JAKARTA, GRESNEWS.COM - Eddy Sindoro bak hilang ditelan bumi. Eksekutif perusahaan Grup Lippo itu tak pernah sekali pun memenuhi panggilan pemeriksaan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus suap terhadap Panitera/Sekretaris Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution.

Presiden Komisaris PT Artha Pratama Anugerah --- perusahaan yang disebut oleh jaksa KPK dalam dakwaan terhadap Doddy Aryanto Supeno (pegawai PT Artha Pratama Anugerah yang divonis oleh PN Tipikor pada PN Jakarta Pusat 4 tahun penjara dalam kasus suap Edy Nasution) sebagai anak perusahaan Lippo Group --- itu telah dicegah bepergian ke luar negeri oleh KPK pada 28 April 2016 dan berlaku selama enam bulan. Namun, KPK mengendus Eddy Sindoro saat ini tengah berada di luar negeri.

"Eddy Sindoro sampai sekarang belum ditemukan, kabarnya di negara tetangga," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata saat dihubungi gresnews.com, Selasa (8/11).

Alexander mengatakan KPK sudah meminta bantuan berbagai pihak untuk terus menelusuri posisi Eddy Sindoro. "Itu dia, kita sudah minta bantuan berbagai pihak, (tapi) belum ketemu juga," ujarnya.

(BACA JUGA: KPK Benarkan Ada Hubungan antara Lippo dan Paramount

Sebagai catatan, Eddy Sindoro juga adalah Chairman Paramount Enterprise International. Sebelumnya Eddy Sindoro pernah menjabat sejumlah posisi direksi dan komisaris di perusahaan Grup Lippo antara lain CEO Lippo Cikarang Tbk (1992-1997), Presiden Komisaris PT Lippo Cikarang Tbk (2000-2009). Pernah pula berkiprah di PT Lippo Karawaci Tbk, PT Bank Lippo Tbk, PT Siloam Healthcare Tbk, PT Lippo Land Development Tbk, dan PT Matahari Department Store Tbk.

Eddy Sindoro adalah kakak Billy Sindoro. Billy divonis tiga tahun penjara pada 2009 di tingkat Peninjauan Kembali dalam kasus suap Rp500 juta kepada Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) M. Iqbal. Majelis hakim PK saat itu diketuai Artidjo Alkostar. Kapasitas Billy saat itu adalah Direktur Utama PT First Media Tbk (Lippo Group). Lippo adalah imperium bisnis yang dikendalikan oleh Mochtar Riady dan putranya, James Riady.

Diwawancarai terpisah, Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif menegaskan hingga saat ini KPK tidak membiarkan Eddy Sindoro untuk "bebas" begitu saja. Hal itu dikatakan Syarif seusai menghadiri sebuah acara di kampus Universitas Indonesia, kawasan Salemba, Jakarta Pusat.

"Sudah kerjasama dengan Mabes Polri cari mereka. Sebenarnya, karena masih dicari, tidak banyak kita bicarakan (ke publik). Menurut informasi, mereka pindah-pindah tempat, agak susah dapatkan mereka," kata Syarif, Rabu (9/11).

Namun, kata dia, untuk Eddy Sindoro, meskipun sulit ditemukan tetapi bukan berarti pihaknya tidak mempunyai alternatif lain untuk menjeratnya. Apalagi dalam surat dakwaan Doddy Aryanto Supeno disebutkan Eddy Sindoro memerintahkan anak buahnya untuk memberikan uang suap untuk pengurusan perkara Lippo Group kepada Edy Nasution.

Salah satu opsi yang akan diambil Syarif adalah menetapkan Eddy Sindoro sebagai tersangka. Hal itu dilakukan untuk semakin mempersempit ruang geraknya melarikan diri. Jika dalam proses penyidikan masih tidak juga hadir, KPK tetap akan memprosesnya ke persidangan tanpa harus menghadirkan Eddy Sindoro sebagai terdakwa (in absentia).

"In absentia sudah langkah terakhir yang kita lakukan karena ada beberapa pelajaran in absentia keluar terus sehingga tidak bisa terkonfirmasi dan akhirnya sia-sia. (Tetapi) memang lagi dalam upaya untuk itu, dan ada upaya untuk mencari keberadaannya," tegas Syarif.

PERPANJANGAN PENCEGAHAN - Sumber gresnews.com di KPK menyebutkan informasi bahwa KPK ternyata telah melakukan upaya perpanjangan pencegahan ke luar negeri kepada Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Ditjen Imigrasi Kemenkumham) terhadap Eddy Sindoro.

Sumber itu menyebut perpanjangan pencegahan telah dilakukan beberapa waktu lalu. "Kita (sudah) perpanjang, pastinya kapan enggak ingat," kata salah satu penegak hukum tersebut saat dikonfirmasi gresnews.com, Kamis (10/11) malam.

Dikonfirmasi terpisah, Kepala Bagian Humas Ditjen Imigrasi Heru Santoso enggan berkomentar banyak mengenai hal ini. Menurut Heru, pihaknya tidak mempunyai wewenang untuk mengumumkan mengenai pencegahan seseorang termasuk Eddy Sindoro.

Meskipun begitu, Heru mengakui adanya perpanjangan pencegahan tersebut jika KPK telah memberikan informasinya. "Silakan tanya ke penyidik saja, ikut apa kata penyidik aja," ujar Heru kepada gresnews.com, Kamis (10/11).

Sementara itu, Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan KPK saat ini sedang mempelajari peran Eddy Sindoro dalam kasus korupsi pengurusan sejumlah perkara yang dilakukan oleh Doddy Aryanto Supeno dan Edy Nasution.

"Kita sedang mempelajari. Keterlibatannya bagaimana, apakah memang terlibat secara langsung itu sedang kita pelajari," kata Agus di kantor KPK, Kamis (10/11).

Bahkan, kata Agus, saat ini pihaknya sedang mengumpulkan alat bukti untuk mencari keterlibatan Eddy Sindoro. "Alat bukti sedang dikumpulkan, terbuka untuk kemungkinan lain," tegasnya.

PIHAK LIPPO GROUP BUNGKAM - Gresnews.com berupaya melakukan konfirmasi dan meminta pendapat dari pihak Lippo Group mengenai keberadaan Eddy Sindoro. Presiden Direktur PT Star Pacific Tbk (LPLI) --- salah satu entitas anak Lippo Group --- Samuel Tahir tidak menjawab pesan pertanyaan yang dikirimkan melalui jaringan WhatsApp pada Kamis (10/11), meskipun tertera centang bahwa pesan telah terbaca. Menurut informasi yang diterima gresnews.com, Samuel mengetahui keberadaan Eddy Sindoro.

Kemudian gresnews.com juga telah mengonfirmasi hal yang sama kepada Head of Corporate Communication Lippo Karawaci, Danang Kemayan Jati, melalui aplikasi pesan WhatsApp, Kamis malam. Tetapi tidak ada balasan, meskipun tertera tanda centang bahwa pesan telah terbaca.

EDDY SINDORO YANG PERINTAHKAN - Dalam persidangan Doddy Aryanto Supeno, nama Eddy Sindoro memang kerap disebut perannya dalam kasus itu. Wresty Kristian Hesty, salah satu saksi yang dihadirkan ketika itu, mengaku mendapat perintah dari Eddy Sindoro untuk mengurus sejumlah perkara melalui Edy Nasution.

Dalam surat dakwaan Doddy Aryanto Supeno, Jaksa Penuntut Umum KPK menjelaskan secara rinci mengenai pemberian suap tersebut dan untuk apa terjadinya pemberian suap. Selain itu, jaksa juga membeberkan cara-cara yang dilakukan oleh para pengusaha untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan dengan menyuap Edy Nasution.

Jumlah uang suap pertama adalah Rp150 juta dari dua termin perkara. Pertama, Rp100 juta untuk penundaan Aanmaning perkara Niaga antara PT Metropolitan Tirta Perdana (MTP) dengan PT Kymco. Aanmaning adalah tindakan peringatan dalam hukum perdata yang dalam arti singkatnya yaitu tindakan atau upaya yang dilakukan Ketua Pengadilan berupa teguran kepada pihak yang kalah dalam perkara agar melaksanakan putusan dengan sukarela.

Bahwa berdasarkan putusan Singapore International Arbitration Centre (SIAC) dalam perkara Nomor 62 Tahun 2013 tertanggal 1 Juli 2013, ARB No. 178 Tahun 2010 PT MTP dinyatakan wanprestasi dan diwajibkan membayar ganti rugi kepada PT Kymco sebesar US$11,1 juta (Rp147,3 miliar).

Terhadap putusan SIAC tersebut PT MTP belum melaksanakan kewajibannya, sehingga PT Kymco pada 24 Desember 2013 mendaftarkan putusan tersebut di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat agar putusan tersebut dapat dieksekusi di Indonesia.

"Atas pendaftaran itu, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan bahwa Putusan SIAC dapat dilakukan eksekusi di Negara Kesatuan Republik Indonesia," terang jaksa KPK Gina Saraswati.

Menindaklanjuti hal itu, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melakukan pemanggilan Aanmaning kepada PT MTP melalui Pengadilan Negeri Tangerang agar PT MTP hadir di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 1 September 2015, namun PT MTP tidak hadir.

Selanjutnya PN Jakarta Pusat kembali melakukan pemanggilan kepada PT MTP untuk hadir pada tanggal 22 Desember 2015. "Mengetahui adanya panggilan Aanmaning tersebut, Eddy Sindoro memerintahkan Wresti Kristia Hesti untuk mengupayakan penundaan Aanmaning," ujar Gina.

Menindaklanjuti perintah itu, pada 14 Desember 2015 Wresti menemui Edy Nasution di kantornya di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan meminta penundaan Aanmaning PT MTP. Edy pun menyetujui menunda proses Aanmaning sampai dengan bulan Januari 2016, dengan imbalan uang sebesar Rp100 juta.

"Selanjutnya Wresti melaporkan kepada Eddy Sindoro bahwa proses Aanmaning dapat ditunda sampai dengan bulan Januari 2016 dan untuk itu Edy Nasution meminta imbalan uang sebesar Rp100 juta, kemudian meminta persetujuan Eddy Sindoro bahwa uang akan diminta dari Hery Soegiarto dan Eddy Sindoro menyetujuinya," pungkas Gina.

Pada 15 Desember 2015 Wresti menghubungi Hery Soegiarto untuk meminta uang sebesar Rp100 juta,. Selanjutnya Wresto menyuruh Wawas Sulistiawan untuk mengambil uang tersebut sekaligus menyerahkannya kepada terdakwa untuk diserahkan kepada Edy Nasution.

Setelah menerima uang dari Wawan, terdakwa pada tanggal 18 Desember 2015 melakukan pertemuan dengan Edy Nasution di Basement Hotel Acacia, Senen, Jakarta Pusat. Dalam pertemuan tersebut terdakwa menyerahkan uang sebesar Rp100 juta.

Berdasarkan Putusan Kasasi Mahkamah Agung RI Nomor: 214/Pdt.Sus-Pailit/2013 tanggal 31 Juli 2013, PT AAL dinyatakan pailit dan putusan mana telah diberitahukan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kepada PT AAL pada tanggal 7 Agustus 2015.

Atas putusan Kasasi tersebut, sampai dengan batas waktu 180 hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 295 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan, PT AAL tidak mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali.

"Namun untuk menjaga kredibilitas PT AAL yang sedang ada perkara di Hongkong, Eddy Sindoro pada pertengahan bulan Februari 2016 memerintahkan Wresti mengupayakan pengajuan Peninjauan Kembali ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat," kata jaksa KPK lainnya, Joko Hermawan.

Menindaklanjuti perintah tersebut, pada 16 Februari 2016 Wresti kembali menemui Edy Nasution di Kantor Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk meminta agar menerima pendaftaran PK PT AAL meskipun waktu pendaftarannya sudah melewati batas waktu.

Atas permintaan dimaksud Edy awalnya tidak bersedia dengan alasan waktu pengajuan PK sudah lewat, sehingga Wresti menawarkan akan memberikan sejumlah uang sebagai imbalannya dan disetujui oleh Edy.

"Selanjutnya Wresti melaporkan kepada Eddy Sindoro, dimana Eddy Sindoro menyetujui dan menyampaikan uang akan disediakan oleh Ervan Adi Nugroho," terang Joko.

BACA JUGA: