JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pengusutan kasus dugaan korupsi restitusi pajak PT Mobile-8 tak jelas kelanjutannya, setelah Kejaksaan Agung kalah dalam gugatan praperadilan oleh tersangka. Padahal sebelumnya Kejaksaan Agung tegas menyatakan akan menerbitkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik ) baru dalam penyelidikan kasus tersebut.

Namun hingga saat telah empat bulan berlalu Lembaga Adyaksa itu tak kunjung menerbitkan surat perintah penyidikan baru untuk kasus restitusi pajak itu. Padahal untuk kasus dugaan korupsi pengadaan film animasi di TVRI, yang sama-sama dikalahkan praperadilan, Kejaksaan Agung bergerak cepat menerbitkan Sprindik baru dan menetapkan tersangkanya kembali.

Jaksa Agung M Prasetyo saat disoal kelanjutan kasus restitusi pajak yang sempat menjerat ipar CEO MNC Group Hary Tanoesoedibjo yakni Hary Djaja sebagai tersangka, kembali umbar janji. "Nanti Jampidsus akan keluarkan Sprindik baru, kita hanya ingin selamatkan uang negara," kata Prasetyo di Kejaksaan Agung usai melantik sejumlah pejabat eselon II, Rabu (22/2).

Penanganan kasus ini cukup lama. Untuk menetapkan tersangka, butuh waktu setahun. Bahkan saat ditetapkan tersangka dilakukan diam-diam. Publik mengetahui dua tersangka tersebut, justru saat keduanya mengajukan gugatan praperadilan di Pengadilan Jakarta Selatan.

Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Arminsyah pada awal Desember 2016 menyampaikan,  tim penyidik tidak membutuhkan waktu lama untuk menerbitkan sprindik baru termasuk tersangka kasus pajak Mobile-8. Sebab penyidik telah mengantongi audit kerugian negara dan surat rekomendasi dari Ditjen Pajak. Audit BPK menyebut kerugian negara dalam kasus ini sebesar Rp86 miliar.

"Tinggal menunggu waktu saja, praperadilan kan belum bahas materi perkara, kan belum final," tegas Armin kala itu.

Dua orang yang bakal kembali dijadikan tersangka yakni Direktur PT Djaja Nusantara Komunikasi (DNK), Hary Djaja dan Anthony Candra Kartawiria selaku mantan Direktur PT Mobile-8. Saat ini Anthony Chandra  menjabat Direktur PT First Media Tbk, Direktur PT Citra Investama Andalan Terpadu, dan juga Direktur di PT Graha Raya Ekatama Andalan Terpadu.

Adanya perbedaan perlakuan penanganan kasus korupsi yang kalah dipraperadilan ini memunculkan dugaan tebang pilih dalam penanganan perkara. Namun Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Moh Rum membantah. Rum mengatakan cepat terbitnya Sprindik baru kasus korupsi  TVRI, sementara kasus restitusi pajak PT Mobile 8 lamban tidak karena tebang pilih. Tetapi karena persoalan bukti-bukti yang dimiliki Kejaksaan Agung.

"Tidak ada (tebang pilih), dimulainya penyidikan dan penetapan tersangka berdasar bukti-bukti yang dimiliki penyidik," terang Rum kepada gresnews.com beberapa waktu lalu.

Dalam kasus PT Mobile Rum menjamin,  jika Direktorat Pidana Khusus akan tetap menyidik kasusnya. Audit kerugian negara dari BPK dan surat Ditjen Pajak sebagai dasar penyidikannya.

PIDANA PAJAK ATAU KORUPSI - Dua orang yang sebelumnya dijadikan  tersangka dalam kasus ini,  tetap ngotot berpendapat bahwa kasus restitusi bukan kasus pidana korupsi, namun perkara pidana perpajakan. Apalagi pihaknya telah ikut tax amnesty.

Kuasa hukum PT Mobil-8 Hotman Paris Hutapea meminta Kejaksaan Agung menghentikan penyidikan dan tidak lagi menerbitkan Sprindik baru. Hotman menyatakan kasus restitusi pajak bukan pidana korupsi tapi pidana pajak. Jadi, kata Hotman yang berwenang menyidik adalah Penyidik dari Ditjen Pajak. "Ini  bukan kewenangan Kejagung karena di UU pajak jelas disebutkan yang berwenang menyidik itu tindak pidana pajak adalah penyidik Ditjen pajak," kata Hotman.

Hotman juga  mengatakan transaksi fiktif yang menyebabkan kerugian negara hingga Rp86 miliar itu tidak berdasar. Transaksi penjualan sebesar Rp80 miliar dari Mobile-8 adalah peningkatan penjualan. Sedang uang sebesar Rp10 miliar yang diterima Mobile-8 dari pengembalian pajak bukanlah kerugian negara, tapi karena  disebabkan transaksi penjualan sebesar Rp80 miliar pada 2007.

Dalam kasus pajak Mobile-8, menurut Hotman negara malah untung sebesar Rp8 miliar dari hasil peningkatan penjualan sebesar Rp80 miliar yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10 persen.

Kenapa timbul restitusi pajak? Hotman menjelaskan pada masa pajak 2004, Mobile-8 rugi. Karena rugi maka pada akhir tahun tidak wajib bayar pajak. Akan tetapi sebelum kerugian dihitung pada akhir tahun, Mobile-8 membayar pajak (prepaid tax), oleh karena itu Mobile-8 berhak meminta kembali uang yang dibayarkan. "Di sini kekeliruan besar dari Kejaksaan Agung yang tidak memahami tentang apa itu restitusi pajak," kata Hotman.

Kasus ini sendiri berawal saat penyidik Kejagung menemukan adanya transaksi palsu terkait permohonan restitusi pajak antara PT Mobile 8 dengan PT Jaya Nusantara pada periode 2007-2009. Di mana, dalam kurun waktu tersebut, PT Mobile 8 diduga telah memalsukan bukti transaksi dengan PT Jaya Nusantara hingga mencapai Rp80 miliar.

Namun sebelumnya kejaksaan menyebut telah memeriksa saksi dari rekanan PT Mobil-8 yang mengakui ada manipulasi perdagangan dari Mobil-8 kepada perusahaan saksi. Seolah-olah ada transaksi pembelian dengan jumlah tertentu, namun hal itu diakuinya hanya transaksi fiktif yang tidak sebenarnya. Sebab kendati Mobil-8 mentransfer sejumlah uang, namun uang tersebut kembali kepada PT Mobil-8. Tetapi Mobil-8 mengklaim kepada Dirjen Pajak ada transaksi pembelian dan meminta restitusi pajak. 

BACA JUGA: