JAKARTA, GRESNEWS.COM - Dalang Kasus suap pengadaan tender Satelite Monitoring di Badan Keamanan Laut (Bakamla) RI Fahmi Darmawansyah mulai disidangkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (13/3). Sebelumnya dua orang perantara suap pejabat Bakamla yakni Hardy Stefanus dan Muhammad Adami Okta juga telah resmi berstatus terdakwa setelah disidangkan pada Jumat (10/3) lalu.

Dalam surat dakwaan KPK, Fahmi disebut memberi suap kepada empat pejabat Bakamla yaitu Deputi Bidang Informasi, Hukum dan Kerjasama sekaligus Plt Sekretaris Utama, kemudian Bambang Udoyo selaku Direktur Data dan Informasi pada Deputi Bidang Informasi, Hukum dan Kerjasama. Juga kepada Kepala Biro Perencanaan dan Organisasi Bakamla Nofel Hasan dan Kepala Sub Bagian Tata Usaha Sestama Bakamla Tri Nanda Wicaksono.

Uang Suap diberikan dengan jumlah yang berbeda kepada masing masing pihak. Serta dalam empat jenis mata uang yang berbeda mulai dari rupiah, dollar Amerika, dollar Singapura hingga Euro.

Dalam surat dakwaan juga disebut adanya dugaan keterlibatan Kepala Bakamla Arie Sudewo. Ia disebut meminta fee sebesar 7,5 persen dari imbalan yang diajukan Ali Fahmi kepada Fahmi Darmawansyah dari total komitmen sebesar 15 persen.

Namun terkait keterlibatan Arie Sudewo ini pengacara Deputi Bidang Informasi Hukum dan Kerjasama Bakamla Eko Susilo Hadi, Susilo Ariewibowo mengaku tidak mengetahuinya. Menurutnya selama proses penyidikan yang dilakukan KPK atas kliennya itu tidak pernah disebut adanya dugaan keterlibatan Kepala Bakamla.

"Jujur selama pendampingan itu tidak ada. Itu tentu di dalam dakwaan kan sudah memasuki pemeriksaan saksi yang komprehensif, saya belum tahu soal itu tapi sepanjang pendampingan Pak Eko sih gak ada," ujar Susilo di KPK, Selasa (14/3).

Eko memang menjadi satu-satunya tersangka yang belum menjalani persidangan. Dalam konstruksi perkara ini Eko disebut menerima uang dari Fahmi sebesar Sin$100 ribu, US$88.500, dan 10.000 ribu Euro. Pemberian uang dimaksudkan untuk memuluskan perusahaan Fahmi sebagai pemenang proyek  tender pengadaan Satelite Monitoring yang diadakan Bakamla.

"Sejauh pemeriksaan belum ada ke arah sana, jika ada Pak Eko pasti akan mengatakan. Artinya begini itu ada atau tidak kan kita belum tahu," tutur Susilo.

Meski demikian, Susilo menyatakan kliennya akan kooperatif dalam proses penyidikan yang dilakukan KPK. Bahkan ia memastikan kliennya akan mengajukan diri sebagai Justice Collaborator atau saksi pelaku yang bekerjasama dengan penegak hukum.

"Pastilah, Insya Allah Pak Eko akan mengajukan JC sepanjang yang dia tahu sepanjang yang dia alami dan dia lihat. Dia akan mengatakan apa adanya," pungkas Susilo.

NILAI SUAP CAPAI 60 MILIAR - Dalam surat dakwaan, Fahmi Darmawansyah disebut telah memberikan uang secara bertahap kepada empat pejabat Bakamla dengan nilai total Sin$309.500, US$88.500 Rp120 juta dan 10 ribu Euro untuk memenangkan tender pengadaan Satelite Monitoring dengan anggaran sekitar Rp200 miliar.

Rincian pemberian suap itu adalah, Deputi Bidang Informasi Hukum dan Kerjasama Bakamla Eko Susilo Hadi memperoleh  sebesar Sin$100 ribu dan US$88.500, dan 10.000 Euro.  Eko yang juga sebagai Sekretaris Utama Bakamla dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) Satuan Kerja Bakamla Tahun Anggaran 2016.

Kemudian, Bambang Udoyo, selaku Direktur Data dan Informasi pada Deputi Bidang Informasi, Hukum dan Kerjasama Bakamla sebesar Sin$105.000. Ia juga merangkap sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK).

Selanjutnya, Kepala Biro Perencanaan dan Organisasi Bakamla Nofel Hasan sebesar Sin$104.500, dan Tri Nanda Wicaksono selaku Kepala Sub Bagian Tata Usaha Sestama Bakamla sebesar Rp120 juta.

"Terdakwa telah melakukan atau turut serta melakukan beberapa perbuatan yang dipandang sebagai perbuatan berlanjut, memberi atau menjanjikan sesuatu," ujar Jaksa KPK Kiki Ahmad Yani di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (13/3).

Pada 2016, PT Merial Esa dan PT Melati Technofo Indonesia yang juga dikendalikan Fahmi Darmawansyah mengikuti lelang pengadaan "drone" dan "monitoring satellite" di Bakamla. Suatu ketika pada Maret 2016 Ali Fahmi alias Fahmi Habsyi yang merupakan politisi muda PDI-Perjuangan menjadi narasumber bidang perencanaan anggaran kepala Bakamla Arie Soedewo datang ke PT Merial Esa dan bertemu Fahmi.

"Pada saat itu Ali menawarkan kepada Fahmi untuk ´main proyek´ di Bakamla dan jika bersedia maka Fahmi harus mengikuti arahan Ali agar dapat memenangkan  proyek tersebut. Caranya dengan memberikan fee sebesar 15 persen dari nilai pengadaan," ujar Jaksa Kiki.

Ali pun memberitahukan bahwa pengadaan proyek tersebut nilainya Rp400 miliar. Namun jika ingin mengikuti proyek, ia meminta uang muka sebesar 6 persen dari nilai anggaran untuk membantu PT Merial Esa mengikuti proses lelang. Ali Fahmi kemudian mengutus Hardy yang dianggap sudah mengenal orang-orang Bakamla untuk menjadi marketing/operasional PT Merial Esa.

Bersama Adami Okta, Hardy memberikan 6 persen dari nilai proyek Rp400 miliar yaitu Rp24 miliar ke Ali pada 1 Juli 2016 di hotel Ritz Carlton Kuningan. Menariknya, Fahmi meminta bukti jika uang tersebut memang telah diberikan kepada Ali.

"Terdakwa Hardy merekam video penyerahan uang tersebut atas permintaan Adami Okta sebagai bukti untuk dilaporkan kepada Fahmi," tambah jaksa.

Jika Ali menggunakan PT Merial Esa, Fahmi menggunakan PT Melati Technofo Indonesia yang sedang dalam proses akuisisi, namun perusahaan itu sudah dikendalikan Fahmi dengan cara menduduki jabatan Komisaris Utama sementara posisi direktur utama perusahaan itu dijabat kerabatnya, Danang Sriradityo Hutomo. Hardy dan Adami Okta dipercaya Fahmi untuk mengatur dan pengurus proses pengadaan di Bakamla. Kemudian dua perusahaan yang telah diatur itu melakukan tender untuk mendapatkan proyek pengadaan "drone" dan "monitoring satellite di Bakamla.

BACA JUGA: