JAKARTA, GRESNEWS.COM - Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) mempraperadilankan Badan Reserse Kriminal Polri yang mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) Walikota Tegal Siti Masitha Soeparno. Saat itu Bareskrim Polri menyatakan kasus pemalsuan dokumen walikota Tegal tersebut tidak cukup bukti untuk dilanjutkan ke persidangan.

Menurut Koordinator MAKI Boyamin Saiman, alasan yang dikemukakan penyidik untuk mengeluarkan SP3 tidak tepat dan salah kaprah. Kalau mengacu pada laporan, kasus bukan pidana pemilu melainkan pidana umum, sehingga penggunakan pasal yang tepat adalah Pasal 263 dan Pasal 264 KUHP. "Itu bukan pelanggaran pemilu tetapi pidana umum," ungkap Boyamin kepada gresnews.com di PN Jakarta Selatan Jalan Ampera Raya, Selasa (17/5).

Lebih lanjut Boyamin menilai proses hukum seharusnya dilanjutkan ke persidangan bukan menghentikan penyidikan. Menurutnya, kasus tersebut sudah sangat jelas soal pemalsuan dokumen yang dilakukan Siti Masitha Soeparno saat mencalonkan diri menjadi Walikota Tegal tahun 2013.

"Kan jelas itu pemalsuan dokumen, maka daluarsanya kasus itu 12 tahun sehingga baru pada 2027," ujar Boyamin.

Walikota Tegal, Siti Masitha Soeparno, diduga memalsukan dokumen Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) dan NPWP yang dijadikannya sebagai syarat pendaftaran saat dirinya maju sebagai Walikota Tegal pada 2012 lalu.

Ia ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri pada Juli 2015 dengan tuduhan melakukan pemalsuan dokumen. Namun setelah melalui serangkaian proses hukum, kasus Siti Masitha di-SP3 pada 22 Oktober 2015 oleh Bareskrim Polri dengan alasan kasus tersebut telah daluarsa dan tidak cukup bukti.

MAKI dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Tegal mengajukan gugatan praperadilan Nomor Perkara 34/Pid.prap/2016/PN/Jkt.Sel. Boyamin menilai bahwa kasus pemalsuan dokumen yang menyeret Walikota Tegal itu bukan pidana pemilu yang mempunyai limit 7 hari. Pemalsuan dokumen, kata Boyamin, merupakan pidana umum dengan delik material pemalsuan.

Bareskrim pada 22 Oktober 2015 mengeluarkan Surat Ketetapan Bareskrim Polri bernomor S.TAP/1489 Subdit-I/2015/Dit Tipidum yang ditandatangani oleh Direktur Tipidum selaku Penyidik, Brigadir Jendral Polisi Drs Carlo B Tewu. Sementara SP3 Nomor : B/612-Subdit-I/X/2015/Dit Tipidum ditandatangani Masitha pada Jumat (30/10/2015).

KEJANGGALAN SP3 - Sementara itu, mantan Komisioner Kompolnas Muhammad Nasser yang dihadirkan dalam persidangan mengemukakan kejanggalan-kejanggalan terkait penerbitan SP3 oleh Bareskrim Polri. Diantara yang diungkap Nasser terkait SP 3 yaitu soal alasan kepolisian menghentikan penyidikan karena kasus tersebut dianggap daluarsa.

Menurut Nasser, alasan itu tidak tepat karena laporannya adalah tindak pidana pemalsuan dokumen dengan menggunakan KUHP Pasal 263 dan 264. Pasal tersebut berbunyi :

(1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.

(2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.

Selanjutnya, Pasal 264 KUHP berbunyi ; (1) Pemalsuan surat diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun, jika dilakukan terhadap:

1. Akta-akta otentik;

2. Surat hutang atau sertifikat hutang dari sesuatu negara atau bagiannya ataupun dari suatu lembaga umum;

3. Surat sero atau hutang atau sertifikat sero atau hutang dari suatu perkumpulan, yayasan, perseroan atau maskapai:

4. Talon, tanda bukti dividen atau bunga dari salah satu surat yang diterangkan dalam 2 dan 3, atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti surat-surat itu;

5. Surat kredit atau surat dagang yang diperuntukkan untuk diedarkan;

(2) Diancam dengan pidana yang sama barang siapa dengan sengaja memakai surat tersebut dalam ayat pertama, yang isinya tidak sejati atau yang dipalsukan seolah-olah benar dan tidak dipalsu, jika pemalsuan surat itu dapat menimbulkan kerugian.

Jika alasan SP3 dinyatakan daluarsa maka dapat diduga penyidik menggunakan pasal lain selain pasal yang diadukan."Yang dilaporkan pidana umum tetapi Bareskrim Polri menyatakan daluarsa. Berarti itu menggunakan undang-undang lain," ungkap Nasser.

Kejanggalan lainnya, alasan yang dikemukan penyidik menyatakan tidak cukup bukti, namun dalam diktum menyatakan kasus tersebut daluarsa. "Ini tidak lazim," terang Nasser.

Nasser beralasan daluarsa kasus itu 12 tahun menurut KUHAP. Dia menambahkan, penghitungannya bukan dari dokumen palsu tersebut dibuat, melainkan dihitung sejak dokumen yang diduga palsu itu digunakan.

"SP3 yang diterbitkan kurang memenuhi rasa keadilan dan kurang sempurna," kata Nasser saat memberikan keterangan selaku saksi fakta dalam persidangan.

Dosen UII Jogjakarta ini juga menyayangkan tindakan ceroboh yang dilakukan penyidik Bareskrim Polri. SP3 ini, kata Nasser, mencederai proses penegakan hukum ditambah pula tidak berniat menghadiri persidangan yang mulia ini. "Ini tidak baik dalam proses penegakan hukum," tuturnya.

Sementara itu, pihak tergugat (Bareskrim Polri) sejak sidang pertama belum pernah menghadiri persidangan. Boyamin menegaskan telah mengirim surat baik dalam bentuk email, melalui telepon agar pihak tergugat menghadiri persidangan tersebut.

"Sudah kami kirimkan surat, telepon dan sms (pesan pendek) tapi sampai sekarang tak hadir juga," kata Boyamin.

KRONOLOGI - Walikota Tegal Siti Masitha Soeparno dilaporkan ke Mabes Polri oleh Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Kota Tegal atas dugaan penggunaan ijazah palsu saat mendaftar menjadi calon Walikota (Pilwalkot) ke KPU Kota Tegal pada tahun 2013 lalu.

Ketua HMI Kota Tegal Subekhi Prawirodirjo yang melapor secara langsung dengan datang ke kantor Bareskrim di Jakarta Kamis (4/6/2015) kemarin sekitar pukul 14.00. Dasar pelaporannya adalah dokumen salinan persyaratan calon walikota dalam hal ini Siti Masitha yang diperoleh dari Komisi Pemilihan Umum KPU. Diketahui, Siti Masitha hanya menggunakan surat keterangan pengganti ijazah dari tingkat pendidikan SD hingga SMA.

Subekhi menuturkan, salinan surat keterangan pengganti ijazah yang diperoleh dari KPU. Setelah dilakukan penelusuran dan dikonfirmasi ke alamat email yang terdapat dalam kop surat. Namun, hingga kini belum mendapatkan balasan. Tak hanya itu, alamat website yang tertera pada kop surat juga tidak dapat diakses di internet.

Mantan ketua DPRD Sumsel Wasista Bambang Ueotoyo membantah adanya pemalsuan dokumen. Menurut Wasista, Siti Masitha memang mengenyam pendidikan dan tamat dari SD Xaverius 1 Palembang pada sekitar tahun 1970 an.

Wasista menjelaskan Masitha memang tamatan SD Xaverius 1 Palembang. Sementara SMP di Xaverius Palembang pula namun hanya beberapa bulan saja di kelas satu, lalu pindah ke Bangkok (Thailand).

Menurut Wasista, ia mengetahui sebagian besar Masitha dari kecil hingga besar, mengingat orang tua Masitha adalah anak angkatnya dari orang tua Wasista (Bambang Uetoyo). Masitha, kata Wasista. pindahan dari Jerman ke Palembang. Bapak Masitha pernah berdinas di distrik Garuda Frankfurt lalu pindah ke distrik Garuda Palembang.

BACA JUGA: