JAKARTA, GRESNEWS.COM - Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian uji materi atas Pasal 35 huruf c Undang-Undang No. 16 Tahun 2014 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan) soal seponering atau pengesampingan sebuah perkara demi kepentingan umum. Gugatan itu  diajukan oleh Irwansyah Siregar (Pemohon I) dan  Dedi Nuryadi (Pemohon II). Keduanya adalah korban kekerasan yang diduga dilakukan Novel Baswedan saat menjabat Kasat Reskrim Polda Bengkulu.

Putusan ini dibacakan Ketua MK Arief Hidayat pada Rabu (11/1) pekan lalu. Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah berpendapat kewenangan seponering/deponering yang diatur dalam Pasal 35 huruf c UU Kejaksaan tetap diperlukan dalam penegakan hukum pidana di Indonesia. Namun, agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang oleh Jaksa Agung, MK memandang perlu dilakukan pembatasan yang ketat atas keberlakuan pasal tersebut supaya tidak bertentangan dengan hak-hak konstitusional maupun hak asasi manusia pada umumnya yang dijamin dalam UUD 1945.

Dari penjelasan Pasal 35 huruf c UU Kejaksaan, diperoleh pemahaman bahwa: (i) "kepentingan umum" diartikan sebagai "kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas" dan "seponering hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut".

Penjelasan tersebut, menurut Mahkamah, tidak menjelaskan lebih lanjut batasan kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas sehingga dapat diartikan secara luas oleh Jaksa Agung selaku pemegang kewenangan seponering. Bahkan, Mahkamah menilai, kewenangan tersebut sangat rentan untuk diartikan sesuai kepentingan Jaksa Agung.

Kendati dalam menerapkan seponering Penjelasan Pasal 35 huruf c UU Kejaksaan menyatakan: "setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut", saran dan pendapat dari badan kekuasaan negara tersebut seakan tidak mengikat.

"Artinya, kewenangan melakukan seponering benar-benar menjadi suatu kewenangan penuh yang dapat diambil oleh Jaksa Agung," ujar Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dalam pertimbangannya seperti dikutip gresnews.com, dari dari laman situs Mahkamah Konstitusi, Minggu (15/1).

Oleh karena itu, Mahkamah perlu memberi penafsiran terhadap Penjelasan Pasal 35 huruf c UU Kejaksaan sepanjang frasa "setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut". Mahkaham berpendapat, frasa tersebut harus dimaknai: "Jaksa Agung wajib memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut".

Tafsiran tersebut, menurut Mahkamah, dibutuhkan agar ada ukuran yang jelas dan ketat dalam penggunaan kewenangan seponering oleh Jaksa Agung. Sebab, tidak terdapat upaya hukum lain untuk membatalkannya kecuali Jaksa Agung itu sendiri, meskipun kecil kemungkinan hal itu dilakukan.

Selain itu, penafsiran tersebut perlu dilakukan oleh Mahkamah karena seponering berbeda halnya dengan penghentian penuntutan. Terhadap penghentian penuntutan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 140 Ayat (2) KUHAP, terdapat upaya hukum praperadilan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 77 huruf a KUHAP dan Putusan Mahkamah Nomor 21/PUU-XII/2014, bertanggal 28 April 2015.

"Berdasarkan seluruh uraian pertimbangan tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa dalil para Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian," ujar Wahiduddin.

Menanggapi putusan MK tersebut, Kejaksaan Agung tidak mempersoalkannya. Malah dengan putusan tersebut kian menegaskan bahwa pengeyampingan perkara adalah hak Jaksa Agung.

"Itu tidak masalah, artinya MK sepaham dengan Undang-Undang itu (Kejaksaan), seponering itu haknya Jaksa Agung," kata Ketua Umum Persatuan Jaksa Indonesia (PJI) yang juga Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum) Noor Rachmad saat dikonfirmasi gresnews.com, Minggu (15/1).

Dia menjelaskan, sejak dulu Jaksa Agung selalu memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut sebelum menerbitkan seponering. Malah dengan putusan MK di satu sisi makin menguatkan kedudukan Jaka Agung.

"Jadi dari dulu sudah seperti itu, justru dengan begitu orang enggak akan tergoyahkan lagi bawa seponering itu kewenangan jaksa agung," tutupnya.

KASUS PIMPINAN KPK - Beberapa kali Jaksa Agung menggunakan hak untuk melakukan seponering satu perkara. Terakhir seponering kasus dua mantan pimpinan KPK, Abraham Samad (AS) dan Bambang Widjojanto (BW).

Jaksa Agung Muhammad Prasetyo menegaskan, seponering atau pengesampingan perkara demi kepentingan publik adalah hak prerogratifnya. Dan itu diatur dalam UU tentang Kejaksaan Agung Republik Indonesia bahwa seponering hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung.

Pasetyo mengatakan keputusan seponering AS dan BW bukan tanpa pertimbangan. Seponering keluar setelah mempertimbangkan pendapat-pendapat dari instansi-instansi negara yang memiliki hubungan dengan masalah tersebut. Semua lembaga hukum menyetujui.

Prasetyo mengatakan, pertimbangan seponering kasus AS dan BW karena Prasetyo mempertimbangkan proses pemberantasan korupsi di Indonesia. Ia khawatir mempidanakan pejabat atau penggiat anti korupsi dapat menurunkan semangat pemberantasan koruptor. "Itu subjektivitas Jaksa Agung berdasarkan fakta yang ada,” jawab Prasetyo saat ditanya alasan memilih seponering.

Pada 2011, saat Jaksa Agung Basrief Arief juga pernah mengeluarkan seponering atas kasus pemimpin KPK saat itu. Basrief Arief mengeluarkan seponering atas kasus pemimpin KPK saat itu Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah. Surat seponering berdasar surat TAP 001/A/JA/2011 atas nama Chandra M. Hamzah dan TAP 002/A/JA/2011 atas nama Bibit S. Rianto.

Salah satu alasan Kejaksaan Agung mengeluarkan seponering adalah mendukung upaya pemerintah dalam pemberantasan korupsi. Sebelum keputusan ini diambil, Kejaksaan Agung mengaku telah meminta pernyataan dan saran kepada lima lembaga tentang seponering.

Lembaga itu adalah Presiden RI, Dewan Perwakilan Rakyat, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Kepolisian RI. Menurut Basrief, kelima lembaga sudah menyatakan memahami alasan Kejaksaan Agung memilih deponering kasus Bibit-Chandra. Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah. Surat seponering berdasar surat TAP 001/A/JA/2011 atas nama Chandra M. Hamzah dan TAP 002/A/JA/2011 atas nama Bibit S. Rianto.

Salah satu alasan Kejaksaan Agung mengeluarkan seponering adalah mendukung upaya pemerintah dalam pemberantasan korupsi. Sebelum keputusan ini diambil, Kejaksaan Agung mengaku telah meminta pernyataan dan saran kepada lima lembaga tentang seponering.

Lembaga itu adalah Presiden RI, Dewan Perwakilan Rakyat, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Kepolisian RI. Menurut Basrief, kelima lembaga sudah menyatakan memahami alasan Kejaksaan Agung memilih seponering kasus Bibit-Chandra.

BACA JUGA: