JAKARTA, GRESNEWS.COM - Sejumlah kelompok masyarakat Aceh yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Aceh Menggugat (GeRAM) melayangkan gugatan terhadap Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Gubernur Aceh, dan Ketua DPR Aceh. Ketiga pihak itu digugat lantaran tidak memasukkan nomenklatur Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) dalam Qanun Aceh Nomor 19 Tahun 2013 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Aceh.

Kuasa hukum GeRAM Harli Muin mengatakan, pihak Mendagri, Pemerinta Aceh dan DPR Aceh telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan dengan kewajiban hukum sebagai penyelenggara negara. Tidak dimasukkannya KEL sebagai kawasan strategis nasional dalam Qanun RTRW Aceh, kata Harli, telah merugikan hak-hak para penggugat dan masyarakat umum di Aceh.

Harli mengatakan, penghapusan KEL sebagai kawasan strategis nasional dalam Qanun 19/2013 tidak memiliki alasan yang kuat secara hukum. "Sebab penyusunan Ruang tata ruang provinsi wajib mengacu pada tata ruang nasional," kata Harli dalam pernyataan tertulis yang diterima gresnews.com, Minggu (6/11).

Harli menegaskan dalam Pasal 150 Ayat (2) UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh (UUPA), pemerintah kabupaten dan pemerintah provinsi dilarang mengeluarkan izin dalam KEL. "Penghapusan KEL, sebagai kawasan strategis nasional di Aceh, akan memberi kebebasan bagi Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten di Aceh dapat mengeluarkan izin," katanya.

Gugatan yang dilayangkan sejak 21 Januari 2016 itu sendiri rencananya bakal diputus oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Selasa (8/11) mendatang. Koordinator kuasa hukum GeRAM Nurul Ikhsan berharap putusan perkara dengan nomor 33/Pdt.G/2016/PN.JKT.PST itu berpihak pada kepentingan masyarakat Aceh.

Ikhsan mengatakan, dalam perkara ini telah jelas ketiga tergugat sebagai penyelenggara negara telah sengaja melanggar UU dan lalai menjalankan dalam menjalankan tugasnya. "Akibat perbuatannya tersebut telah merugikan kepentingan para penggugat," ujar Ikhsan.

Mendagri menurutnya telah lalai mengawasi Pemerintah Aceh dalam penetapan Qanuan RTRW Aceh. Padahal, Mendagri seharusnya membatalkan Qanun RTRW Aceh karena ditetapkan dengan mengabaikan Kawasan Ekosistem Leuser sebagai kawasan strategis nasional.

Dengan demikian Mendagri terkesan melakukan pembiaran. "Mendagri memiliki fungsi pengawasan terhadap pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah seharusnya berbuat lebih," tegasnya.

Sedangkan, Gubernur Aceh dan Ketua DPR Aceh digugat karena mengesahkan Qanun Aceh Nomor 19 Tahun 2013 tentang RTRW Aceh dengan tidak memasukan beberapa substansi penting yang diamanahkan dalam RTRW Nasional. Salah satunya menegaskan KEL sebagai kawasan strategis nasional.

Hal senada diungkapkan Zenzi Suhadi dari Departemen Kajian Pembelaan dan Hukum Lingkungan, Badan Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI). Ia mengaku menemukan bukti motivasi Pemerintah Aceh dibalik penghapusan KEL dari tata ruang Aceh. Seharusnya, kata Zenzi, dalam Pasal 150 UU No.11/2006, secara tegas disebutkan, baik Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten di Aceh dilarang mengeluarkan izin di KEL.

"Tapi hingga saat ini ada 93 perusahaan di wilayah KEL yang menguasai 351,000 hektar lahan," ujar Zenzi Suhadi melalui pesan yang diterima gresnews.com, Minggu (6/11).

Berdasarkan bukti tersebut, menurutnya sudah jelas bahwa Pemerintah Aceh hendak mencari "kesejahteraan ekonomi" dibalik itu. Dengan tidak dimasukannya KEL ke dalam target perlindungan merupakan bentuk pelanggaran yang berdampak pada pengerusakan. Hal tersebut akan berkonsekuensi langsung terhadap kekayaan keanekaragaman hayati di dalam dan sekitar kawasan, dan juga akan berpengaruh signifikan terhadap kualitas lingkungan di Aceh.

"Setidaknya akan berakibat pada degradasi kualitas 24 sungai yang menjadi sumber air bersih, irigasi dan tatanan kehidupan rakyat Aceh," ujar Zenzi.

BERSEJARAH - Terkait hal ini, salah satu saksi ahli yang diajukan GeRAM Prof. Dr, Emil Salim menegaskan, pembentukan Kawasan Ekosistem Leuser merupakan sebuah perjalanan sejarah yang panjang. Emil Salim memaparkan, pembentukan KEL didasarkan atas usulan para pemerintah adat pada masa tahun 1925 yang mengadang invansi perkebunan dan pertambangan kolonial Belanda di kawasan hutan mereka.

Usulan tersebut kemudian mendorong dibuatnya perjanjian yang dikenal dengan “Kesepakatan Tapak Tuan” pada 6 Februari 1934 dan disahkan melalui keputusan Gubernur Aceh No.317/35 pada 3 Juli 1935. Menurut Emil, karena pentingnya Leuser, para tokoh agama, tokoh adat, tokoh masyarakat dan intelektual bersepakat dan meminta pemerintah melindungi KEL.

"Kesepakatan tersebut dinyatakan dalam deklarasi di berbagai tempat di Aceh dan Sumatra Utara. Presiden Indonesia kemudian menetapkan Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 1998, yang memuat ketentuan KEL," papar Emil Salim.

Farwiza, perwakilan penggugat dari GeRAM menyatakan, nilai dari fungsi lingkungan kawasan ekosistem Leuser sangat besar sehingga amat disayangkan jika KEL hancur. Tanpa perencanaan kebijakan lingkungan dengan partisipasi publik, jalan menuju pembangunan berkelanjutan akan terus tertutup untuk Aceh.

Banjir dan longsor akan bertambah parah, dan air yang semula bersih akan penuh polusi. "Kami mewakili masyarakat meminta agar hukum ditegakkan dan Kawasan Ekosistem Leuser dilindungi.” tegas Farwiza.

Ia meminta majelis hakim yang memeriksa dan mengadili gugatan tersebut bersikap bijak dalam menilai dan mengambil putusan terhadap perkara ini. Karena kasus tersebut menyangkut hajat hidup orang banyak dan penting bagi masyarakat di Aceh, khususnya bagi yang tinggal di Kawasan Ekosistem Leuser.

Pemerintah secara nyata telah mengabaikan wilayah kelola masyarakat adat yang ada didalamnya, aspirasi Mukim sebagai pemerintahan adat tidak pernah di dengar. "Pemerintah adat tidak diundang dalam pembahasan Rancangan Ruang RTRWA Aceh tahun 2013-2033," ujarnya.

Farwiza mengatakan, saat ini, telah lebih dari 68,000 orang di seluruh dunia yang menandatangani petisi melalui change.org dengan judul "lindungileuser". Pihak GeRAM juga telah menyerahkan petisi tersebut ke Kantor Staf Presiden Jokowi. Ia berharap akan mendapatkan lebih banyak tanda tangan lagi sebelum putusan pengadilan. "Keputusan akhir yang dikeluarkan  pengadilan akan menjadi sebuah momen besar," ujar Fawriza.

Harli Muin menambahkan, penerbitan Qanun Aceh No.19 tahun 2013 ini cacat hukum. Pasalnya dalam proses penyusunanan qanun tersebut, masyarakat tidak dilibatkan secara aktif. Menurut Harli, proses pelibatan masyarakat pada awal pembuatan rancangan qanun, memang dilakukan, tetapi tidak menyentuh filosofis dasar pelibatan masyarakat.

"Memang benar masyarakat terlibat, akan tetapi pelibatan ini hanya melibatkan secara kuantitas, sementara kualitas berupa masukan masyarakat tidak pernah diakomodasi. Usulan mengenai KEL misalnya, berkali-kali diusulkan masyarakat untuk dimasukkan dalam RTRW Aceh 2013-2033, tetapi DPRA dan Pemerintah Aceh tidak pernah mendengarkan," ujarnya.

Sebagai contoh, pelibatan TM. Zulfikar, anggota Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD). Dalam prosesnya, Zulfikar memang dilibatkan. "Tetapi, hanya sekali, sesudah itu tidak pernah lagi diundang pemrakarsa qanun ini," kata Harli.

Saksi Fakta lain, Asnawi, Imeum Mukim Aceh Besar, yang juga menjadi saksi fakta dalam gugatan ini, kata Harli, mengaku sama sekali tidak pernah dilibatkan. "Padahal pak Asnawi adalah Mukim, yang memiliki wewenang terhadap pengelolaan ruang di wilayah mukim," jelasnya.

EKSEPSI PEMERINTAH DITOLAK - Terkait perkara ini, pihak pemerintah sendiri telah mengajukan eksepsi alias sanggahan atas gugatan yang diajukan GeRAM. Kemendagri, Pemprov Aceh dan DPR Ach selaku tergugat dalam eksepsinya menyatakan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang mengadili gugatan GeRAM terkait tidak masuknya nomenklatur Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) dalam Qanun Aceh tentang rencana tata ruang wilayah atau RTRW.

Menurut para tergugat, dalil para penggugat mengenai perbuatan melawan hukum terkait qanun RTRW Aceh tersebut merupakan bukan objek sengketa peradilan umum melainkan kompetensi absolut dari pengadilan tata usaha negara. Para Tergugat juga menyatakan dalam eksepsinya bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang mengadili perkara ini karena objek sengketa ada di Aceh terlebih lagi Pemerintah Aceh dan DPR Aceh sebagai Terggugat yang keduanya berkedudukan di Aceh.

Namun majelis hakim PN Jakarta Pusat dalam putusan selanya menegaskan, eksepsi pemerintah tidak dapat diterima. "Majelis hakim menyatakan sidang gugatan warga negara itu dilanjutkan dengan pemeriksaan pokok perkara," demikian putusan majelis hakim PN Jakarta Pusat.

Putusan sela tersebut dibacakan majelis hakim pada persidangan Selasa (28/6) lalu. Sidang tersebut dihadiri kuasa hukum Mendagri selaku Tergugat I dan kuasa hukum Ketua DPR Aceh selaku Tergugat III. Sidang tidak dihadiri kuasa hukum Gubernur Aceh selaku Tergugat II.

Majelis hakim menolak eksepsi tergugat dengan mempertimbangkan Pasal 118 Ayat (2) Hukum Acara Perdata. Dalam pasal tersebut disebutkan jika tergugat lebih dari seorang, dan mereka tidak tinggal di wilayah yang sama, maka gugatan diajukan bisa di pengadilan tempat tinggal seorang di antara penggugat.

BACA JUGA: