JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kasus dugaan korupsi biaya pengiriman Kartu Perlindungan Sosial (KPS) tahun 2013 oleh PT Pos Indonesia terus dikebut. Tim penyidik pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung tengah melengkapi berkas perkara tiga tersangka untuk segera disidangkan.

Tiga tersangka dalam kasus ini adalah Zulkifli Assagaf bin Salim selaku mantan Senior Vice President PT Pos, Arjuna (karyawan BUMN) dan Pamungkas Tedjo Asmoro. Zulkifli dan Arjuna telah ditahan di Rutan Salemba cabang Kejaksaan Agung sejak Juli lalu. Sementara Pamungkas belum ditahan dengan alasan sakit.

"Penyidik kembali memeriksa sejumlah saksi-saksi untuk melengkapi berkas tersangka, kita harap segera tuntas," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Moh Rum di Kantornya, Kamis (6/10).

Penyidik memeriksa tiga saksi dari PT Pos Indonesia. Mereka adalah Manager Dalsiskibop Surabaya K. Semeru, mantan Kanis Operasi Tegal Mahmud Atmadja dan Asisten Manejer Kolantar Surabaya Subiyanto.

Kata Rum, ketiga saksi disoal pendistribusian KPS saat itu. Kasus tersebut bermula saat keluarnya Surat Izin Tambahan Biaya Pendistribusian KPS dari 10 wilayah area kantor pos sebesar Rp21,7 miliar. Surat ini ternyata tanpa adanya detail/rincian kekurangan biaya dimaksud dari UPT yang direkapitulasi oleh area operasi.

Surat itu ditandatangani tersangka Zulkifli Assagaf selaku Ketua II Satgas KPS Pusat. Selanjutnya para kepala area operasi menindaklanjutinya dengan mengeluarkan surat keputusan tentang izin tambahan biaya operasional pendistribusian kepada masing-masing UPT.

Atas dasar surat izin itulah, kepala UPT mengeluarkan kas perusahaan dengan alasan untuk pembayaran honor petugas pengantar KPS dan sewa kendaraan berdasarkan format yang dipresentasikan Tedjo ketika pertemuan di Hotel Bilique Lembang.

Namun pada kenyataannya sebagian dana itu antara lain digunakan untuk membeli telepon seluler dan diserahkan kepada pimpinan area operasi. Sebagai bukti pertanggungjawaban dana, para kepala UPT dipaksa membuat bukti dengan kuitansi palsu atau kuitansi pembayaran yang dimarkup.

"Perhitungan sementara kerugian negara diperkirakan mencapai kurang lebih senilai Rp2,4 miliar," kata Rum.

Seperti diketahui, pada 2013 lalu pemerintah melalui Kementerian Sosial memproduksi dan mendistribusikan kartu perlindungan sosial (KPS) sebanyak 15,5 juta lembar dengan anggaran sebesar Rp154 miliar.

Saat itu Wakil Menteri Keuangan Mahendra Siregar mengungkapkan, anggaran tersebut akan dibiayai sepenuhnya dari APBN dan akan didistribusikan oleh PT Pos Indonesia.

LAHAN BASAH KORUPSI - Seperti BUMN lainnya, PT Pos Indonesia yang mulai bangkit terus meraup keuntungan yang besar. Pada 2015 lalu, BUMN dengan warna khas oranye ini mendapat keuntungan sebesar Rp5 miliar. Bahkan tahun ini ditarget bisa untung hingga Rp10 miliar.

Dugaan korupsi di PT Pos Indonesia pernah terendus sejak 2009. Dugaan korupsinya penggunaan anggaran tahun 2008-2009. Kasus itu adalah biaya renovasi rumah dinas wakil direktur utama Rp970 juta, biaya konsultan Jhon More Rp1,596 miliar, biaya pembuatan buku sejarah sosial politik dan ekonomi PT Pos Indonesia senilai Rp914 juta. Total negara dirugikan sebesar Rp3,3 miliar.

Pada tahun 2015 juga terbongkar kasus korupsi pengadaan alat portable data terminal (PDT). Dari hasil penghitungan BPKP ditaksir kerugian negaranya mencapai Rp9,56 miliar.

Dalam kasus ini Direktur Utama PT Pos Indonesia Budi Setiawan, karyawati PT Datindo Infonet Prima Sukianti Hartanto, Direktur PT Datindo Infonet Prima Effendy Christina, dan Muhajirin selaku Penanggung Jawab Satuan Tugas Pemeriksa dan Penerima Barang di PT Pos Indonesia Bandung telah divonis bersalah.

Mantan pimpinan KPK Indriyanto Seno Adji punya catatan tersendiri atas kasus korupsi di BUMN. Lewat tulisannya berjudul ´Korupsi-BUMN: Antara Suap dan Kebijakan Korporasi´ yang tertuang dalam buku ´Demi Keadilan: Antologi Hukum Pidana dan Sistem Pidana´, Indriyanto mengatakan, kejahatan korupsi di BUMN merupakan salah satu kejahatan yang sulit disentuh.

Tindak pidana ekonomi (termasuk korupsi dan suap) merupakan kejahatan kerah putih dan sangat sulit membuktikannya, karenanya seringkali tipologi kejahatan ini dinamakan ´invisible crime´. Suatu istilah untuk menunjukan adanya prosedur yang sangat sulit dan rumit untuk membuktikan perbuatan korupsinya.

Dalam kejahatan korporasi ini, tindak kejahatan itu dilakukan dengan bentuk penyuapan (bribery), balas jasa (kick-back), manipulasi, kecurangan, akal-akalan atau pengelakan peraturan hingga pelanggaran kepercayaan. Namun, hal di atas dibungkus rapi dengan kebijakan korporasi sehingga sulit disentuh.

BACA JUGA: