JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kasus pemerkosaan yang menyebabkan kematian pelajar SMP bernama Yuyun (14), warga Dusun 5 Desa Kasie Kasubun, Kecamatan Padang Ulak Tanding (PUT), Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu, pada 10 April lalu oleh 14 pemuda patut menjadi perhatian semua pihak. Peristiwa keji tersebut harus dilihat dari semua aspek agar kasus serupa tak terulang kembali di masa depan. Selain memberikan hukuman setimpal kepada pelaku, aspek regulasi juga perlu diperkuat.

Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang juga Ketua Umum Gerakan Nasional Anti Miras (Genam) Fahira Idris menekankan, kekerasan seksual dan pembunuhan terhadap Yuyun oleh ke-14 pemuda itu terjadi setelah mereka menenggak minuman keras (miras). Karena itu, kata dia, agar kasus serupa tak terulang, aturan soal miras harus segera diundangkan.

Fahira mendesak pemerintah dan DPR mempercepat pembahasan Rancangan Undang-Undang Larangan Minuman Beralkohol. Pengaruh miras, menurutnya, sangat besar dampaknya pada akal sehat seseorang. "Makanya jangan heran kalau ada anak tega bunuh orang tua atau orang tua tega bunuh anak, karena pengaruh miras," kata Fahira beberapa waktu lalu.

Dalam kasus Yuyun ada pelaku anak di bawah umur yang tega memerkosa berkali-kali hingga korbannya meninggal dan mayatnya dibuang ke jurang. "Kalau tidak di bawah pengaruh miras, mereka tidak akan sebiadab itu. Saya tidak tahu, sampai kapan kita semua sadar bahwa miras itu bencana," tegas Fahira.

Menurut Fahira, secara akal sehat, anak di bawah umur tidak akan punya pikiran dan keberanian untuk membunuh. Namun saat di bawah pengaruh alkohol, naluri melakukan kejahatan muncul. Penelitian yang pernah dilakukan oleh Pusat Kajian Kriminologi Universitas Indonesia (UI) dan Genam tahun 2013 terhadap 43 responden narapidana anak menemukan fakta bahwa dari 43 responden, 15 diantaranya meminum alkohol saat melakukan pembunuhan.

"Kasus ini bukan hanya soal kekerasan terhadap perempuan tetapi juga soal begitu mudahnya miras didapat di negeri ini. Perempuan selalu menjadi objek kekerasan para pemabuk. Itulah salah satu sebab kenapa sekarang miras dilarang total di Papua," kata senator asal Jakarta itu.

Fahira mengungkapkan, kasus perkosaan anak di bawah umur oleh pelaku di bawah pengaruh alkohol sudah berkali-kali terjadi. Bahkan ada korban yang dicekoki miras terlebih dulu oleh pelaku sebelum diperkosa dan harus meregang nyawa akibat terlalu banyak miras yang masuk ke tubuhnya.

"Saya mendesak Pansus segera rampungkan RUU Larangan Minuman Beralkohol pada Juni 2016 ini sesuai tenggat yang mereka janjikan. Jangan sampai ada Yuyun-Yuyun lain," ujar Wakil Ketua Komite III DPD itu.

Kasus Yuyun juga membuat Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Susana Yembise mendesak dipercepatnya proses pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS). "Saya harap Dewan Perwakilan Rakyat sebagai pengusul RUU ini bisa kerja cepat," kata Yohana dalam keterangan tertulisnya, Rabu (4/5).

Implementasi RUU tersebut, kata dia, akan bisa menindak pelaku kekerasan seksual yang menyebabkan korban meninggal, seperti kasus Yuyun. Menurut Yohana, ancaman hukuman atas kasus kekerasan saat ini belum mampu menurunkan angka kasus itu sendiri. Kasus Yuyun, kata dia, hanya satu dari sekian kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia.

Jenis kasus seperti ini pun belum tergolong kejahatan berat. "RUU PKS sendiri belum masuk prioritas pembahasan 2016, hanya masuk long-list 2015-2019," ujar Yohana. Oleh karena itu ia menegaskan perlunya merevisi sanksi hukum untuk pelaku kejahatan seksual.

Desakan pengesahan RUU PKS juga datang dari sejumlah lembaga swadaya masyarakat dan aktivis yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Peduli Korban Kekerasan Seksual. RUU ini pun sudah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2016 DPR.

Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah GKR Hemas juga menegaskan hal serupa. "Saatnya RUU Kekerasan Seksual segera dituntaskan, agar tak ada lagi Yuyun lain yang menjadi korban," kata Hemas lewat keterangan tertulisnya.

Hemas mengatakan, darurat kekerasan seksual pada perempuan dan anak sudah digaungkan sejak tahun lalu, setelah angka kekerasan dalam lima tahun terakhir terus mengalami peningkatan. Kala itu data dari Komnas Perlindungan Perempuan menyebutkan bahwa dari seluruh kasus kekerasan yang dialami perempuan, 65 persen di antaranya adalah kasus kekerasan seksual. Data dari Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), kasus kekerasan seksual yang menimpa anak-anak mencapai 58 persen.

Menurut Hemas, terdapat sejumlah alasan yang memicu kasus kekerasan seksual terus berulang. Alasan itu diantaranya adalah masih tingginya keengganan melaporkan kasus, kurang terbukanya penanganan kasus, hingga lemahnya ancaman hukuman terhadap pelaku, sehingga tidak menimbulkan efek jera.

Menurut Hemas, dengan disegerakannya pembentukan payung hukum yang lebih kuat diharapkan mampu memberi efek jera. Selain itu, RUU ini juga dipastikan akan menjadi hukum formal yang dapat membuat pelaku atau calon pelaku berpikir ulang serta mengurungkan niatnya sebelum melakukan kekerasan.

Salah satu yang perlu diperkuat, menurut Hemas, adalah hukuman kekerasan seksual dibuat jauh lebih berat dari yang selama ini berlaku. "Kami harus menghentikan kejahatan seksual ini bersama, dengan gerakan masyarakat yang saling peduli, penyelenggara negara melindungi, dan penegak hukum yang sigap serta adil," kata Hemas.

HUKUMAN MATI - Saat ini kasus kekerasan seksual dan pembunuhan terhadap Yuyun telah masuk tahap persidangan. Tujuh dari 12 terdakwa dituntut dengan hukuman 10 tahun penjara. Dalam persidangan di Pengadilan Negeri Curup, Bengkulu, mereka didakwa melanggar Pasal 80 Ayat (3) dan Pasal 81 Ayat (1) juncto Pasal 76-d Undang-Undang tentang Perlindungan Anak. Sidang ini dipimpin hakim ketua Heny Farida, dibantu dua hakim anggota, Hendri Sumardi dan Fahrudin, serta jaksa penuntut umum Arlya Noviana Adam.

Kepala Divisi Humas Mabes Polri Brigjen Boy Rafli Amar mengatakan, pelaku kekerasan seksual terhadap Yuyun bisa dikenakan hukuman maksimal. Alasannya, karena pelaku juga melakukan kejahatan lainnya.

"Dilihat dari rangkaiannya terdiri dari berbagai tindak pidana, pasal-pasal yang diterapkan juga bisa pasal berlapis, seperti itu. Ada pengeroyokan, pemerkosaan, penganiayaan yang mengakibatkan meninggalnya orang, ini menjadi pasal-pasal tersendiri yang diakumulasi," jelas Boy di Jakarta.

Namun proses penuntutan merupakan hak jaksa. "Polisi hanya menyampaikan fakta-fakta kejadian tersebut," terang Boy.

Sementara itu, orang tua Yuyun berharap pelaku dihukum seberat-beratnya. Kalau tidak hukuman mati, penjara seumur hidup. "Cuma itu bae (cuma itu saja) permintaanku. Sama hakim, waktu sidang pertama, aku minta yang memperkosa dan membunuh anakku, kalau tak dihukum mati ya harus seumur hidup," kata ayah Yuyun, Selasa (3/4).

Pria berusia 36 tahun itu mengatakan, dia bersama istrinya baru satu kali menghadiri persidangan kasus pembunuhan dan perkosaan anaknya Yuyun. Ada lima pelaku di bawah umur yang sudah disidangkan di pengadilan anak. "Harus hukum mati, kalau tidak seumur hidup. Mereka itu sengaja akan memperkosa dan membunuh anakku. Kalau tak sengaja, mana mungkin mereka sengaja menunggu anakku pulang sekolah," kata dia dengan lantang.

Sang ayah juga selalu berdoa, agar kedua pelaku lainnya yang lagi diburu pihak kepolisian segera tertangkap. "Aku sekarang cuma berdoa semoga dua pelaku lagi bisa segera terangkap. Mereka itu sangat biadab," imbuhnya.

Terkait hal ini, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Asrorun Niam Sholeh meminta agar pemerintah segera mengesahkan hukuman kebiri bagi para pelaku kejahatan terhadap anak. Hal ini sebagai satu-satunya upaya efektif untuk ‎menekan angka kekerasan seksual terhadap anak.

Meskipun pelakunya sebagaian besar merupakan anak di bawah umur, Asrorun tetap meminta agar mereka dihukum berat agar memberikan efek jera. "Meski begitu, pemerintah tetap harus memperhatikan hak-hak para pelaku sesuai dengan apa yang diatur dalam sistem peradilan anak dan memberikan pendampingan hukum," tegasnya.
 
Sebagaimana diketahui, Yuyun diperkosa dan dibunuh pada Sabtu (2/4) lalu oleh 14 pemuda warga desa di Kecamatan Padang Ulak Tanding, Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu. Yuyun diperkosa secara sadistis oleh 14 pelaku secara bergantian dan dalam kondisi tangan serta kaki terikat hingga meninggal. Jenazah korban kemudian ditinggalkan begitu saja dengan ditutupi dedauan.

Mayat korban ditemukan pada 4 April 2016 oleh polisi bersama keluarga korban, dibantu masyarakat. Ke-12 pelaku tersebut berinisial D alias J (17) A (17), FS (17), S (17), DI (17), EG (16), dan S (16). Sedangkan lima tersangka lain adalah TW, 19 tahun, Sk (19), Bb (20), Fs (19), dan Zl (23). Dua tersangka lain masih berstatus buron aparat kepolisian. (dtc)

BACA JUGA: