JAKARTA, GRESNEWS.COM - Upaya hukum perlawanan Decky Kayame, mantan calon bupati Kabupaten Nabire, Papua, terus berlanjut di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Decky menggugat SK Menteri Dalam Negeri Nomor 131.91-818 Tahun 2016 tentang Pengangkatan Bupati Nabire Provinsi Papua dan SK Mendagri Nomor 132.91-819 Tahun 2016 tentang Pengangkatan Wakil Bupati Nabire.

Decky mengaku memiliki bukti-bukti yang kuat untuk diajukan ke dalam persidangan nanti, jika perlawanannya diterima. Decky menyatakan proses pelaksanaan pilkada di Nabire sangat tidak demokratis. Terdapat kecurangan dalam pemilihan kepala daerah pada 9 Desember 2015 lalu.

"Saya kejar kebenaran dan keadilan sehingga hakim bisa melihat sesuai dengan perundang-undangan. Kami siap membuktikan dengan alat bukti yang kami miliki," kata Decky kepada media saat ditemui usai persidangan di PTUN Jakarta, Jalan Sentra Primer Baru Timur, Jakarta Timur, Rabu (15/6).

Decky menuding Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nabire telah melakukan kecurangan dengan mengurangi suara yang didapatnya. Ia mengklaim hasil perhitungan suara yang diperoleh pasangan Decky Kayame dan Adauktus Takerubun adalah 59.549 suara. Hasil itu berbeda dengan perhitungan suara yang diplenokan oleh KPU sebanyak 53.776 suara.

Ia menjelaskan bahwa selisih perolehan suara itu berawal dari tindakan kecurangan yang dilakukan oknum kepolisian bekerjasama dengan KPU Nabire di dua distrik yakni di Distrik Dipa dan Siriwa. Bentuk kecurangannya dengan mengisi form C1 oleh oknum yang tidak bertanggung jawab sehingga mengakibatkan kerugian baginya. Atas dasar itu, Decky menuding terdapat kecurangan yang dilakukan oknum kepolisian dan KPU.

"Polisi mengambil C 1 KWK. Lalu polisi menyerahkan kepada KPU. Saya punya bukti penyerahan itu," kata Decky.

Sebelumnya Decky mengajukan gugatan ke PTUN. Namun majelis hakim mendismissal gugatan Decky Kayame dengan alasan PTUN tidak memiliki kewenangan untuk memeriksa, memproses dan memutus gugatan penggugat. Karena tidak puas atas putusan ketua PTUN, Hendro Puspito, pihaknya mengajukan perlawanan terhadap putusan dismissal tersebut. Hari ini, Rabu (15/6) Ketua Majelis Hakim Tri Cahya Indra Permana menyidangkan gugatan perdana perlawanan yang diajukan Decky.

Dalam tenggat 21 hari sebagai tenggat waktu sidang perlawanan, Decky menyatakan akan berupaya maksimal untuk membuktikan kecurangan dalam pelaksanaan pilkada akhir tahun lalu. "Dalam upaya perlawanan selama 21 hari ini, saya akan mengajukan dokumen-dokumen alat bukti, serta akan hadirkan ahli hukum, seperti ahli hukum tata negara akan saya hadirkan," tegasnya.

Decky mengajukan gugatan ke PTUN karena gugatannya ke MK yang disidangkan pada Januari lalu dianggap tidak menyentuh substansi pelanggaran dalam pilkada. Ia meyakini, jika MK masuk ke pokok pelanggaran, tentu MK akan memenangkannya.

"Kalau di MK masuk ke substansi, dilihat secara substansinya jelas tetap saya menang. Kalau saya dikalahkan di MK karena substansi tidak mungkin saya ke PTUN," terang Decky.

 

TAK ADA KECURANGAN - Kuasa hukum Kementerian Dalam Negeri Saiful Bahri Johan menyatakan putusan ketua PTUN mendismissal gugatan mantan calon Bupati Nabire sudah tepat. Putusan mendismissal juga sudah sesuai dengan aturan perundang-undangan.

"Kami menyatakan dismissal sebenarnya telah sesuai dengan UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Tata Usaha Negara. Karena kasus ini selesai di Mahkamah Konstitusi (MK). Dismissal terjadi karena tidak sesuai dengan Pasal 62 UU Nomor 5 Tahun 1986," kata Johan.

Johan melanjutkan bahwa setiap putusan yang dikeluarkan Tata Usaha Negara berpeluang untuk digugat. Namun dengan alasan yang jelas dan konstitusional.

"Siapa pun boleh menggugat keputusan Tata Usaha Negara kalau memenuhi tiga hal. Pertama, dia punya kewenangan. Kedua, substansinya sesuai. Ketiga, soal kesalahan prosedur," tukasnya.

Terkait dengan SK Mendagri yang diterbitkan, menurut Johan, telah sesuai prosedur. Dalam SK Mendagri tersebut tidak ditemukan tiga hal tersebut. Apa lagi, putusan tersebut itu merupakan perintah Mahkamah Konstitusi (MK).

Dia juga menepis tudingan yang dikemukakan sebelumnya mengenai adanya kejanggalan dalam menerbitkan SK. Pasalnya SK diterbitkan setelah satu hari diusulkan oleh gubernur Papua. "Boleh (terbit SK dalam satu hari). Setengah hari juga boleh. Mendagri berwenang, yang penting prosedurnya diikuti apa tidak," ujarnya.

Sementara itu, pengamat hukum tata negara Margarito Kamis menyayangkan putusan Ketua PTUN dengan mendismissal perkara tersebut. Menurutnya, PTUN tidak boleh menolak perkara yang diterbitkan dari Keputusan TUN.

"PTUN tidak bisa menolak. Karena itu putusan TUN, PTUN harus memeriksa. Soal diterima atau ditolak itu soal lain," ungkap Margarito.

SK pengangkatan Bupati terpilih oleh Mendagri merupakan putusan TUN sehingga bisa saja digugat. Lagi pula, putusan TUN itu merupakan rangkaian dari proses-proses yang berlangsung sebelumnya. Dengan begitu, PTUN harus berani memeriksa fakta-fakta sebelumnya sehingga terbit SK menteri.

Margarito juga membuka kemungkinan untuk memeriksa kembali putusan TUN meskipun putusan tersebut merupakan wewenang MK. Lebih jauh dia menjelaskan, banyak perkara sengketa pilkada yang sebenarnya tidak diperiksa materinya di MK.

Dia juga menegaskan putusan MK pada pilkada tidak bersifat final dan mengikat. Dia beralasan bahwa pemilihan pada 9 Desember 2015 bukan Pemilu melainkan Pilkada. Sedangkan menurut UU, sengketa itu putusan MK yang final dan mengikat itu berlaku untuk Pemilu. "Pilkada itu bukan pemilu. Final mengikat itu untuk Pemilu,"kata Margarito.

Dia menjelaskan pemberian kewenangan mengadili sengketa Pilkada itu karena belum ada peradilan khusus menangani sengketa pilkada. Jadi, kewenangannya hanya bersifat sementara.

BACA JUGA: