JAKARTA, GRESNEWS.COM – Masih ingat kasus Ongen? Pegiat kemaritiman Yulianus Paonangan alias Ongen sejak ditangkap polisi pada pertengahan Desember lalu hingga kini masih mendekam di tahanan Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri). Ongen harus menjalani masa penahanan selama 90 hari karena berkasnya tak kunjung dilengkapi penyidik Polri. Pihak Kejaksaan Agung selaku penuntut umum masih mengembalikan berkas itu ke penyidik untuk dilengkapi.

Kuasa hukum Ongen, Yusril Ihza Mahendra, mengatakan, penyidik harus memasukkan keterangan Presiden Joko Widodo dalam berkas perkara Ongen, jika yang kasus yang dituduhkan pada Ongen adalah penghinaan. Seperti diketahui Ongen memang diperkarakan gara-gara foto yang diunggahnya yang menampilkan Presiden Jokowi yang saat itu menjabat sebagai Gubernur DKI berpose dengan artis Nikita Mirzani saat peluncuran sebuah film. Gambar itu jadi bermasalah karena Ongen membubuhkan kata-kata tak pantas menyertai gambar tersebut.

Hanya saja, polisi berkeras kasus Ongen adalah penyebaran gambar berunsur pornografi. Hanya tak pernah dijelaskan polisi gambar mana yang diunggah Ongen yang bemuatan unsur pornografi. Karena itulah, nasib Ongen jadi terkatung-katung karena berkas polisi tak kunjung dilengkapi dan selalu dikembalikan jaksa (P-19).

Namun pengacara Ongen berkeras tak ada unsur pornografi dalam gambar yang diunggah Ongen. Dan jika kasusnya memang penginaan, maka pihak yang dihina yakni Jokowi, harus didengar kesaksiannya baik dalam proses penyidikan dan nanti di persidangan sebagai saksi korban. Nah, kata Yusril, unsur inilah yang membuat kasus Ongen tak kelar-kelar.

Proses penyidikan dalam perkara pidana yang betele-tele ini memang kerap membuat nasib para tersangka seperti "digantung". Kadang bertahun-tahun penyidikan berjalan dan tak tuntas-tuntas membuat tersangka merasa terus tersandera dengan kasusnya.

Nasib tak mengenakkan macam ini pernah dialami mantan Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) Usman Hamid.  Ia mengisahkan, dirinya pernah ditetapkan sebagai tersangka oleh aparat kepolisian dengan tuduhan melakukan pencemaran nama baik pada tahun 2005 silam. Namun hingga kini nasib perkara itu tak jelas lantaran berkas perkara yang membuatnya menjadi tersangka tak juga dilimpahkan ke penuntutan karena tak kunjung dilengkapi.

Usman merasa nasibnya "digantung" penyidik dan dia sudah nyaris 11 tahun menyandang status "tersangka" tanpa ada kejelasan. "Saya kira ada banyak orang seperti saya yang pernah mengalami kriminalisasi dengan status tersangka tanpa ada ujung perkara yang jelas. Sudah banyak kasus kriminalisasi yang sebenarnya tidak memiliki kejelasan hukum karena masalah bolak-balik berkas perkara itu," ujarnya kepada gresnews.com, Rabu (9/3).

Karena itulah, Usman Hamid bersama beberapa pihak lain menggugat proses penyempurnaan berkas penyidikan perkara yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ke Mahkamah Konstitusi. Ada empat pasal yang dipersoalkan Usman Hamid dan kawan-kawan. Pertama adalah Pasal 14 huruf b dan huruf I tentang prapenuntutan. Kedua, Pasal 109 tentang Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) oleh penyidik kepada Penuntut Umum.

Ketiga, Pasal 138 Ayat (1) terkait dengan ketentuan Penuntut Umum untuk mempelajari dan meneliti hasil penyidikan oleh penyidik dan Pasal 138 Ayat (2) yang menyatakan jika dari hasil penyidikan tersebut Penuntut Umum menyatakan belum lengkap atau masih memiliki kekurangan dari proses penyidikan, maka Penuntut Umum berhak mengembalikan berkas penyidikan tersebut kepada penyidik untuk dilengkapi dan dalam waktu 14 hari sejak tanggal penerimaan berkas yang disertai dengan petunjuk dari Penuntut Umum.

Keempat, Pasal 139 yang menyatakan setelah Penuntut Umum menerima atau menerima kembali berkas atau hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik, maka Penuntut Umum dapat segara menentukan apakah berkas perkara itu sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke pengadilan.  

Alasan Usman Hamid menggugat pasal-pasal itu ke MK adalah proses yang membuat penyidikan menjadi bertele-tele tersebut berpotensi dapat mengganggu hak sipil politik rakyat Indonesia. Tidak hanya itu, ia menyatakan, ketentuan bolak-balik perkara antara kepolisian dan kejaksaan yang kerap disebut dengan istilah P-19 itu sangat mengganggu tatanan sosial para korban kriminalisasi aparat penegak hukum.

Seharusnya, kata dia, pemerintah, khususnya aparat penegak hukum dapat mempertimbangkan efek yang ditimbulkan dari ketentuan UU KUHAP yang tidak memiliki batas waktu dalam menyempurnakan berkas perkara tersebut. Usman Hamid mengatakan, setiap orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka tanpa kepastian hukum tentu akan terpengaruh kondisi ekonomi dan psikologisnya termasuk keluarganya. "Jadi ini bukan terkait dengan kasus saya saja. Ada pesan yang lebih luas yang ingin kita sampaikan," paparnya.

"Kalau saya pribadi tidak ada kendala besar. Saya masih bisa melakukan hak sipil politik saya. Saya yakin kasus saya sudah kadaluarsa, karena ancaman hukumannya dibawah tiga tahun. Tetapi, katakanlah sudah kadaluarsa atau sudah dianggap selesai karena tidak cukup bukti, tapi kan saya belum menerima surat yang menyatakan kasus saya kadaluarsa atau tidak cukup bukti, atau apalah itu. seharusnya kan ada kejelasan hukum kan. Begitu juga dengan yang lain (korban kriminalisasi)," kata Usman.

PROSEDUR PENYIDIKAN KONSTITUSIONAL - Gugatan atas beberapa pasal terkait kewenangan penyidik dalam KUHAP yang diajukan Usman Hamid ke MK itu, saat ini telah mulai disidangkan. Sidang terkahir berlangsung pada Selasa (8/3) lalu. Dalam sidang tersebut, majelis hakim Mahkamah Konstitusi menghadirkan saksi dari pihak tergugat yakni pihak kepolisian dan kejaksaan.

Dalam persidangan tersebut, pihak kepolisian dan kejaksaan menegaskan, mekanisme proses prapenuntutan dalam penangan perkara pidana oleh penyidik polri maupun jaksa penuntut umum telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku alias konstitusional.

Kepala Bagian Bantuan Hukum (Kabag Bankum) Mabes Polri Kombes Agung Makbul menyatakan, pada pokok permohonannya para pemohon telah mempersoalkan sejumlah pasal dalam KUHAP terkait dengan prapenuntutan yang dinilai diskriminatif dan dianggap tidak memiliki kepastian hukum. Terkait hal itu, Agung menegaskan, dalam proses penyidikan maupun prapenuntutan, polisi sebagai penyidik hanya menjalankan ketentuan yang telah diatur dalam KUHAP.

Ia menambahkan, terkait dengan ketentuan SPDP yang dipersoalkan oleh para pemohon misalnya, itu pun sudah dilakukan dengan sebagaimana mestinya. "Itu artinya kita ketika ada satu kasus memang kita membuat surat dimulainya penyidikan. Itu yang dituntut mereka, kan katanya kita tidak membuat surat itu. Kalau kita tidak membuat SPDP itu kita tidak akan bisa memproses penyidikan dan tidak akan bisa menjadi berkas," kata Agung kepada gresnews.com usai menghadiri persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (8/3).

Selain itu, lanjutnya, ketentuan dalam Pasal 138 dan Pasal 139 KUHAP memang telah mengatur tentang mekanisme untuk melengkapi berkas penyidikan yang dilakukan oleh penyidik kepolisian kepada penuntut umum. Bolak-balik berkas perkara untuk melengkapi sesuatu yang dianggap kurang dalam proses pemeriksaan, menurutnya terjadi karena memang undang-undang mengamanatkan hal itu.

Karena itu, kata Agung, dia bingung terhadap dalil permohonan para pemohon yang menyatakan proses bolak-balik berkas perkara yang terkadang memang membuat perkara berlarut-larut itu dianggap sebagai proses yang diskriminatif dan tidak menjamin kepastian hukum. Dia menegaskan, dalam KUHAP sudah jelas diatur penyidik maupun penuntut umum memiliki kewenangan melakukan penyidikan.

Dan jika berkas penyidikan itu dinyatakan belum lengkap, maka penuntut umum dapat mengembalikan kepada penyidik agar segera dilengkapi berkas pemeriksaan sebelumnya dengan petunjuk yang diberikan oleh penuntut umum atau kejaksaan. "Jadi memang kenapa ada bolak-balik berkas itu, karena mungkin masih ada yang kurang dalam proses pemeriksaan. Mungkin karena kurang saksi, bukti, dan sebagainya. Proses itu memang tidak bisa satu kali atau dua kali selesai, kadang-kadang ada yang lebih dari tiga kali," paparnya.

Ketika dimintai pandangan dengan alasan pemohon yang menyatakan bahwa fenomena penegakan hukum yang sering membolak-balikan berkas itu dapat berdampak pada ketidakpastian status para tersangka, bahkan dapat berdampak pada kondisi ekonomi, sosial, dan politik para tersangka, Agung berkelit, hal itu bukanlah menjadi ranah MK. Sebab, ia menilai kewenangan MK adalah menangani perkara gugatan sebuah undang-undang yang dianggap bertentangan dengan konstitusi.

Menurutnya, apa yang dipersoalkan oleh pemohon terkait dengan implementasi undang-undang dan merupakan ranah pembuat undang-undang. Ia pun mengakui, bahwa dalam KUHAP itu tidak ada ketentuan atau pasal-pasal yang mengatur tentang batas waktu hingga kapan penuntut umum bisa menyatakan lengkap sebuah berkas penyidikan perkara.

"Yang ada itu kadaluarsa, misalnya ancaman kurang atau dibawah 3 tahun itu ada 6 tahun waktu kadaluarsanya. Yang ancaman lebih 5 tahun ada 18 tahun, kalau kadaluarsa itu memang ada. Tapi kalau batas waktu masalah bolak-balik berkas penyidikan itu memang tidak ada," tegasnya.

Kendati demikian, Agung mengakui, jika memang Mahkamah Konstitusi telah melihat persoalan itu merupakan salah satu kasus yang dinilai tidak menjamin kepastian hukum, menurutnya, hal ini akan dibahas bersama pimpinan Polri guna memberikan masukan dalam rencana revisi KUHAP di DPR RI nanti.

DALIL PEMOHON KELIRU – Senada dengan Polri, dalam kesempatan yang sama, Koordinator Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan Agung Eril Prima Agoes menyatakan, dalil permohonan yang diajukan pemohon yang menyatakan ketentuan P-19 menyebabkan ketidakpastian hukum merupakan dalil yang keliru dan tidak logis.

Eril menegaskan, ketentuan P-19 itu justru merupakan suatu semangat dari pemerintah khususnya aparat penegak hukum untuk memberikan jaminan kepastian hukum kepada seluruh rakyat Indonesia.

Menurut Eril, ketentuan itu memiliki semangat untuk menyempurnakan proses penanganan sebuah perkara. Sehingga, syarat P-19 itu digunakan oleh penyidik untuk melengkapi berkas permohonan perkara guna melanjutkan ke proses persidangan.  

"Hal ini menjadi sangat penting untuk memastikan apakah berkas perkara yang masuk pengadilan sudah cukup alat bukti atau tidak. Dan hal ini tentu dilakukan sesuai dengan ketentuan prinsip Negara hukum, dan semua tindakan aparat penegak hukum itu telah diatur di dalam KUHAP," kata Eril memaparkan.

Kalaupun ada suatu kasus yang mengalami perlambatan kelengkapan berkas penyidikan seperti yang didalilkan oleh para pemohon, menurut Eril, hal itu merupakan persoalan teknis yang bukan disebabkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan a quo yang dipersoalkan oleh para pemohon.

Pada dasarnya, ia menegaskan, penyidik dan penuntut umum hanya ingin memastikan berkas perkara yang dilimpahkan ke pengadilan benar-benar sudah dilengkapi dengan alat bukti yang dapat dipertanggungjawabkan dalam persidangan. "Hal ini merupakan tindakan hukum yang mencerminkan adanya kepastian hukum dan keadilan yang telah diatur dalam KUHAP," tegasnya.

BACA JUGA: