Jakarta - PT Lion Mentari Airlines (Lion Air) harus gigit jari. Bersama PT Angkasa Pura II dan
Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Lion Air dihukum membayar denda Rp25 juta. Hukuman disertai ketentuan meminta maaf di surat kabar nasional kepada penyandang cacat yang merasa dilecehkan saat menjadi penumpang maskapai itu.

"Menghukum tergugat secara tanggung renteng senilai Rp25 juta langsung dan tunai. Memerintahkan para tergugat menyampaikan permintaan maaf satu kali di koran dan media massa nasional," ujar Ketua majelis hakim, Amin Sutikno di persidangan PN Jakarta Pusat, Kamis (8/12).

Menurut majelis hakim, para tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum karena tidak menyediakan fasilitas khusus untuk Ridwan sebagai penyandang cacat. Majelis menilai perilaku Lion Air dapat membahayakan jiwa Ridwan. Misalnya, Lion Air yang tidak mendahulukan Ridwan untuk masuk ke dalam pesawat merupakan perbuatan yang membahayakan keselamatan jiwa Ridwan karena berdesakan saat masuk pesawat.

Lion Air melanggar Undang-Undang No.1 Tahun 1999 tentang penerbangan. Dalam undang-undang tersebut, diatur jelas bahwa para penyandang cacat berhak memperoleh pelayanan khusus dari maskapai swasta. Yakni fasilitas tambahan saat turun atau naik pesawat dan mendapatkan pendamping untuk membantu penumpang selama penerbangan.

"Seharusnya menunda boarding sebelum penggugat naik ke pesawat. Ini berbahaya agar tidak berdesakan dengan penumpang lain," kata Ridwan.

PAP lalai
Selain itu, hakim menganggap PT Angkasa Pura II sebagai pengelola bandara dan Kementerian Perhubungan harus bertanggungjawab atas kejadian yang dialami Ridwan. Kedua tergugat ini tidak mampu menjalankan kontrol dan evaluasi terhadap pemenuhan hak bagi penumpang cacat sehingga terjadi peristiwa ini.

Kendati demikian gugatan Ridwan tak sepenuhnya dikabulkan. Dari Rp100 juta tuntutan Ridwan, hanya Rp25 Juta yang dikabulkan. Hakim pun tidak mengabulkan gugatan Ridwan agar para tergugat meminta maaf di media massa nasional kepada seluruh penyandang cacat di Indonesia. "Karena mereka tidak diwakili penggugat," ucap majelis.

Gugatan ini bermula ketika Ridwan, warga Pondok Bambu, Jakarta Timur hendak terbang menuju Denpasar pada Senin 11 April 2011 dari Bandara Soekarno-Hatta. Ridwan merasakan perlakuan diskriminatif usai check-in.

Awalnya dia meminta tempat duduk bagian depan supaya tidak terlalu jauh di gendong. Nyatanya, dia mendapat seat 23 A atau bagian tengah.

Diskriminasi lainnnya yaitu dia dipaksa menadatangani surat sakit. Tercantum pula jika sakitnya menyebabkan penumpang lain sakit, maka dia yang harus menanggung. Dirinya sempat protes hingga penerbangan molor selama 40 menit. Di ujung pemaksaan, petugas Lion Air mengancam apabila tidak mau menandatangi surat sakit, maka Ridwan harus turun.

Diberi pilihan tersebut, mau tidak mau dia menandatangai surat perjanjian tersebut. Selain itu dia juga ada pekerjaan penting di Denpasar yang tidak mungkin ditinggalkan.

BACA JUGA: