paul Nelwa yang merupakan orang dekat Sesmenpora sekaligus Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), Wafid Muharam.
 
Teuku bersama Arief dan Direktur Utama PT Dutasari Citra Laras Machfud Suroso menemui Wafid menanyakan informasi mengenai proyek P3SON Hambalang. Selanjutnya, Teuku memerintahkan Arief memberikan Rp2 miliar dalam dua tahap kepada Wafid melalui Paul Nelwan pada 8 September 2009 dan 14 September 2009.
 
Menurut Irene, tidak hanya Teuku yang memberikan uang, Machfud juga memberikan uang Rp3 miliar kepada Wafid Muharam yang tanda terimanya ditandatangani Poniran. Perusahaan Machfud nantinya akan menjadi subkontraktor untuk pekerjaan mekanikal elektrik dan penyambungan daya listrik PLN untuk proyek Hambalang. Machfud memberikan uang Rp3 miliar kepada Wafid sebagai pemberian awal supaya PT Adhi Karya mendapatkan proyek P3SON Hambalang.
 
Sekitar Oktober 2009, Teuku dan Arief yang difasilitasi Muhammad Tamzil menemui Menpora Andi Mallarangeng di rumahnya. Teuku mengungkapkan kesediannya untuk mendukung program-program di Kemenpora, termasuk bekerja sama dalam proyek pembangunan P3SON Hambalang. Andi pun menyambut baik.
 
Setelah itu, Teuku meminta Arief memonitor proyek P3SON Hambalang agar PT AK yang mendapatkan proyek tersebut. Arief meminta staf pemasaran Divisi Konstruksi I PT AK, Ida Bagus Wirahadi untuk berkomunikasi dengan tim asistensi yang terdiri dari Lisa Lukitawati Isa dan M Arifin untuk mendapatkan pembaharuan informasi proyek.
Irene melanjutkan, Arief atas permintaan Teuku menemui Andi di Kemenpora untuk menanyakan soal lelang jasa konstruksi proyek P3SON Hambalang. Namun, saat itu, yang berada di ruangan Menpora adalah Choel, Wafid, Deddy, dan Fakhruddin. Arief lalu menyampaikan PT AK akan berpartsipasi dalam proyek Hambalang.
 
Tim estimating bersama Mulyana dari PT Wijaya Karya (WK), tim asistensi, perwakilan PT Yodya Karya (YK), Ketua Panitia Lelang Wisler Manalu, serta Kepala Biro Perencanaan Kemepora yang juga ejabat Pembuat Komitmen (PPK) Deddy Kusdinar melakukan pertemuan untuk membahas dokumen lelang, lingkup pekerjaan, dan rincian harga.
 
Dalam rangka mengikuti lelang P3SON Hambalang di Kemenpora, menurut Irene, PT AK bersama PT WK membentuk kerja sama operasi (KSO) Adhi Wika dengan menunjuk Teuku sebagai kuasa KSO. Pada 18 Agustus 2010, Kemenpora mengumumkan lelang jasa konstruksi P3SON Hambalang dengan nilai pagu anggaran Rp262,784 miliar.
 
Usai pengumuman lelang, KSO Adhi-Wika bersama tujuh perusahaan lainnya mendaftar sebagai peserta. Keesokan harinya, Teuku mendapatkan pemberitahuan dari Deddy bahwa anggaran proyek P3SON Hambalang sebesar Rp1,2 triliun sedang diajukan persetujuan kontrak tahun jamak (multiyears) ke Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
 
Irene mengungkapkan, dari delapan perusahaan, hanya lima perusahaan yang dinyatakan lulus prakualifikasi, termasuk KSO Adhi-Wika. Namun, evaluasi prakualifikasi dilakukan Teguh Suhanta dari PT AK, Mulyana dari PT WK, Malemteta Ginting dari PT Ciriajasa Cipta Mandiri (CCM), dan Husni Al Huda dari PT YK atas biaya PT AK.
 
Padahal, seharusnya, panitia lelang harus melakukan prakualifikasi sendiri tanpa melibatkan calon peserta lelang. Panitia lelang juga harus membuat Harga Perkiraan Sendiri (HPS), bukan malah menggunakan HPS yang dibuat KSO Adhi-Wika sebagai dasar. Irene menganggap proses lelang tidak dilakukan sebagaimana mestinya.
 
Alhasil, KSO Adhi-Wika menempati peringkat teratas dengan penawaran harga Rp1,007 triliun. Sebelum penetapan pemenang lelang, Teuku melakukan pertemuan dengan Deddy, Lisa, dan Arifin di Plaza Senaya. Deddy meminta terdakwa supaya PT Adhi Karya selaku calon pemenang lelang memberikan fee 18%.
 
Atas permintaan Deddy, Teuku menyetujui. Teuku menyampaikan, realisasi fee diberikan Machfud yang perusahannya akan menjadi subkontraktor KSO Adhi-Wia untuk pekerjaan mekanikal elektrikal dalam proyek Hambalang. Saat proses pelaksanaan lelang masih berjalan, Kemenkeu akhirnya menyetujui permohonan kontrak multiyears.
 
Pada November 2010, KSO Adhi-Wika diusulkan panitia lelang sebagai calon pemenang dalam pengadaan jasa konstruksi pembangunan P3SON Hambalang. Irene berpendapat, penetapan pemenang lelang dengan nilai di atas Rp50 miliar semestinya ditandatangani Menpora. Nyatanya, penetapan pemenang lelang hanya ditandangani Wafid. Paska ditetapkannya KSO Adhi-Wika sebagai pemenang lelang, Deddy menandatangani kontrak induk senilai Rp1,007 triliun. Beberapa kontrak anak senilai Rp246,238 miliar Rp507,405 miliar kembali ditandatangani Deddy. Namun, Adhi Karya malah mengalihkan pekerjaan utamanya kepada sejumlah perusahaan.
 
Pekerjaan utama berupa pembangunan Asrama Junior Putri, Asrama Junior Putra, dan GOR Serbaguna disubkontrakkan kepada perusahaan yang dibawa Choel Mallarangeng (adik Andi Mallarangeng), yaitu PT Global Daya Manunggal (GDM) sebesar Rp142,443 miliar. Padahal, PT GDM yang dibawa Choel bukan penyedia barang atau jasa spesialis. Selain itu, Teuku mengalihkan beberapa pekerjaan lainnya, kepada PT Dutasari Citra Laras (DCL), PT Aria Lingga Perkasa, dan 36 perusahaan dengan nilai kontrak masing-masing Rp328,063 miliar, Rp3,415 miliar, dan Rp56,813 miliar.
 
Pembayaran yang diterima KSO Adhi-Wika, atas persetujuan Teuku digunakan untuk membayar fee kepada subkontraktor. Kemudian, uang yang diterima Machfud diberikan Rp10 miliar kepada M Nazaruddin yang juga tertarik mendapatkan proyek P3SON Hambalang, tapi diminta mundur oleh Anas Urbaningrum.
 
Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) mendesak kasus ini tuntas. Sebab BUMN Karya seperti Adhi Karya bermain proyek dengan jumlah tender yang besar dan melibatkan banyak pihak. Bahkan kemungkinan adanya pihak lain yang ikut menikmati hasil korupsi adalah sangat mungkin terjadi. "Harus diusut tuntas, siapa yang terlibat harus diadili," kata Koordinator MAKI Boyamin Saiman kepada Gresnews.com di Jakarta, Kamis (24/4).

BACA JUGA: