JAKARTA, GRESNEWS.COM - Upaya banding yang dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atas putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Timur yang membatalkan Keppres pengangkatan hakim konstitusi Patrialis Akbar dan Maria Farida menuai kecaman. Pengamat Hukum Tata Negara Refly Harun mengatakan upaya banding itu bertentangan dengan semangat Perppu MK dan SBY dianggap ingin mempertahankan keberadaan orang parpol di MK. "Mengutuk keras sikap SBY banding yang tidak sesuai dengan yang dikatakan dalam perpu yang kemudian perjuangkan," kata Refly Harun di kantor YLBHI, Jl Borobudur, Jakarta Pusat, Senin (30/12).

Refly mengatakan, dalam Perppu No. 1 Tahun 2013 tentang MK, SBY sudah membuat peraturan bahwa hakim MK minimal 7 tahun terlepas dari dunia politik. Namun, melalui banding tersebut, SBY seolah-olah bersikeras mempertahankan orang parpol untuk duduk sebagai hakim MK. "Saya menganggap apa yang diputus PTUN sudah sangat benar, penunjukan Patrialis dan Maria bertentangan dengan UU MK. Karena berdasarkan UU MK, pencalonan hakim MK harus transparan, partisipatif, kemudian pemilihannya objektif dan akuntabel," ujarnya.

Refly melanjutkan, perkara Keppres ini harus segera diselesaikan sebelum pemilu 2014 bergulir. Bila tidak, maka akan terjadi kekacauan konstitusi. "Pemilu akan banjir perkara di MK, kita harus selesaikan gonjang ganjing ini, presiden harus menolak Patrialis. Mudah-mudahan dalam jangka waktu dua bulan ke depan. Walaupun putusan itu belum inkracht, Patrialis sudah kehilangan dasar hukum sebagai hakim MK, karena Keppres sudah dibatalkan," jelas Refly.

Refly juga menilai upaya banding ini dilakukan SBY sebagai tindak balas budi terhadap Patrialis Akbar. "Penunjukan Patrialis Akbar konpensasi pencopotan sebagai Menteri Hukum dan HAM, ini menunjukan barter," kata Refly Harun. Dia bilang, sebagai kader partai yang mendukung pencalonan SBY, Patrialis memang seharusnya diberi jatah jabatan menteri. Hanya saja jabatan itu (Menkumham-red) kemudian diambil oleh Demokrat (Amir Syamsuddin-red) karena itu akhirnya Patrialis yang kader PAN diberi jabatan sebagai hakim MK.

Atas putusan PTUN itu sebelumya beberapa pihak sudah mengingatkan agar SBY tidak melakukan banding. Pakar Hukum Tata Negara Universitas Brawijaya Ali Syafaat mengatakan Presiden SBY sebaiknya tidak melakukan banding. Alasannya, putusan itu belum berkekuatan hukum tetap, dengan demikian, Patrialis dan Maria masih sah ikut serta mengambil keputusan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). "Karena keputusan PTUN Jakarta itu belum berkekuatan hukum tetap, maka Pak Patrialis dan Ibu Maria secara legal formal masih dapat turut mengambil keputusan. Secara etis, sebaiknya beliau (SBY-red) tidak mengajukan banding," jelasnya kepada Gresnews.com beberapa waktu lalu.

Eva Kusuma Sundari, anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan, berpendapat, sebenarnya tidak perlu dibuat kompleks permasalahan ini karena proses penggantian dapat dilaksanakan dengan cepat oleh Presiden. "Apalagi sebelumnya Presiden sudah punya pengalaman saat merekrut Ibu Maria dan Bapak Haryono (masa bakti pertama-red) sebagai Hakim MK yang prosesnya memenuhi standar tata kelola pemerintahan," kata Eva kepada Gresnews.com.

BACA JUGA: