JAKARTA, GRESNEWS.COM - Rancangan Undang Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang biasa disingkat KUHP masih terus dibahas Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Persoalan yang sempat menjadi perdebatan hingga akhirnya mencapai kata sepakat adalah dimasukkannya klausul penyebaran Marxisme-Leninisme dalam RUU KUHP.

Direktur Eksekutif Institut for Criminal Justice (ICJR) Supriyadi Widodo mengatakan baik DPR maupun pemerintah dinilainya belum memiliki keseriusan untuk menghapus pasal-pasal yang berpotensi mengekang Hak Asasi Manusia (HAM). Malahan DPR masih menganggap penting keberadaan pasal yang cenderung melanggar HAM tersebut.

Salah satu pasal yang dipersoalkan ICJR adalah pasal yang mengatur soal penyebaran ideologi komunisme. Menurut Supriyadi, pasal pemidanaan seperti dalam Rancangan KUHP diatur pada Bab I tentang Tindak Pidana Terhadap Keamanan Negara, yaitu mengenai Penyebaran ajaran komunisme/Marxisme-Leninisme dalam Pasal 219 dan pasal 220 masih sangat sumir sehingga berpotensi melanggar HAM.

"Khususnya terkait dengan jenis perbuatan yang dilarang, apakah perbuatan menyebarkan ajaran komunisme/Marxisme-Leninisme atau perbuatan yang menggantikan atau mengubah Pancasila," kata Supriyadi Widodo kepada gresnews.com melalui pesan singkatnya, Kamis (2/3).

Pasal itu, tambah Supriyadi, memiliki penafsiran yang sangat luas sehingga frase pemidanaannya akan berpotensi melangar HAM. Kemungkinan itu lantaran rumusannya yang terlalu luas dan sumir atas dasar pertimbangan subjektif pihak tertentu untuk membatasi kegiatan-kegiatan yang sebetulnya mendukung pengembangan ilmu dan pengetahuan.

"Pembubaran diskusi, berkumpul, dan larangan penerbitan buku dan lain-lain yang di klaim sepihak sebagai ajaran Marxisme akan tetap terjadi di masa mendatang," ujar Supriyadi.


ALASAN DIPERTAHANKAN - Sementara itu, anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani menyatakan beberapa pasal dalam RUU KUHP ditargetkan selesai dalam masa sidang ini. Soal adanya pasal penyebaran komunisme masih tetap dipertahankan dalam UU KUHP yang baru meskipun pasal soal penyebaran itu sempat ditentang beberapa penggiat hukum karena dinilai sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman.

"Pasal itu tetap ada," kata Arsul Sani yang juga anggota Panitia Kerja (Panja) RUU KUHP kepada gresnews.com di Gedung DPR RI, Senayan Jakarta, Rabu (2/2).

Arsul mengungkapkan, DPR juga memiliki alasan yuridis untuk mempertahankan pasal tersebut dalam RUU KUHP. Pasalnya, soal penyebaran komunisme memang masih menjadi momok yang akan merongrong ideologi Pancasila. Ketetapan MPR atau yang dikenal dengan TAP MPR juga belum dicabut sehingga keberadaan pasal itu dalam KUHP masih sangat relevan.

Kendati begitu, Arsul juga telah mewanti-wanti bahwa ancaman komunisme masih sangat serius bagi Indonesia. Karena itu perlu aturan yang juga kuat sebagai penopang untuk mencegah berkembangnya ideologi komunisme seperti pasal yang terdapat dalam RUU KUHP.

"Soal ada tanggapan bahwa ancaman komunisme itu seperti hantu disiang bolong itu kan pendapat, kita hormati. Tapi masih banyak juga ancaman komunisme itu masih ril," ujar Arsul.

Selain itu, sambung Arsul, dia melihat masih ada konsensus politik nasional yang masih menginginkan klausul soal itu tetap dipertahankan. Hanya saja Arsul mengaku lebih berhati-hati untuk merumuskannya agar tidak menjadi pasal karet yang dapat menjerat seseorang.

Dia juga memastikan, soal kegiatan akademik yang terkait soal itu bukan masuk dalam kategori pidananya. Memang ada kesulitan untuk merumuskan deliknya secara pas. Tetapi, sambung Arsul, ketika nanti ada kasus tentu akan dijelaskan oleh saksi ahli.

"Itu misalnya begini kalau terang terangan menyebarkan dengan mengampanyekan diruang publik dan kata-kata membentuk itu kan memang harus beda. Kalau menulisnya untuk keperluan akademik tentu itu satu hal yang diperbolehkan atau dikecualikan dari larangan tapi harus dikasih rambu dalam normanya," tutup Arsul.

Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsuddin juga pernah mengingatkan, Indonesia saat ini tengah menghadapi ancaman kebangkitan komunis. "Komunisme salah satu ancaman serius bangsa, jangan anggap remeh," kata Din yang merangkum masukan dari pimpinan-pimpinan ormas Islam di rapat pleno Wantim MUI, Rabu (22/2).

Menurutnya komunisme di Indonesia saat ini bukan lagi suatu wacana, melainkan realita yang mulai terlihat, bukan mitos melainkan fakta, baik secara teoritis menurut literatur, maupun secara empiris.

Din menegaskan, banyak kejadian yang mengindikasikan yang menjadi penampakan nyata komunisme, termasuk kemunculan budaya permisivisme. Menurut Din, budaya itu telah membuat ancaman komunisme itu seakan-akan tidak ada di masyarakat.

"Budaya permisivisme itu, yang seolah menganggap seakan tak ada ancaman komunisme," ujar Din.

Din meminta pemerintah apalagi Kepolisian dan TNI, tidak mendiamkan ancaman-ancaman dari gerakan komunisme yang mulai menggeliat. Menurut Din, ancaman komunisme yang dibarengi satu budaya permisivisme, mengancam eksistensi bangsa Indonesia.

BACA JUGA: