JAKARTA, GRESNEWS.COM - Konflik yang terjadi di Pulau Pari Kabupaten Kepulauan Seribu antara warga dengan PT Bumi Pari Asih (BPA) terkait klaim kepemilikan lahan semakin memanas. Warga Pulau Pari semakin cemas dengan ekspansi yang dilakukan PT BPA yang lambat laun akan membuat mereka terusir dari kampung yang telah mereka huni secara turun temurun sejak empat generasi sebelumnya.

Saat ini perlakuan intimidatif sering diterima warga saat mempertahankan hak mereka dari klaim PT BPA. Karena itu, warga mulai menggalang dukungan dengan membuat petisi untuk mengusir security PT BPA dari Pulau Pari dalam waktu 3x24 jam sejak surat diserahkan. Pihak PT BPA mengklaim telah secara sah menguasai lahan tersebut untuk mengembangkan Pulau Pari menjadi kawasan pariwisata.

"Iya benar. Kalau membangun PT BPA belum, tapi itu tertuang dalam master plan PT BPA. Bahkan pihak PT BPA telah menempatkan security yang melampaui kewenangan, karena intimidatif terhadap warga," ujar Zulpriadi Manajer program dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) DKI Jakarta kepada gresnews.com, Jumat (10/3).

Menurut Zulpriadi, bentuk intimidasi yang dialami warga Pulau Pari hanya memuluskan proyek PT BPA untuk menguasai Pulau Pari. Luas Pulau Pari 42,3 hektare menurut Zulpriadi telah diprivatisasi untuk dikembangkan menjadi pariwisata. Privatisasi Pulau Pari ini, kata Zulpriadi, akan mengancam keberadaaan masyarakat penghuni Pulau Pari.

"Hal tersebut tentu akan mengancam tempat tinggal, kelangsungan hidup dan sumber penghidupan sebanyak 318 Kepala Keluarga dan 1218 jiwa masyarakat yang mendiami Pulau Pari," ungkapnya.

Sahrul Hidayat salah seorang warga Pulau Pari menginisiasi petisi sebagai respons atas keprihatinan warga Pulau Pari terhadap aktivitas security PT BPA. Menurut Sahrul, petisi ini dibuat lantaran warga telah sampai pada puncak kemarahannya kepada aparat keamanan PT BPA yang semakin membuat warga semakin tidak aman untuk tinggal dirumahnya.

"Kami menggalang petisi menindaklanjuti keresahan dan aduan warga Pulau Pari akan tindakan pihak security PT BPA, ini adalah puncak kemarahan warga," kata Sahrul yang ketua Forum Peduli Pulau Pari itu.

Sahrul mengungkapkan alasan warga yang ingin mengusir aparat keamanan PT Bumi Pari Asih. Warga menilai, pihak PT BPA yang menempatkan aparat keamanannya tidak pernah dilaporkan kepada pihak warga Pulau Pari.

Alasan lainya, pihak security PT BPA bertindak berlebihan kepada warga Pulau Pari dengan cara melarang warga mendirikan bangunan. Padahal, warga telah mendiami pulau tersebut sejak lama. "Pihak securiti PT Bumi Pari Asih tanpa kewenangan yang jelas melarang warga untuk mendirikan bangunan, merenovasi bangunan," kata Sahrul.

Alasan lain yang diungkap Sahrul, tindakan security PT BPA bahkan dinilai telah melampui batas kesabaran masyarakat. Pada saat bulan ramadhan 2016 lalu, bahkan pihak PT BPA sempat menghentikan kegiatan aktivitas warga muslim, yakni kegiatan tadarusan.

Menurutnya, tindakan itu tidak patut dilakukan security. "Security PT Bumi Pari Asih pernah berupaya untuk memberhentikan kegiatan tadarus yang dilakukan oleh masyarakat di masjid pada bulan Ramadhan Tahun 2016. Bahkan memutar pengeras suara ke arah lain," pungkasnya.

Pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Rakyat Banten, Karsidi melihat tindakan yang dilakukan PT BPA itu telah menyalahi aturan. Bahkan dia menilai tindakan tersebut telah melanggar Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

"Bab XI, Pasal 29 Ayat (2) tentang kebebasan beragama. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. (HAM). Tap MPR RI No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. (HAM)," pungkasnya.

LAPOR OMBUDSMAN - Selain melayangkan petisi, warga Pulau Pari juga melaporkan Badan Pertanahan Nasional Jakarta Utara (BPN Jakut) ke Ombudsman RI. Warga mengaku mendapat intimidasi terkait sengketa tanah itu.

"Perusahaan mengklaim 90 persen (tanah Pulau Pari) milik mereka. Sementara saat ini ada 318 kepala keluarga yang ada di sana. Mereka mengklaim memiliki SHM," ujar kuasa hukum warga Pulau Pari sekaligus perwakilan dari LBH Rakyat Banten, Tigor Hutapea di gedung Ombudsman RI, Jl Rasuna Said, Jakarta Selatan, Senin (6/3) lalu.

Bagian pulau yang tidak diklaim hanya sekolah, masjid, dan kantor LIPI yang ada di Pulau Pari. Dengan klaim itu, Tigor mengatakan BPN Jakut telah melanggar UU dan PP yang berlaku soal sertifikasi tanah.

"Kami menemukan BPN Jakut melanggar pasal 21 UU PA. Kemudian PP 27 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Kami menduga ada penerbitan sertifikat yang tidak sesuai dengan PP," jelasnya.

Satu warga Pulau Pari yakni Edi Priadi, bahkan menjadi korban kriminalisasi dan dipidanakan karena tuduhan menyerobit tanah perusahaan. Padahal belum ada tembok atau bangunan milik perusahaan di pulau tersebut. "Ada Pak Edi Priadi, yang sudah masuk vonis penjara empat bulan. Tanah itu kan perdata, bukan pidana. Kenapa kawan kami dipidanakan," kata Sahrul.

Selain itu, Istri dari Edi Priadi juga mendapat ancaman. Sahrul menceritakan, ada dari pihak kecamatan yang datang ke rumah istri Edi Priadi dan berusaha menyogok dengan uang Rp20 juta agar mau mengosongkan rumah. "Itu ditolak mentah-mentah oleh istri Pak Edi," ucap Sahrul.

Sementara itu, Bupati Kepulauan Seribu, Jakarta, Budi Utomo membantah Pulau Pari dikuasai perorangan. Ia menyatakan tegas 40 persen pulau itu milik Pemprov DKI. "40 Persen tanah milik Pemprov DKI," kata Budi.

Adapun 10 persen dari pulau seluas 42 hektare itu digunakan untuk penelitian dan sisanya digunakan untuk sektor wisata dan penduduk. Budi mengakui saat ini ada konflik status tanah dan telah berlangsung sejak tahun 80-an antara warga dengan pengembang resort. "Saya sudah 8 kali memediasi mereka tetapi belum ada titik temu," ujar Budi.

Pengembang itu memiliki Hak Guna Bangunan (HGB) atas tanah yang dibeli dari warga. Dalam perjalanannya, terjadi sengketa di warga Pulau Pari. Ada yang setuju dan ada yang tidak setuju dengan rencana proyek resort itu. "Saya juga sudah dimintai keterangan oleh Komnas HAM dan Istana, saya ceritakan seperti itu," ujar Budi. (dtc)

BACA JUGA: