Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi yang diajukan pihak Lion Air hingga harus membayar Rp 6,4 miliar pada 18 mantan pilotnya. Dalam putusan yang diunggah di situs resmi MA, Kamis (22/11/2018), majelis hakim juga menyatakan putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada PN Jakarta Pusat tidak bertentangan dengan hukum dan/atau UU yang berlaku.

Perkara ini bermula saat direksi Lion Air melakukan pemutusan hubungan kerja pada 18 pilotnya pada Agustus 2016 lalu. Pemutusan hubungan kerja ini sebagai buntut dari keputusan para pilot yang menolak menerbangkan pesawat pada 10 Mei 2016 silam. Mereka menolak terbang karena merasa kondisi psikologis mereka tidak memungkinkan untuk menerbangkan pesawat dan hal itu sudah sesuai dengan standar operasional maskapai maupun dalam konvensi penerbangan internasional.

Rupanya terungkap bentuk kondisi psikologis yang mengganggu para pilot Lion Air pada hari itu dipicu oleh kekecewaan dan keresahan terkait praktik manajemen yang tidak profesional dan seringkali merugikan para pilot. Sejak aksi mogok terbang itu, para pilot tersebut tidak lagi diberikan jadwal terbang tanpa alasan yang jelas. Sampai akhirnya, mereka menerima surat pemecatan pada Agustus 2016 lalu.

Kekecewaan para pilot ini berujung pada satu kata yaitu profesionalitas yang bisa dibilang tak dimiliki manajemen Lion Air. Selain kerap bersinggungan dengan mantan pilotnya sendiri, banyak polah "nyeleneh" Maskapai ini. Dari pilotnya terjerat narkoba sampai membawa anak dan istrinya di kokpit pesawat.

Belum lagi bila berbicara soal keluhan penumpang yang terkadang "iseng" menyebut maskapai ini sebagai juara delay khususnya ke rute Indonesia timur. Semua calon penumpang Lion Air sangat maklum bahwa pesawat milik Rusdi Kirana itu tidak mungkin on time. Mengharapkan Lion Air on time itu ibarat mengharapkan seorang wanita melahirkan anak kembar lima.

Puncaknya terjadinya kecelakaan Pesawat Lion Air dengan nomor penerbangan JT 610 yang jatuh di perairan Karawang pada Senin, 29 Oktober. Total ada 189 orang penumpang dan kru pesawat tujuan Pangkalpinang tersebut. Maskapai penerbangan swasta terbesar saat ini tersebut sudah selayaknya segera berbenah diri.

Jangan sampai mengorbankan prestasi dunia penerbangan Indonesia yang sudah mendapatkan beberapa apresiasi dari lembaga internasional seperti otoritas penerbangan nasional Amerika Serikat (Federal Aviation Administration/FAA), Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (International Civil Aviation Organization/ICAO), dan Uni Eropa.

Indonesia dalam sektor keamanan dan keselamatan penerbangan antara lain mendapatkan peringkat Kategori 1 oleh FAA pada 2016. Artinya, Indonesia memenuhi syarat regulasi keselamatan penerbangan sipil internasional. Selain itu, pada 2017, nilai Audit Pengawasan Keselamatan Penerbangan (Universal Safety Oversight Audit Programme/USOAP) mampu mencapai 80,34 poin. Capaian itu, membuat Indonesia berada di peringkat 58 dunia. Apresiasi kedua lembaga tersebut membuat Uni Eropa mencabut larangan seluruh maskapai penerbangan Indonesia dari EU Safety Flight pada 14 Juni 2018.

Reputasi baik dunia penerbangan Indonesia khususnya menyangkut keamanan telah menjadi hambatan yang belum sepenuhnya hilang dalam beberapa tahun belakangan ini. Penurunan reputasi tersebut pernah menoreh luka yang cukup dalam bagi industri penerbangan Indonesia bahkan dalam skala global pada tahun 2000-an lalu. Industri ini pernah mengalami keterpurukan yang disebabkan oleh beberapa kecelakaan yang membuat tingkat kepercayaan internasional begitu menurun.

Pemerintah jangan sampai mengulang masa kelam dunia penerbangan. Masa ketika pesawat-pesawat tanah air dilarang mendarat di seluruh daratan Amerika Serikat dan Eropa sehingga mengakibatkan reputasi penerbangan Indonesia menurun begitu drastis. Pemerintah harus tegas menegakkan peraturan di dunia penerbangan, termasuk kepada Lion Air.

 

BACA JUGA: