JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kasus perkosaan dan pembunuhan keji terhadap Yuyun, gadis berusia 14 tahun di Bengkulu, bisa menjadi momentum menjadikan kejahatan perkosaan sebagai kejahatan luar biasa atau extraordinary crime. Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait mengatakan, berulangnya kasus perkosaan seperti yang dialami Yuyun menegaskan, negeri ini tidak pernah belajar dari kejadian sebelumnya.

Karena itu, menurut dia, kasus Yuyun bisa dijadikan momentum untuk memasukkan perkosaan sebagai kasus kejahatan luar biasa. "Saat ini, ini masih dianggap kejahatan biasa, tidak, ini sudah kejahatan luar biasa. Ini yang kita sebut negara tak pernah belajar," kata Arist dalam diskusi di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (7/5).

Arist lantas mencontohkan tragedi yang menimpa Angeline di Bali dan kasus penemuan mayat bocah dalam kardus yang dibunuh oleh geng Boel Tacos di Kalideres. Menurut Arist, kasus kekerasan seksual terhadap anak sudah masuk ke dalam kejahatan atas kemanusiaan.

"Yang dipentingkan dari peristiwa Bengkulu adalah bagaimana ini bisa terjadi, bukan soal polemik (besarnya hukuman untuk pelaku). Ini sudah masuk kejahatan kemanusiaan, jadi bagaimana menempatkan ini sebagai extraordinary crime," terangnya.

Sementara itu, perwakilan Seknas Perempuan Mahardika Mutiara Ika Pratiwi mendesak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Meski begitu, menurutnya, dalam menekan angka kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan bukan hanya kewajiban pemerintah melainkan seluruh lapisan masyarakat.

"Segera (disahkan), tidak ada alasan DPR untuk reses. Segera disahkan penghapusan kekerasan seksual. Ini merupakan tanggung jawab komunitas, kampung, kampus, untuk melihat ini sebagai persoalan bersama. Mari wujudkan kampung-kampung setara, kampung-kampung yang mengembangkan nilai-nilai kesetaraan yang menghargai perempuan. Pemerintah harus kita tuntut, tapi penanganan kasus kekerasan seksual ini tidak bisa menunggu," kata Mutiara.

Kasus Yuyun memang mengundang perhatian banyak pihak. Skala kejahatannya--terlepas kejahatan ini dilakukan oleh anak di bawah umur--telah membuat sebagian besar masyarakat geram. Hukuman berat terhadap pelaku kejahatan agar mengundang efek jera pun dikumandangkan.

Salah satunya oleh Wakil Ketua DPR Agus Hermanto. Dia berharap kejadian ini tak terulang lagi. Karena itu, pelaku mestinya harus dituntut dengan hukuman berat. "Kami memohon bahwa pelakunya harus dihukum yang seberat-beratnya. Supaya kejadian yang cukup sadis itu tak terulang lagi," kata Agus di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (5/5).

Peristiwa perkosaan sadis itu, kata Agus, mesti jadi bahan introspeksi bagi semua pihak. Aparat hukum pun harus menuntaskan aksi kriminal ini dengan memberikan vonis hukuman berat bagi pelaku. "Harus dihukum seberat-beratnya karena ini perbuatan biadab yang tentunya harus diberikan sanksi yang sangat tegas dan keras," sebutnya.

Anggota Komisi III DPR Wihadi Wiyanto meminta penyidik Polda Bengkulu untuk mengusut tuntas kasus kemanusiaan tersebut. "Ini kasus yang sangat serius, penyidik jangan main-main dalam pengusutan, karena menyangkut masa depan anak," kata Wihadi di Jakarta, Jumat (6/5).

Dia mengaku, penyidik seharusnya bisa membuka motif pemerkosaan dan pembunuhan yang dilakukan oleh 14 pelaku tersebut. Maka dengan dibukanya motif perkara tersebut, hakim akan memutuskan yang tepat pada para pelaku.

"Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 B Ayat (2) dijelaskan, jika anak-anak harus dilindungi oleh negara, maka pemerintah melalui lembaga terkait dapat menjalankan amanat UU yang dimaksud. Kalau dari awal kasus yang menyangkut masalah anak-anak kita perlu perlindungan anak-anak," jelasnya

HUKUMAN MAKSIMAL - Sementara itu, dari persidangan kasus ini di PN Curup, Bengkulu, jaksa penuntut umum tetap pada pendiriannya memberikan tuntutan maksimal 10 tahun penjara. Para terdakwa sendiri dalam persidangan Rabu (4/5) kemarin sempat meminta keringanan hukuman. Alasannya, mereka masih anak di bawah umur.

"Tapi JPU tetap memberikan ancaman hukuman maksimal 10 tahun. Mereka itu sudah berbuat keji dan biadab. Rasanya tak ada keringanan yang pantas buat mereka, sekalipun anak di bawah umur," kata Kepala Seksi Tindak Pidana Umum (Kasie Pidum) Kejari Curup Aan Tomo.

Aan menyebutkan, pihak Kejari Curup sudah memberikan tuntutan maksimal sesuai dengan UU Perlindungan Anak. Dalam kasus mereka, ada dua dakwaan yang berbeda. Pertama, soal pemerkosaan dan kedua pembunuhan.

"Sesuai dengan UU Perlindungan Anak, bahwa hukuman maksimal 15 tahun penjara. Dalam aturannya, jika anak di bawah umur maka hukuman hanya separuhnya, makanya hanya 7,5 tahun. Karena dua kasus pembunuhan dan perkosaan, maka hukuman ditambah sepertiga dari ancaman hukuman makanya ditambah 2,5 tahun sehingga tuntutan maksimal 10 tahun," kata Aan.

Menurut Aan, masyarakat memang banyak kecewa atas tuntutan tersebut karena dianggap terlalu ringan. Namun, pihak jaksa sendiri, juga menjalankan tugas sesuai dengan UU yang berlaku. "Jadi masyarakat jangan salah beranggapan kalau kami ini menuntut ringan. Apa yang kami lakukan sudah batas maksimal," kata Aan.

Jika ditanya hati nurani, lanjut Aan, pihaknya juga berkeinginan para pelaku pemerkosa dan pembunuhan itu dituntut hukuman mati. "Kalau ditanya hari nurani kami, ya pasti sama dengan keinginan masyarakat. Kita menuntut kan sesuai dengan UU yang berlaku. Kami juga maunya dituntut ya minimal seumur hidup," kata Aan.

Fakta bahwa pelaku masih merupakan anak di bawah umur memang membuat kasus ini cukup pelik. Terlebih batasan usia dewasa dan anak-anak berbeda antara peraturan yang satu dengan yang lainnya. Hal ini pula yang kadang cukup membingungkan dan menjadi kendala pihak kepolisian dalam menerapkan hukuman yang tepat.

Hal itu diakui Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri Brigjen Pol Agus Rianto. "Dalam setiap penanganan kasus ada hal yang jadi prioritas yang harus kita tuntaskan meskipun ada kendala atau hambatan. Mengenai kasus anak, ada kendala pemahaman terutama terkait klasifikasi umur," ujar Agus dalam diskusi di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (7/5).

"Klasifikasi anak dengan orang yang dianggap bukan lagi anak itu antara undang-undang yang satu dengan yang lain ada yang harus dipahami bersama," jelasnya.

Agus menjelaskan berdasarkan Pasal 45 KUHP disebutkan batasan anak adalah mereka yang berusia di bawah 16 tahun. Sedangkan undang-undang lain rata-rata batasannya adalah 18 tahun.

Ia juga menjelaskan bahwa 5 dari 12 pelaku pemerkosan dan pembunuh gadis berusia 14 tahun itu berumur di atas 18 tahun. Sementara itu 7 lainnya belum sampai 18 tahun. Tujuh orang inilah yang kini kasusnya telah disidangkan dan ketujuhnya dituntut dengan hukuman 10 tahun penjara.

"Yang di bawah umur kita dahulukan. Tujuh orang menggunakan UU 35 tahun 2014 karena di bawah 18 tahun. Dalam Pasal 80 Ayat (3) sudah jelas hukuman maksimal 15 tahun," ujar Agus.

Agus menambahkan, Kapolri telah mengingatkan bahwa dalam menegakkan hukum tak boleh melanggar hukum. Oleh sebab itu, Polri memilih bekerjasama dengan berbagai pihak terkait dalam menangani suatu kasus.

"Dalam proses penegakan hukum, prinsip yang dikatakan Kapolri adalah tidak boleh melanggar hukum. Kita melibatkan berbagai pihak sehingga dalam proses perjalanannya nantinya tidak nenemui masalah," papar Agus.

"Teman-teman di Bengkulu telah berupaya semaksimal mungkin untuk segera mengungkap kasus ini agar tidak melebar ke mana-mana. Apalagi kalau menyangkut wanita dan anak-anak, dukungan dari berbagai pihak sangat luar biasa," tuturnya.

PERAN MASYARAKAT - Sementara itu, Ketua Dewan Pembina Komisi Nasional Perlindungan Anak Seto Mulyadi mengatakan, Pesiden Joko Widodo (Jokowi) perlu mencanangkan gerakan stop kekerasan terhadap anak nasional. "Tindakan gerakan ini perlu dilakukan agar anak-anak merasa aman dan tidak menjadi sasaran kekerasan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab," kata pria yang akrab disapa Kak Seto itu kepada gresnews.com, Sabtu (7/5).

Seto mengatakan, perlindungan terhadap keselamatan dan keamanan bagi anak-anak dari ancaman bahaya sekitar bukan hanya wajib dipenuhi keluarganya saja, tetapi perangkat seperti RT/RW juga perlu melindungi keselamatan anak, atau bisa juga dibentuk Satuan Petugas (Satgas) Perlindungan anak untuk setiap RT/RW.

"Selain itu, perlu pula melibatkan komite sekolah dan pihak guru dalam melindungi anak di sekitar sekolah," tegasnya.

Menurutnya, masih kurangnya rasa kepedulian masyarakat dalam melindungi anak-anak membuat kasus kekerasan terhadap anak masih kerap terjadi. Karena itu, diperlukan peran serta aktif pihak sekolah dan semua elemen masyarakat untuk membantu melindungi anak-anak dari kekerasan seksual dan kejahatan lainnya.

Psikolog anak itu menyebutkan, seharusnya UU Perlindungan Anak diimplementasikan, sehingga berjalan sesuai dengan fungsinya dan mengurangi kekerasan terhadap anak. "Harusnya implementasi UU Perlindungan Anak harus dilakukan secara utuh, jika tidak maka kekerasan terhadap anak akan terus meningkat," tegasnya.

Tak hanya itu, sikap tegas penegak hukum dibutuhkan dalam menindak tegas pelaku kejahatan terhadap anak, sehingga ada efek jera. "Ini sangat prihatin, seharusnya dengan kejadian ini pihak-pihak terkait harus mengambil langkah yang konkret agar kejadian serupa tidak terjadi," pungkasnya. (dtc)

BACA JUGA: