JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pernyataan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Agus Rahardjo terkait tidak adanya unsur korupsi dalam kasus pembelian lahan RS Sumber Waras memantik wacana pembentukan dewan etik. Ketua Bidang Advokasi DPP Partai Gerindra Habiburokhman mengatakan, sikap KPK mengabaikan hasil audit BPK terkait kasus itu adalah pelanggaran terhadap konstitusi dan undang-undang.

"Kami curiga, pimpinan KPK sengaja mengabaikan hasil audit BPK tersebut karena merasa tidak akan tersentuh komite etik," ujarnya kepada gresnews.com, Kamis (16/6).

Dia menilai, KPK memanfaatkan momentum ketiadaan posisi penasehat KPK untuk mengumumkan status kasus Sumber Waras agar jika ada desakan pembentukan dewan etik, akan terkendala tidak adanya posisi penasehat. Padahal Komite Etik KPK dibentuk dari unsur Pimpinan dan Penasehat.

"Kondisi saat ini KPK jelas diambang kehancuran. Tanpa adanya Komite Etik bisa jadi pimpinan KPK kembali melakukan tindakan serupa di masa yang akan datang," ujarnya.

Dalam perkara ini, Habiburrokhman mengatakan, KPK jelas mengabaikan hasil temuan BPK. Hasil audit BPK menegaskan adanya penyimpangan dalam proses pembelian lahan RS Sumber Waras yang merugikan keuangan negara.

Namun KPK malah menegaskan tidak ada unsur korupsi oleh KPK, meski mengakui ada kerugian negara meski jumlahnya kecil. "Kalau di dalam hukum pidana terdapat dua teori perbuatan melawan hukum, yakni, perbuatan melawan hukum secara formil yang bersifat sempit dan perbuatan melawan hukum materiil yang bersifat ekstensif," katanya.

Dia menjelaskan, dalam kasus Sumber Waras, sudah jelas adanya perbuatan melawan hukum karena telah terjadi penyimpangan. "Penyimpangan terjadi terkait dengan proses perencanaan, penganggaran, penyusunan tim pembelian tanah, penetapan lokasi, pembentukan harga dan soal penyerahan hasil pengadaan tanah," jelasnya.

KPK, kata dia, tak bisa mengabaikan begitu saja hasil temuan BPK. "Kalau hasil audit BPK soal Sumber Waras merupakan produk hukum institusi negara yang bersifat final, jadi selama tidak dibatalkan oleh pihak BPK maka audit tersebut harus tetap dilanjutkan oleh KPK sebagai user," tegasnya.

Menurutnya kewenangan BPK merupakan kewenangan konstitusional, karena telah diatur dalam Pasal 23 E UUD 1945 yang diperjelas dengan Pasal 11 huruf C UU Nomor 15 Tahun 2006 Tentang BPK. "Karena itu, jika BPK menemukan adanya perbuatan melawan hukum sementara KPK tidak, itu sama saja mengabaikan konstitusi dan UU," pungkasnya.

Terkait desakan pembentukan dewan etik ini, sejak beberapa waktu lalu Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) juga telah meminta hal tersebut. Ketua ACTA Krist Ibnu saat mendatangi gedung KPK awal Mei lalu menegaskan, terdapat sejumlah pernyataan Pimpinan KPK yang diduga telah melanggar kode etik terkait penanganan kasus tersebut.

"Kami meminta agar dibentuk Komite Etik KPK atas dugaan pelanggaran Kode Etik Pimpinan KPK sesuai dengan ketentuan Pasal 7 Kode Etik Pimpinan KPK. Komite Etik ini kemudian harus segera bekerja melakukan pemeriksaan terhadap pimpinan KPK tersebut," kata Krist.

Dia merujuk pada beberapa pernyataan pimpinan KPK yang dinilai sejak awal sudah menunjukkan keengganan pimpinan KPK mengusut kasus ini. Pertama, pernyataan pimpinan KPK Laode M Syarief dan Alexander Marwata pada 29 Maret 2016. Kedua menyatakan menyatakan KPK belum menemukan niat jahat sehingga belum menetapkan tersangka dalam kasus RS Sumber Waras.

Krist menilai, pernyataan tersebut tidak beralasan karena unsur-unsur delik pasal yang relevan dengan peran Basuki Tjahaja Purnama sebagai Gubernur DKI dalam kasus ini, yaitu Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor. "Dalam pasal tersebut tidak ada unsur niat atau insur dengan sengaja. Pada praktiknya, Pengadilan Tipikor juga sudah mengirim puluhan kepala daerah ke penjara dengan hanya mempertimbangkan pemenuhan unsur dalam delik Pasal 2 dan 3 UU Tipikor, tanpa menyentuh soal ada atau tidaknya niat," katanya.

Krist juga menilai Ketua KPK Agus Rahardjo diduga melakukan pelanggaran etik lewat pernyataannya pada tanggal 12 April lalu. Saat itu Agus menyebut akan akan membandingkan pendapat atau keterangan versi Ahok dengan laporan audit investigatif BPK yang sudah diterima KPK.

Dia menegaskan, pernyataan itu melawan hukum karena hasul audit BPK tidak dapat dipersoalkan. Krist merujuk Pasal 11 huruf C tentang BPK. Dalam pasal itu disebutkan, BPK memiliki kewenangan memberikan keterangan ahli dalam proses peradilan mengenai kerugian negara atau daerah.

Kewenangan BPK dalam memeriksa keuangan negara juga diatur dalam Pasal 23E UUD 1945. Selain itu, Ahok diperiksa sebagai saksi bukan ahli yang dapat dimintai pendapat.

Atas pernyataan-pernyataan kontroversial itu, ACTA menilai para pimpinan KPK dalam hal ini, Alexander Marwata, Laode M Syarif, dan Agus Rahardjo telah melanggar kode etik. Pasal yang dilanggar adalah Pasal 6 angka 1 huruf B Kode Etik Pimpinan KPK.

Dalam pasal tersebut diatur, Pimpinan KPK berkewajiban taat pada aturan hukum dan etika. "Pernyataan tersebut juga bertentangan dengan azas kepastian hukum yang merupakan azas dari Kode Etik KPK," tegasnya.

SARAT KEPENTINGAN - Pada kesempatan terpisah, pengamat politik dan hukum dari Serikat Kerakyatan Indonesia (SAKTI) Standarkiaa Latief mengatakan, masyarakat secara luas harus mewaspadai perilaku pimpinan KPK yang cenderung menjadi bagian dari benturan kepentingan elit politik dengan kelompok pemilik modal. Sikap ini, kata dia, bisa melemahkan penegakan hukum di Indonesia.

Latief menduga, tidak ditetapkannya Ahok sebagai tersangka dalam kasus reklamasi dan pembelian lahan RS Sumber Waras terkait dengan adanya benturan kepentingan itu. "Patut diduga telah terjadi ´persekongkolan jahat´ segitiga yaitu, elit politik dengan pengusaha dan institusi penegak hukum," ujarnya kepada gresnews.com, Kamis (16/6).

Dia menilai ada kepentingan "Istana" untuk menyelamatkan Ahok yang dinilai bisa membahayakan posisi Jokowi. Latief mengatakan, Ahok diduga memegang informasi kunci tentang Jokowi ketika masih menjabat gubernur DKI, terkait dugaan penyimpangan pembelian armada bus transjakarta dari China.

"Dugaan ini yang menjadi tawar posisi tawar, Ahok diamankan dalam lingkungan politik saling sandera kasus," kata Standarkiaa Latief.

Karena itu, kata dia, Komite Etik KPK harus dibentuk untuk mengungkap berbagai dugaan ini. "Dewan Etik KPK harus berrtindak dengan melakukan pemeriksaan terhadap lima pimpinan KPK, karena ada dugaan kuat telah terjadinya penyimpangan dalam proses penyidikan kasus Sumber Waras dan reklamasi," pungkasnya.

Sebelumnya, sikap KPK yang terkesan mengabaikan hasil audit BPK dalam kasus Sumber Waras juga dipertanyakan anggota Komisi III Junimart Girsang. Dia menilai, pernyataan pimpinan KPK bahwa lembaga antirasuah itu tidak fokus pada hasil audit BPK sangat aneh.

Pernyataan itu dilontarkan terkait soal perhitungan kerugian negara dalam kasus tersebut. "Selama ini KPK dalam menentukan perhitungan kerugian negara selalu memakai hasil dari BPK. Nah, kenapa untuk persoalan ini salah seorang komisioner KPK mengatakan tidak bergantung pada hasil audit BPK. Ini kan ada sesuatu," kata Junimart, beberapa waktu lalu.

Menurutnya, baru kali ini terjadi KPK mengabaikan hasil perhitungan BPK yang telah diserahkan sebelumnya. "Ini ada apa? Tidak boleh dong begitu," ujarnya.

KPK PROFESIONAL - Sementara itu, terkait berbagai tudingan yang diarahkan ke KPK, Wakil Ketua KPK Laode Muhamnad Syarief menegaskan, KPK tetap profesional dalam menangani kasus Sumber Waras meski banyak tekanan.

"Saya ingin mengatakan bahwa kami berlima dan seluruh teman-teman ini mungkin adalah yang paling tersiksa karena kasus ini. Kami didemo hampir tiap hari," kata Laode, Rabu (15/6).

Laode berujar, banyak tokoh masyarakat yang hadir untuk mempertanyakan perkembangan kasus ini. "Banyak tokoh masyarakat datang katanya memberi dukungan, tapi setelah datang disodori lagi audit BPK," lanjut dia.

Dibalik ucapannya tersebut, Laode menegaskan dalam menangani kasus korupsi apapun, termasuk soal Sumber Waras, KPK tak ingin melindungi pihak manapun dan selalu berusaha berlaku profesional. Laode pun membantah jika hubungan KPK dan BPK tak baik apalagi saling serang terkait kasus tersebut.

"Begitu suasana kebatinan ditempat kami. Kami tidak akan melindungi siapa saja dan kami tidak mau zalim," tegasnya.

Sementara itu, Ahok sendiri menegaskan, dirinya memang tak bersalah dalam kasus itu. Ahok mengaku berterimakasih kepada KPK yang telah bekerja profesional memeriksa perkara itu.

"Saya berterimakasih. Artinya memang secara profesional, saya juga bilang, enggak ada yang salah kok," kata Ahok di Balai Kota, Jl Medan Merdeka Selatan, Jakarta, Selasa (14/6).

Dalam pembelian itu, Ahok menegaskan, tak ada kesalahan. Soalnya pihak Pemerintah Provinsi DKI membeli lahan berdasarkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).

"Salah di mana pembelian kayak begitu? Yang menentukan posisi sertifikat bukan saya. Yang menentukan zonasi NJOP, bukan saya. Peninggalan dari dulu," kata Ahok. (dtc)

BACA JUGA: