JAKARTA, GRESNEWS.COM - Suasana rapat kerja antara Komisi III DPR dan Komisi Pemberantasan Korupsi, Rabu (15/6) berlangsung panas. Pemicunya apalagi kalau bukan soal pernyataan Ketua KPK Agus Raharjo yang menyatakan lembaga antirasuah itu tak menemukan unsur tindak pidana dalam pembelian lahan RS Sumber Waras oleh Pemprov DKI Jakarta.

Para anggota DPR Komisi III pun saling bersitegang membela masing-masing kubu. Pemicunya adalah pernyataan politisi Nasdem Taufiqulhadi yang menyudutkan Badan Pemeriksa Keuangan terkait hasil audit atas pembelian lahan Sumber Waras. "Audit BPK atas pengadaan tanah Sumber Waras malah menimbulkan friksi (antar lembaga-red)," katanya.

Pernyataan itu lantas membuat berang pimpinan rapat Benny K Harman. Benny menegur para anggota agar berargumentasi dengan data dan tak terkesan asal membela salah satu pihak. "Kalau mau bela Ahok, bela saja tapi soal data jangan bilang friksi," semprot Benny.

Tak hanya sampai di situ, Benny pun ikut "mengomeli" pimpinan KPK yang hadir di rapat tersebut. "KPK juga, kalau mau bela Ahok pakai argumentasi yang benar," tegas Benny.

Dia mengaku heran dengan sikap KPK yang berubah dalam menyikapi hasil audit investigasi BPK. Dia menegaskan, audit itu dilakukan atas permintaan KPK sendiri, tetapi ketika hasilnya keluar, internal KPK malah tidak sepakat dengan temuan BPK soal Sumber Waras.

"Dulu pas rapat pertama bukan yang kemarin kita tanya. Mengapa BPK dipakai? Kata KPK, ini lembaga negara yang berwenang. Itu dulu tapi sekarang apa yang terjadi? Mengapa KPK berubah, apa memang BPK yang salah? Apa ada perbedaan antara BPK yang dulu dan sekarang mungkin mata-hatinya yang beda? Manusia-manusianya berubah? Padahal hukumnya sama," kata Benny dengan nada tinggi.

Karena itulah, kata dia, DPR mempertanyakan mengapa KPK malah mengeluarkan pernyataan bahwa Ahok tak bersalah dan tidak menemukan perbuatan melawan hukum. "Padahal kajian jelas menyatakan terdapat sebuah pelanggaran," ujarnya.

Sikap para anggota dewan sejak semula memang terpecah menanggapi soal ini. Para anggota dari fraksi partai yang mendukung Ahok, cenderung menyalahkan BPK dalam kasus ini. Misalnya ya, Taufiqulhadi.

Sejak semula, Taufiq sudah terang-terangan menuding BPK bersikap politis dan ada conflict of interest dalam melakukan audit pembelian lahan RS Sumber Waras.

Taufiq terhitung rajin menyuarakan bahwa tidak ada kerugian negara dalam pembelian lahan itu. "BPK sendiri tidak mengatakan bahwa telah terjadi kerugian negara," kata Taufiq ketika mengikuti rapat konsultasi dengan BPK beberapa waktu lalu.

Soal adanya temuan perbedaan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), Taufiq menegaskan, NJOP yang telah ada didata berada di Jalan Tomang, hal itu dianggap sesuatu yang berbeda. "Tetapi itu apakah Rp20 juta sudah benar NJOP-nya? Juga tidak dijelaskan. Menurut saya Rp20 juta itu juga masih debatable," tegasnya.

"Lantas kita pertanyakan kalau NJOP tak benar berapa yang benar. Mereka katakan Rp 20 juta terlalu mahal. Nah ini kan masih debatable semuanya bahwa tidak benar telah terjadi kerugian negara," tambah Taufiq.

Karena itulah, Taufiq meminta agar masyarakat jangan terburu-buru memberikan penilaian terhadap kasus tersebut dan lebih baik menyerahkan persoalan itu kepada penegak hukum. "Kalau kita pergi ke BPK sekarang ini ada muatan politisnya," ujarnya.

Sebaliknya, para anggota fraksi yang partainya tak mendukung Ahok, cenderung membenarkan temuan BPK. ‎Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Edhy Prabowo misalnya, menilai pernyataan Ketua KPK Agus Rahardjo bermuatan politis. ‎"Kalau saya lihat sudah ada muatan politis. Kita semua tahu transaksi lahan Sumber Waras itu dilakukan pada malam hari dan hari libur," katanya.

Melihat waktu terjadinya transaksi pembelian itu saja, Edhy menilai, sudah terjadi sebuah kesalahan. Pasalnya, jika mengikuti prosedur, transaksi pembelian lahan milik RS Sumber Waras dilakukan pada hari Senin setelah hari libur tersebut.

"Dari situ saja bisa dilihat kalau etika dan tatacaranya salah. Belum lagi dari selisih nilainya (pembeliaan lahan). Itu ada apa?" ujarnya.

Karena itu, kata Edhy, pihaknya berharap KPK melakukan penelaahan ulang atas hasil audit BPK tersebut. BPK, kata dia, sudah menegaskan adanya kerugian negara dalam pembelian lahan RS Sumber Waras.

"‎Saya tidak menuduh, ada sesuatu yang lain, ada tekanan lain dari kasus ini. BPK punya penilaian ada pelanggaran, dan KPK nilai tidak. Itu ada perbedaan dua institusi negara yang punya pandangan berbeda terhadap kasus yang sama. Ini harus kita lihat dengan cermat," tandasnya.

AUDIT FORENSIK TRANSAKSI SUMBER WARAS - Sikap KPK terhadap hasil audit BPK ini memang menghasilkan problem yang tidak sederhana. Pasalnya dalam konteks ini, profesionalitas lembaga baik itu KPK maupun BPK akan dipertaruhkan.

Karena itulah, anggota Komisi III DPR Junimart Girsang mengusulkan kepada KPK untuk melaksanakan audit forensik terhadap dugaan pelanggaran transaksi pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras. Junimart mengaku heran atas sikap KPK yang menegaskan tak ada tindak pidana dalam kasus itu.

Padahal KPK sendiri yang meminta dilakukan audit investigatif. "Saya tidak habis pikir, audit investigasi transaksi pembelian RS Sumber Waras ini dari KPK, faktanya juga mengatakan pemprov sudah membeli tanah RS Sumber Waras sebesar Rp755 miliar," ujarnya di Gedung DPR RI, Senayan, Rabu (15/6).

Apalagi pernyataan yang kontradiktif itu juga berseberangan dengan pernyataan BPK RI. Ia mengkritisi dan mempertanyakan para pimpinan KPK dalam menjaga marwah institusi. "Apakah sudah dilakukan audit forensik tentang aliran dana?" tanya Junimart.

Sebelumnya memang diketahui KPK sudah memanggil pihak-pihak yang terlibat temasuk Ketua Yayasan Sumber Waras, Kartini Mulyadi. Hasilnya tak ada yang mengaku telah menerima uang senilai Rp755 miliar, dan hanya menerima Rp350 miliar itupun bersedia untuk dikembalikan.

Selain itu, Panja Penegakan Hukum yang dibentuk Komisi III sendiri telah menemukan beberapa fakta dalam kasus ini. diantaranya, modus tanggal mundur pada sejumlah dokumen, baik SK Pembelian Tanah, MoU KUA-PPAS, Kepgub Penetapan Lokasi, dan konsultasi publik. Proses pembelian lahan RSSW juga tidak sesuai peraturan perundang-undangan.

Dalam UU No. 2/2012, Perpres No. 54/2010 sebagaimana diubah dalam Perpres No. 70/2012, Perpres No. 71/2012 sebagaimana diubah dalam Perpres No. 40/2014 menyatakan terdapat empat tahapan pembelian yang tak dijalankan dalam kasus ini.

Junimart pun mengusulkan untuk dilakukan audit forensik demi kemashlatan bersama. "Maksud saya agar tidak menjadi polemik selanjutnya, KPK dan BPK bertemu agar dapat solusi baik tentang kasus RSSW," kata Junimart.

Sementara itu, pihak KPK sendiri menegaskan, pihaknya telah menangani kasus ini dengan profesional. Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarief mengatakan, KPK tak ingin melindungi pihak manapun dan selalu berusaha berlaku profesional.

Laode pun membantah jika hubungan KPK dan BPK tak baik apalagi saling serang terkait kasus tersebut. "Begitu suasana kebatinan di tempat kami. Kami tidak akan melindungi siapa saja dan kami tidak mau zalim. Keberhasilan KPK 90% didukung BPK. Walaupun putusan MK bahwa perhitungan oleh instansi lain bisa tapi kami mempunyai kerjasama yang baik dengan BPK. Tidak ada hubungan yang tidak baik," ujarnya.

Sementara itu, Ketua KPK Agus Rahardjo menegaskan, KPK belum menghentikan penyelidikan kasus tersebut. "Pemaparan atau ekspose dari penyelidik ke pimpinan itu dilakukan beberapa kali. Terakhir pada 13 Juni 2016. Paparan tim mengusulkan untuk menghentikan proses penyelidikan. Tapi kami belum memutuskan untuk berhenti," kata Agus.

Menurut Agus, ada dua instansi yang harus ditemui terlebih dulu yaitu salah satunya BPK. Nantinya pimpinan KPK akan ikut dalam diskusi tersebut. "Nanti akan didalami lagi saat pertemuan antara auditor BPK dengan penyelidik kami. Pimpinan pun akan hadir dalam pertemuan itu," ucap Agus.

BPK TUNGGU KPK - Sementara BPK sendiri bersikap menunggu pihak KPK untuk menjelaskan sikap lembaga antirasuah itu dalam kasus Sumber Waras. Juru Bicara BPK R Yudi Ramdan mengatakan, pihaknya belum mendapatkan penjelasan resmi dari KPK.

Tentang kasus RS Sumber Waras, informasi yang kami dapat dari media. Kami dengar prosesnya masih berlangsung, tentunya kami akan mempersiapkan perkembangan lebih lanjut apa yang akan kita lakukan," jelas Yudi di gedung BPK, Jl Gatot Subroto, Jakarta, Rabu (15/6).

Yudi menepis ada conflict of interest seperti yang diisukan terkait adanya auditor yang menawarkan lahan makam untuk dibeli Pemprov DKI, namun ditolak hingga kemudian muncul isu lahan Sumber Waras.

Yudi menerangkan, atas kasus Sumber Waras, BPK telah membuat dua audit. Pertama, audit laporan atas laporan keuangan daerah DKI yang dilakukan pada 2013. "Kami melakukan pemeriksaan yang telah diserahkan DPRD dan Pemerintah DKI. Di dalam LHPD (laporan hasil pemeriksaan daerah) DKI itu ada temuan pengadaan Sumber Waras. Ada rekomendasi dari BPK agar kerugian negara kemudian dipulihkan," tutur dia.

Kemudian berdasarkan permintaan KPK, pada Juli 2015. BPK diminta melakukan investigasi, dan telah melakukannya lalu diserahkan ke KPK.

"Kita serahkan ke KPK pada Desember 2015. Ini merupakan bagian pendalaman dari LHPD. Khusus untuk LHP awal itu sudah terbuka untuk umum dan beredar. Sementara LHP investigasi, sesuai undang undang itu adalah konsumsi aparat penegak hukum dalam hal ini KPK. Kami telah menyerahkan substansinya. Selanjutnya ini kewenangan KPK. BPK tidak berkewenangan memberitahukan LHP. Sudah ada temuan BPK agar kerugian negara Rp 191 miliar itu dipulihkan," urai dia.

Yudi menegaskan, apa yang dilakukan BPK dalam melakukan audit sudah final dan sudah sesuai pedoman. "Sudah clear. Hasil Sumber Waras sudah final, dan ini konsumsi aparat penegak hukum untuk tindak lanjut. Tersangka bukan kewenangan BPK. Kami hanya ambil fakta lapangan. Mengindikasikan dan menghitung kerugian negara," tegas dia.

"Masalah tindak pidana bukan kewenangan BPK. Atas rekomendasi yang pernah kita lakukan kami memastikan harus ditindaklanjuti. Artinya bila tidak ditindaklanjuti sudah ada pelanggaran konstitusi. Bagi BPK semua sudah firm," ujarnya.

Yudi mengatakan, pihaknya belum bisa menentukan sikap terkait pernyataan KPK yang menganggap clear soal pembelian lahan RS Sumber Waras tersebut. "Kita tidak bisa bersikap. Kalau pekerjaan kita sudah selesai dan dulu sudah kita serahkan ke KPK atas permintaan," katanya.

Terkait kasus RS Sumber Waras ini, dalam hasil audit BPK menyebut laporan keuangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta 2014 mendapatkan opini Wajar dengan Pengecualian (WDP). Salah satu indikasinya, yaitu pengadaan lahan RS Sumber Waras di Jakarta Barat yang dinilai tidak melewati proses pengadaan memadai, sehingga BPK mencatat pembelian lahan merugikan keuangan negara senilai Rp191 miliar. KPK pun turun tangan dalam perkara ini. (dtc)

BACA JUGA: