JAKARTA, GRESNEWS.COM - Komisi Pemberantasan Korupsi  (KPK) mengisyaratkan akan  segera memproses kasus hukum yang terkait dengan kasus Mantan Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi Abdurrachman. Hari ini penyidik KPK telah memanggil yang bersangkutan untuk menjalani pemeriksaan.

Sejauh ini  memang belum diketahui tujuan pemeriksaan terhadap Nurhadi. Apalagi namanya tidak tertulis dalam daftar pemeriksaan para saksi yang tertera di ruang wartawan.
kehadirannya pun seperti ingin mengecoh wartawan, Nurhadi hadir lebih pagi ke  gedung lembaga anti rasuah itu  sekitar pukul 08.30 wib. Sehingga kehadirannya pun luput dari pantauan awak media.  

Sementara itu dikonfirmasi terpisah, Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif usai menghadiri sebuah diskusi di kawasan Salemba, Jakarta Pusat membenarkan adanya permintaan keterangan terhadap Nurhadi. Jika dilihat dari statusnya yang belum ditetapkan tersangka, maka prosesnya masih di ranah penyelidikan.

Syarif menyatakan memang ada kasus baru yang sedang didalami KPK, kasus itu bersentuhan langsung dengan Nurhadi. Pernyataan Syarif ini  mengindikasikan bahwa penyidik KPK membuka peluang cukup besar menjerat Nurhadi dalam perkara korupsi.

"Ya kalau dia dipanggil kemungkinannya kalau bukan sebagai saksi atau untuk pengembangan yang berhubungan kasus orang lain atau kasus diri sendiri," kata Syarif, Kamis (6/10).

Setelah terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK), KPK memang diwajibkan meminta keterangan atau memeriksa seseorang yang tersangkut pidana,  sebelum menetapkannya sebagai tersangka. Oleh karena itu, pemeriksaan terhadap Nurhadi seakan menjadi sinyal kuat bahwa lembaga antirasuah akan segera menjeratnya.


PERKARA NURHADI - Nama Nurhadi beberapa waktu belakangan ini memang menjadi buah bibir terkait terungkapnya kasus suap terhadap panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution.   Ia bahkan telah berkali-kali diperiksa sebagai saksi dalam dugaan kasus korupsi penanganan perkara perdata di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat itu. Namanya kian santer diberitakan setelah kasus suap terhadap Kasubdit Kasasi dan PK Perdata pada Direktorat Pranata dan Tata Laksana Perkara Perdata Mahkamah Agung Andri Tristianto Sutrisna  terungkap. Belakangan ia pun  tak luput dari pencekalan ke luar negeri oleh KPK.

Selain itu, ia juga pernah diperiksa dalam perkara suap Andri Tristianto yang terjerat operasi tangkap tangan terkait penundaan eksekusi Ichsan Suaidi. Bahkan rumah Nurhadi juga pernah digeledah tim penyidik KPK dalam perkara kasus suap terhadap Edy Nasution.Hasilnya ditemukan dan disita uang sekitar Rp1,7 miliar yang terdiri dari berbagai pecahan mata uang.

Dalam persidangan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, karyawan legal PT Artha Pratama Anugrah, Wresti Kristian Hesti menyebutkan dirinya menerima "order" dari Chaiperson PT Paramount Enterprise International, Eddy Sindoro untuk mengurus legal sejumlah perkara Paramount. Ia diperintahkan membuat memo, tabel, dan poin penting perkara untuk diserahkan kepada Eddy.

Jaksa KPK sempat memaparkan dokumen-dokumen tersebut di persidangan. Dalam dokumen tertulis tujuan memo, yakni "Yth Promotor". Jaksa yang mengejar pengakuan Wresti soal identitas Promotor yang dimaksud. Memperoleh pengakuan dari Wresti, berdasarkan penyampaian dari Doddy Aryanto Supeno, bahwa yang dimaksud promotor adalah Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi.

Selain "Promotor", nama Nurhadi muncul dalam sejumlah rekaman sadapan dengan sebutan Pak "Wu" dan Pak "N". Meski awalnya, Wresti tidak mengetahui siapa orang yang disebut dengan panggilan Pak Wu dan Pak N, tetapi ketika ia menanyakan kepada Doddy, terungkap bahwa Pak Wu dan Pak N adalah Nurhadi.

"Jadi, istilah promotor itu pertama kali. Habis itu ´N´, habis itu ´Wu´. Tapi, itu sama apa yang dimaksud, karena Pak Doddy bilang Pak Wu adalah Pak Nurhadi. Itu yang saya dengar dari Pak Doddy. Waktu itu, saya pernah nanya, ´Wu" itu siapa," ujarnya saat bersaksi dalam sidang perkara suap Doddy di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (27/7).

Pengakuan Wresti, "Yth Promotor" selalu melekat dalam memo yang ditujukan kepada Pak Wu. Wresti memang tidak secara rinci menyebut memo-memo yang dimaksud, tetapi yang pasti salah satu memo berkaitan dengan eksekusi perkara sengketa tanah Paramount.

Isi memo itu menyebut, memohon bantuan kepada promotor agar isi Surat Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat No.W10.U1.Ht.065/1987 Eks 2013.XI.01.12831.TW/Estu tanggal 11 November 2013 tentang Permintaan Bantuan Eksekusi Lanjutan dapat direvisi pada bagian alinea terakhir kalimat "belum dapat dieksekusi" menjadi "tidak dapat dieksekusi".

Dari kesaksian ini mengungkapkan indikasi dan dugaan adanya mafia peradilan yang melakukan pengaturan-pengaturan putusan  hasil persidangan. Jalinan mafia peradilan ini diduga  dilakukan pihak berperkara dengan  pejabat di lingkungan peradilan tertinggi, Mahkamah Agung.    

BACA JUGA: