JAKARTA, GRESNEWS.COM – Mahkamah Agung (MA) RI selangkah lagi mengeluarkan Peraturan MA (Perma) yang mengatur tentang tindak pidana korupsi yang dilakukan korporasi. MA hanya tinggal melakukan rapat pimpinan untuk menerbitkan aturan tersebut. Hal itu dikatakan Ketua Kamar Pidana MA Artidjo Alkostar saat ditemui wartawan beberapa waktu lalu.

Artidjo berharap dengan dikeluarkannya Perma itu maka tidak ada lagi pihak yang kebal hukum di Indonesia. Sebelumnya, berbagai kasus pidana, termasuk korupsi, yang berkaitan dengan korporasi hanya dibebankan kepada para direksi, sedangkan korporasi tersebut lolos begitu saja dari hukuman.

Lalu bagaimana cara membedakan pertanggungjawaban pidana antara korporasi dan direksi atau pengendalinya? "Perbedaan utamanya adalah korporasi itu institusi atau lembaganya, kalau pengendali orang yang diberi wewenang dan tanggung jawab oleh organ tertinggi korporasi yaitu RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham) untuk menjalankan korporasi," kata Ahli Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar saat dihubungi gresnews.com, Minggu (4/12).

Fickar menjelaskan, dalam setiap keputusannya, korporasi akan sangat mungkin berhimpitan dengan kepentingan pengendalinya. Oleh karena itu jika dapat dibuktikan bahwa perbuatan yang merugikan negara atau orang lain murni atas keputusan korporasi secara perdata disebut business risk (risiko bisnis) secara pidana menjadi tanggung jawab pidana korporasi.

"Ada teori Ultra Vires yaitu teori yang membuktikan bahwa sebuah keputusan korporasi ditumpangi oleh kepentingan pribadi pengendali, maka secara perdata tanggung jawab perdata atas kewajiban selain aset korporasi juga harta pengendali secara pribadi," terang Fickar.

Teori Ultra Vires yang dimaksud Fickar pada prinsipnya merupakan tindakan hukum direksi yang tidak mengikat perseroan, dikarenakan yaitu: tindakan yang dilakukan berada di luar maksud dan tujuan perseroan dan di luar kewenangan yang diberikan kepadanya berdasarkan undang-undang yang berlaku dan anggaran dasar perseroan.

Anggota direksi yang melakukan Ultra Vires adalah tidak sah dan bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian yang diderita perseroan dan tidak mengikat badan hukum. Doktrin ini juga berlaku di hukum internasional sesuai dengan karakter masing-masing.

Sebelumnya kepada wartawan, Artidjo mengatakan dengan terbitnya Perma maka tidak akan ada lagi keraguan para penegak hukum untuk menjerat korporasi bermasalah. Sebab dalam Perma tersebut diatur secara rinci bagaimana cara mengadili korporasi.

Artidjo menjamin dalam proses hukum nantinya aparat tidak akan lagi merasa bingung untuk membedakan apakah suatu tindak pidana yang dilakukan itu merupakan tanggung jawab korporasi atau pengendalinya. "Enggak, itu nanti akan diatur dalam Perma itu," kata Artidjo, Kamis (1/12).

SIAPA PIHAK YANG DISIDANG? - Jika korporasi bisa ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi, pertanyaan berikutnya adalah siapa pihak yang ditetapkan sebagai tersangka, terdakwa dan kemudian disidangkan? Soal siapa perwakilan dari korporasi yang akan disidangkan, menurut Artidjo, hal itu tergantung dari aturan korporasi itu sendiri.

Dalam Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) suatu korporasi tentunya diatur siapa yang bertanggung jawab jika terjadi sesuatu termasuk kasus hukum yang melibatkan korporasi tersebut. "Dalam AD setiap perusahaan kan ada itu, siapa yang bertanggung jawab di luar atau di dalam pengadilan, di dalam konstitusi perusahaan ada itu AD/ART-nya," jelas Hakim Agung yang kerap memperberat hukuman koruptor di level kasasi atau Peninjauan Kembali itu.

Selain itu dalam surat dakwaan juga ada sedikit perbedaan dari yang biasa dilakukan kepada perorangan. "Di hukum acara banyak kendala harus ada agama, jenis kelamin, itu aja. Di korporasi enggak ada, di dalam Perma ini jenis perusahaan ganti jenis kelamin, begitu-begitu nanti lengkap itu," tutur Artidjo.

Dalam proses peradilan nanti, kata Artidjo, juga akan menyentuh tentang pengembalian aset yang terbukti dikorupsi oleh korporasi. "Konsekuesninya apa-apa kekayaan negara yang masuk korporasi itu nanti diberikan status hukum," jelas Artidjo.

Dalam sebuah tindak pidana, memang ada beberapa perkara yang melibatkan korporasi secara langsung maupun tidak langsung. Untuk kasus korupsi, beberapa perkara itu diantaranya kasus suap yang dilakukan PT Brantas Abipraya yang ditujukan kepada Kajati DKI Jakarta Sudung Situmorang dan Aspidsus Tomo Sitepu.

Dalam perkara ini, pengadilan telah memutus bersalah dua pejabat PT Brantas Abipraya yaitu Sudi Wantoko dan juga Dandung Pamularno. Uang suap berasal berasal dari uang perusahaan BUMN tersebut sebesar Rp2 miliar.

Selanjutnya dalam perkara kasus suap panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution. Pemberian suap dilakukan untuk pengurusan perkara sejumlah perusahaan di bawah naungan Lippo Group. Perkara itu sendiri juga menyeret nama mantan Sekretaris MA Nurhadi.

Ada juga kasus suap Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) terkait Reklamasi di Teluk Jakarta. Uang suap Rp2 miliar yang diberikan kepada Ketua Komisi D Mohaman Sanusi ditujukan untuk mempercepat proses pembahasan Raperda demi kepentingan pengembang, salah satunya PT Agung Podomoro Land (APL).

Ariesman Widjaja selaku Presiden Direktur PT APL selaku pemberi suap telah divonis bersalah oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta bersama dengan asistennya Trinanda Prihantoro. Keduanya masing-masing dihukum selama 3 tahun dan 2,5 tahun penjara.

BACA JUGA: