JAKARTA, GRESNEWS.COM - Justice Collaborator (JC) atau saksi pelaku yang bekerjasama kerap diidentikan dengan upaya bersembunyi di balik status saksi.  Justice Collaborator juga kerap dianggap sebagai taktik para pelaku kejahatan agar memperoleh hukuman lebih ringan. Walau JC kerap dipergunakan sebagai kedok, namun tak dipungkiri JC juga dapat membantu membongkar para pelaku kejahatan lain.

Sayangnya, cara pandang yang masih berbeda di antara penegak hukum terhadap status JC, seringkali membuat saksi berhitung untung rugi untuk menjadi JC. Pelaku kejahatan yang menjadi saksi JC seringkali dirugikan akibat persepsi antaraparat penegak hukum yang berbeda.

"Mereka jadi berpikir ulang karena menjadi JC mempertaruhkan nyawa," kata Emerson Yuntho, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), di kantor Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Jakarta, Rabu (29/6).

Dengan mengungkap kejahatan pelaku lainnya, risiko menjadi JC boleh dibilang cukup besar. Harapan perlindungan yang ingin dimanfaatkan si JC juga menjadi lebih besar. Sebab ekspektasi pelaku kejahatan menjadi JC, salah satunya untuk mendapatkan perlindungan maksimal. Termasuk mendapatkan hak-hak dan penghargaan lainnya yang memungkinkan sesuai peraturan perundang-undangan yang ada.

Walaupun tidak semua praktik yang ada selalu berjalan demikian, sehingga JC juga tetap harus mengikuti proses persidangan. Dalam tahap inilah biasanya terdapat cara pandang yang berbeda antara penyidik, jaksa dan hakim terhadap pelaku kejahatan yang berstatus JC .

"Ini menunjukkan betapa lemahnya pemanfaatan dan penghargaan JC dalam pengungkapan tindak pidana," kata Emerson.

Menurutnya, selama belum ada kesepakatan mengenai status JC di mata para penegak hukum, sehingga para pelaku kejahatan akan berhitung untung dan rugi menjadi JC. Hal ini tentu menyulitkan aparat penegak hukum dalam membongkar sebuah kejahatan terorganisir, seperti kasus korupsi.

"Jika tetap dihukum berat, apa untungnya menjadi JC? Nanti malah bukan lagi menjadi justice collaborator tapi justice calculator," sentilnya.

Menurut catatan ICW sendiri, dari ratusan tersangka yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sangat kecil peluang bagi para JC lolos atau bebas dari jeratan hukum. Peluang bagi para JC hanyalah menjadi saksi pelaku yang mau bekerja sama dengan penegak hukum. Akan tetapi, hal itu pun sangat tergantung pada kesamaan cara pandang penegak hukum terhadap status JC itu sendiri.

Sejumlah terdakwa korupsi yang memperoleh status JC dari KPK, dalam sidang putusan banyak yang tidak diakui oleh majelis hakim. Hakim menganggap para JC merupakan pelaku utama dan dijatuhkan vonis berat. Seperti yang menimpa asisten anggota DPR RI Dewi Yasin Limpo dan penyuap anggota DPR Damayanti.

Pada kasus suap yang melibatkan anggota DPR RI Dewi Yasin Limpo, asisten pribadinya Rinelda Bandaso yang berstatus JC dituntut 5 tahun penjara. Namun, majelis hakim tidak sependapat dan menyatakan Rinelda bukan sebagai JC. Hakim kemudian memvonis yang bersangkutan dengan pidana 4 tahun penjara.

Begitu pula dengan Abdul Khoir, penyuap anggota DPR Damayanti. Meskipun sudah dinyatakan sebagai JC oleh pimpinan KPK dan dituntut rendah oleh jaksa KPK hanya 2,5 tahun, namun hakim yang menyidangkan kasus ini tidak sependapat. Hakim justru menyatakan Abdul Khoir sebagai pelaku utama dan tidak berhak menyandang status JC. Vonis yang dijatuhkan pun berupa pidana 4 tahun penjara. Bahkan vonis ini lebih berat dari tuntutan jaksa.

BELUM SESUAI HARAPAN - Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai mengakui, kondisi JC saat ini memang belum seperti yang diharapkan. Sebab, masih terdapat perbedaan penafsiran dan aturan yang digunakan oleh para aparat penegak hukum dalam menetapkan status JC. Meski di sisi lain, pengaturan JC sudah diatur dalam hukum positif Indonesia, namun, pelaksanaannya belum maksimal.

"Padahal pengaturan mengenai JC merupakan amanat Konvensi PBB melawan korupsi," katanya di tempat yang sama.

Menurutnya, peran JC dianggap penting untuk membongkar kejahatan-kejahatan terorganisir, termasuk kasus korupsi. Hanya saja menjadi JC memang tidak mudah, karena risikonya juga tinggi, termasuk ancaman terhadap keselamatan.

Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, sebenarnya telah jelas mengatur kriteria JC berikut hak-hak dan penghargaan yang layak diperoleh. Mengingat pentingnya kesaksian para JC untuk mengungkap peran pelaku utama kejahatan.

Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu juga meminta aparat penegak hukum dapat merujuk UU Perlindungan Saksi dan Korban dalam menetapkan status JC. Termasuk dalam memberikan penghargaan kepada mereka.

"Hanya Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban yang mengatur secara jelas mengenai JC," katanya.

Dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban disebutkan kriteria JC dan penghargaan yang diberikan. Kriteria dimaksud, JC bukan pelaku utama dan harus mengembalikan hasil kejahatannya. Selain itu juga diatur mengenai penghargaan bagi JC, mulai hak agar berkas perkaranya dipisah dengan terdakwa lain, hingga pengurangan masa hukuman.

BACA JUGA: