JAKARTA, GRESNEWS.COM - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memang belum menemukan adanya unsur peristiwa tindak pidana dalam kasus pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Namun, bukan berarti kasus ini sudah berakhir karena proses penyelidikan masih terus berlanjut.

Hal itu dikatakan oleh Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarief saat bertemu dengan para pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). "Penyelidikan masih jalan tapi belum ditemukan tindak pidana korupsi," kata Syarief, Senin (20/6).

Menurut Syarief, pihaknya tidak bisa menentukan hingga kapan proses ini akan berjalan sebab semua tergantung dari hasil penyelidikan. Saat ditanya apakah ada tenggat waktu penghentian proses penyelidikan itu, Syarief mengaku belum memilikinya. "Belum ada," tutur Syarief.

KPK dan BPK memang berbeda kesimpulan soal ada tidaknya penyimpangan dalam kasus pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras seluas 3,6 hektare oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta di bawah Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Usai pertemuan dengan pimpinan BPK, Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan, kedua lembaga sepakat untuk mendalami lagi soal pembelian lahan tersebut.

"Nah, itu tadi kita sudah sepakat akan didalami oleh tim teknis. Mudah-mudahan dengan pendalaman itu nanti kita sudah lihat (kesimpulannya). Ya, kan bisa saja itu ada penyimpangan administrasi, tapi penyimpangan administrasi belum tentu otomatis menjadi tindak pidana, jadi kita mau mendalami itu," kata Agus.

Anggota BPK Eddy Mulyadi Soepardi menegaskan bahwa pihaknya tetap meyakini adanya penyimpangan dalam pembelian sebagian lahan RS Sumber Waras. Saat ini tim masih melakukan penelitian. "Penyimpangannya tetap sempurna, bukan tidak berlaku. Hanya perbedaannya itu belum ditemukan pelanggaran pidana, penelitiannya masih dilakukan," kata Eddy di tempat yang sama.

Dalam kesempatan itu, Agus juga membacakan kesepakatan antara pihaknya dengan BPK RI terutama terkait Sumber Waras. Poin yang dinilai penting dari kesepakatan itu adalah, BPK dan KPK saling mengormati kewenangan masing-masing dan tidak mencampuri kewenangan lembaga lain.

Kemudian, meskipun saat ini pihaknya belum menemukan indikasi pidana, tetapi audit investigasi BPK tidak akan diberikan kepada aparat penegak hukum lainnya. Alasannya, salah satu kewenangan yang dimiliki BPK adalah memberikan rekomendasi dari hasil laporan pemeriksaan pihaknya.

Untuk Pemprov DKI setidaknya ada enam poin penyimpangan yang ditemukan lembaga pimpinan Harry Azhar Azis ini. Dan hal haruslah ditindaklanjuti.

"BPK menyatakan bahwa telah terjadi penyimpangan dalam permasalahan RS Sumber Waras sehingga berdasarkan amanat UUD 1945 Pasal 23 E Ayat (3) Pemprov DKI tetap harus menindaklanjuti LHP atas laporan keuangan Pemprov DKI Tahun 2014 yang telah diterbitkan BPK," ujar Agus.

Dalam kesempatan itu, Agus mengatakan, KPK juga sepakat dengan BPK, bahwa Pemprov DKI Jakarta haruslah menindaklanjuti adanya unsur kerugian keuangan negara yang ditemukan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) pada 2014 lalu itu. BPK melansir bahwa pengadaan RS Sumber Waras merugikan keuangan negara Rp191 miliar.

"Ya, itu kan ada indikasi kerugian negara yang ditulis di dalam laporan 191 miliar rupiah. Nah itu harus dikembalikan," kata Agus, meski menurut KPK perhitungan kerugian negara dalam kasus ini hanya Rp9 miliar.

KEMBALIKAN KERUGIAN NEGARA - Terkait pengembalian kerugian negara, Ketua BPK Harry Azhar Aziz mengatakan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta wajib melaksanakan rekomendasi BPK terkait kasus pembelian sebagian lahan Rumah Sakit Sumber Waras seluas 3,6 hektare. Hal itu mengacu pada UUD 1945 Pasal 23 E Ayat (3) yang menentukan bahwa rekomendasi BPK harus ditindaklanjuti.

Pasal 23E UUD 1945 mengatur:

(1) Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri.

(2) Hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sesuai dengan kewenangannya.

(3) Hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan dan/atau badan sesuai dengan undang-undang.

"Ada indikasi kerugian negara yang ditulis dalam laporan (LKPD BPK) itu Rp191 miliar, itu yang harus dikembalikan. Itu kewajiban UU oleh Pemprov DKI. Kalau tidak dikembalikan itu ada sanksinya," kata Harry saat menggelar konferensi pers di Media Center BPK, Jalan Gatot Soebroto, Jakarta, Senin (20/6).

Undang-Undang, kata Harry, memberikan waktu 60 hari setelah Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Jakarta tahun 2014 diserahkan. Bila hal itu tidak dilakukan oleh Pemprov DKI, maka sanksinya bisa dipenjara 1 tahun 6 bulan. "Sanksinya ada bisa dipenjara 1 tahun 6 bulan," kata Harry.

Menurut Harry, audit BPK atas pembelian lahan RS Sumber Waras oleh Pemprov DKI sudah final. "(Audit) sudah final. Saya tegaskan sudah final. Dan di UU apa yang dilakukan BPK bila tidak ditindaklanjuti berarti melanggar konstitusi," papar mantan politikus Partai Golongan Karya itu.

Sementara itu, terkait belum ditemukannya unsur tindak pidana dalam kasus ini, pihak Pemprov DKI sendiri berencana akan melanjutkan proyek itu. Pembelian lahan RS Sumber Waras memang bakal diperuntukkan bagi pembangunan rumah sakit khusus kanker. Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mengatakan, butuh dana Rp3 triliun untuk membangun RS Umum Daerah khusus kanker.

Terkait besarnya dana itu, Ahok mengaku punya ide untuk mendapatkan duit pembangunan dari pembayaran kewajiban pengembang swasta. Bisa berupa pembayaran kewajiban tambahan kotribusi proyek reklamasi. Bisa juga dari pengembang proyek yang ingin meninggikan gedung, mereka harus membayar biaya peningkatan Koefisien Lantai Bangunan (KLB).

"Saya berpikir kalau ada pulau-pulau (reklamasi), kontribusi kan lumayan pakai duit itu," kata Ahok di Balai Kota, Jl Medan Merdeka Selatan, Jakarta, Rabu (15/6).

Duit dari pihak swasta menjadi pilihan biaya proyek, karena Ahok tak bisa menganggarkan proyek sendiri untuk tahun jamak. Ada Permendagri Nomor 21 Tahun 2011 yang tak membolehkan Ahok menandatangani proyek tahun jamak (multiyears).

"Solusinya aku mau cari lagi kontribusi lagi. Cari lagi siapa yang mau meninggikan lantai. Kalau dia mendekati Rp1 triliun, elu bangun dulu deh (bangunan untuk Pemprov-red), berapa biji," tutur Ahok.

Menurut Ahok, bila saja tak ada kasus yang mempermasalahkan pembelian lahan RS Sumber Waras, maka proyek pembangunan RSUD khusus kanker bisa dimulai pada tahun 2015 kemarin dan rampung tahun 2017.

UJI PUBLIK - Sementara itu, terkait sikap KPK yang menafikan hasil audit BPK terkait kasus lahan Sumber Waras, Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengatakan, ada uji publik yang melibatkan KPK dan BPK dalam kasus Sumber Waras. Padahal, KPK sudah menyatakan tidak ada perbuatan melawan hukum di kasus tersebut.

"Harus ada pertemuan, gelar perkara saja secara publik. Lalu audit forensik. Dana itu mengalir ke mana," kata Fadli dalam Diskusi Polemik Mencari Sumber yang Waras di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (18/6).

Menurut Fadli, kredibilitas BPK jadi pertaruhan saat KPK menyatakan tidak ada perbuatan melawan hukum. Padahal, audit BPK menyebutkan ada kerugian negara. "Supaya ada kejelasan. Kalau tidak bubarkan saja BPK," ujarnya.

Dia menilai, ada kesan pembelaan terhadap pemerintah daerah DKI Jakarta dalam memeriksa kerugian negara akibat pembelian lahan tersebut. "Menurut saya, pembelaan ini karena ada invisible hand yang membuat KPK tidak independen," katanya.

Hal itu, kata dia, terlihat dari sikap KPK yang tidak konsisten dalam menindaklanjuti audit investigasi BPK terkait kasus pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras. Berbeda ketika KPK membongkar kasus korupsi lain, seperti korupsi Suryadarma Ali dan Miranda Gultom.

Menurut Fadli, dalam kasus pembelian lahan Sumber Waras tersebut, jelas ada tindak pidana korupsi. Seharusnya audit BPK dapat dijadikan bukti untuk meningkatkan status ke penyidikan. "Audit BPK bisa menjadi alat bukti, salah atau benar di pengadilan, penyidikan saja dulu," ujarnya.

Terkait hal ini, suara DPR memang terpecah. Ada juga diantara para anggota dewan yang justru mendukung langkah KPK. Misalnya saja, anggota Komisi III DPR Arsul Sani. Dia menegaskan, dari penjelasan pimpinan KPK memang ada potensi kerugian negara pada kasus pembelian RS Sumber Waras oleh pemerintah provinsi DKI Jakarta. Namun hal itu tidak otomatis terjadi perbuatan melawan hukum.
 
"Saya pribadi, cara pandang KPK itu juga wise sekali, ada potensi kerugian negara yang dijadikan data permulaan penyelidikan mereka, tapi itu tidak otomatis terjadi perbuatan melawan hukum. Itu untuk menghindari orang-orang yang sebenarnya tidak mendapat keuntungan sama sekali dari jabatan kerjanya namun terkena hukuman karena adanya kerugian negara," tandasnya. (dtc)

BACA JUGA: