JAKARTA, GRESNEWS.COM - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan mantan petinggi Lippo Group Eddy Sindoro sebagai tersangka dalam kasus suap pengurusan perkara di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat .  Namun hingga saat ini KPK tak mengumumkan secara terbuka penetapan Eddy sebagai tersangka.

Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif saat dikonfirmasi wartawan di kantornya membenarkan status Eddy Sindoro tersebut. Menurutnya sprindik (surat perintah penyidikan) atas nama Eddy Sindoro ditandatanganinya sebelum persidangan tuntutan panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution dilakukan.

"Itu kan kemarin sudah dikatakan di persidangan. Karena sudah dikatakan di persidangan, bahwa sebagian disita untuk dijadikan sebagai alat bukti untuk kasus yang lain. Jadi ini sekaligus mengklarifikasi bahwa di KPK memang itu sudah ditandatangani," kata Syarif di kantornya, Selasa (22/11).

Syarif pun berdalih belum diumumkannya secara resmi status tersangka Eddy Sindoro, disebabkan karena saat ini pihaknya masih mencari keberadaan Eddy Sindoro. Hal itu salah satu strategi KPK untuk menangkap mantan Bos Lippo Group tersebut.

"Itu salah satunya juga, karena beliau lagi tidak berada di Indonesia, sedang dalam pencarian dan hal-hal seperti itu," tuturnya.

Namun Syarif merasa yakin,  bisa membawa Eddy Sindoro ke Indonesia dan melakukan proses hukum terhadap yang bersangkutan. Mengenai cara membawa Eddy, Syarif masih merahasiakannya. "Ya ada lah upaya KPK untuk mencari yang bersangkutan dan tidak perlu dibicarakan bagaimana upaya-upaya yang sedang dikerjakan," jelas Syarif.

Informasi yang diperoleh gresnews.com, Eddy disangka Pasal 5 Ayat (1) UU 31/99 yang telah diubah dengan UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP karena telah memberi suap kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara berkaitan dengan jabatannya.

PERAN EDDY SINDORO - Peran Eddy Sindoro terungkap jelas dalam surat dakwaan Doddy Aryanto Supeno. Jaksa Penuntut Umum KPK telah merinci pemberian suap tersebut dan untuk apa uang suap diberikan. Selain itu, jaksa juga membeberkan cara-cara yang dilakukan para pengusaha untuk meloloskan kepentingannya dengan menyuap Edy Nasution.

Pemberian uang suap kepada Edy dilakukan berulang-ulang. Pertama uang yang diberikan senilai Rp150 juta, untuk dua termin perkara. Yakni untuk penundaan aanmaning perkara Niaga antara PT Metropolitan Tirta Perdana (MTP) dengan PT Kymco senilai Rp100 juta . Aanmaning adalah tindakan peringatan dalam hukum perdata yang berarti tindakan atau upaya Ketua Pengadilan untuk teguran pihak yang kalah dalam perkara untuk melaksanakan putusan dengan sukarela.

Berdasarkan putusan Singapore Internasional Abitration Centre (SIAC) dalam perkara Nomor 62 Tahun 2013 tertanggal 1 Juli 2013, ARB No. 178 Tahun 2010 PT MTP dinyatakan wanprestasi dan diwajibkan membayar ganti rugi kepada PT Kymco sebesar US$11,1 juta.

Terhadap putusan SIAC tersebut PT MTP belum melaksanakan kewajibannya, sehingga PT Kymco pada 24 Desember 2013 mendaftarkan putusan tersebut di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat agar putusan tersebut dapat dieksekusi di Indonesia.

"Atas pendaftaran itu, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan bahwa Putusan SIAC dapat dilakukan eksekusi di Negara Kesatuan Republik Indonesia," terang Jaksa KPK Gina Saraswati.

Menindaklanjuti hal itu,, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melakukan pemanggilan aanmaning kepada PT MTP melalui Pengadilan Negeri Tangerang agar PT MTP hadir di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 1 September 2015, namun PT MTP tidak hadir.

Selanjutnya PN Jakarta Pusat kembali melakukan pemanggilan kepada PT MTP untuk hadir pada tanggal 22 Desember 2015. "Mengetahui adanya panggilan Aanmaning tersebut, Eddy Sindoro memerintahkan Wresti Kristia Hesti untuk mengupayakan penundaan aanmaning," ujar Jaksa.

Menindaklanjuti perintah itu, pada 14 Desember 2015 Wresti menemui Edy Nasution di kantornya di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan meminta penundaan aanmaning PT MTP. Edy pun menyetujui menunda proses aanmaning sampai dengan bulan Januari 2016, dengan imbalan uang sebesar Rp100 juta.

"Selanjutnya Wresti melaporkan kepada Eddy Sindoro bahwa proses aanmaning dapat ditunda sampai dengan bulan Januari 2016 dan untuk itu Edy Nasution meminta imbalan uang sebesar Rp100 juta, kemudian meminta persetujuan Eddy Sindoro bahwa uang akan diminta dari Hery Soegiarto dan Eddy Sindoro menyetujuinya," pungkas Jaksa.

Pada 15 Desember 2015 Wresti menghubungi Hery Soegiarto untuk meminta uang sebesar Rp100 juta. Selanjutnya Wresti menyuruh Wawas Sulistiawan untuk mengambil uang tersebut sekaligus menyerahkannya kepada terdakwa untuk diserahkan kepada Edy Nasution.

Setelah menerima uang dari Wawan terdakwa pada tanggal 18 Desember 2015 melakukan pertemuan dengan Edy Nasution di Basemen Hotel Acacia, Senen, Jakarta Pusat, dalam pertemuan tersebut terdakwa menyerahkan uang sebesar Rp100 juta.

Berdasarkan Putusan Kasasi Mahkamah Agung RI Nomor: 214/Pdt.Sus-Pailit/2013 tanggal 31 Juli 2013,  PT AAL dinyatakan pailit dan putusan mana telah diberitahukan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kepada PT AAL pada tanggal 7 Agustus 2015.

Atas putusan Kasasi tersebut, sampai dengan batas waktu 180 hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 295 ayat (2) UndangUndang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan, PT AAL tidak mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali.

"Namun untuk menjaga kredibilitas PT AAL yang sedang ada perkara di Hongkong, Eddy Sindoro pada pertengahan bulan Februari 2016 memerintahkan Wresti mengupayakan pengajuan Peninjauan Kembali ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat," kata Jaksa KPK lain, Joko Hermawan.

Menindaklanjuti perintah tersebut, pada 16 Februari 2016 Wresti kembali menemui Edy Nasution di Kantor Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk meminta agar menerima pendaftaran PK PT AAL meskipun waktu pendaftarannya sudah melewati batas waktu.

Atas permintaan dimaksud Edy awalnya tidak bersedia dengan alasan waktu pengajuan PK sudah lewat, sehingga Wresti menawarkan akan memberikan sejumlah uang sebagai imbalannya dan disetujui oleh Edy.

"Selanjutnya Wresti melaporkan kepada Eddy Sindoro, dimana Eddy Sindoro menyetujui dan menyampaikan uang akan disediakan oleh Ervan Adi Nugroho," terang Jaksa Joko. Serangkaian kegiatan itu  memperkuat peran Eddy Sindoro dalam kasus penyuapan terhadap Edy Nasution.

BACA JUGA: