JAKARTA, GRESNEWS.COM – Mahkamah Konstitusi (MK) dinilai tengah menyalakan bom waktu dalam memangani perkara perselisihan hasil Pilkada Serentak 9 Desember 2015 lalu. Bom waktu itu berupa penetapan Pasal 158 UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada sebagai syarat legal pengajuan gugatan hasil pilkada.

Pasal 158 UU Pilkada yang mengatur tentang batas maksimal 2 persen selisih perolehan suara untuk bisa mengajukan gugatan itu, dinilai akan menjadi penyebab kegaduhan politik nasional. Pasalnya banyak gugatan yang akan gugur karena tak memenuhi syarat formil, meski kenyataannya secara materil memenuhi unsur kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif.

Ketua Perhimpunan Magister Hukum Indonesia (PMHI) Fadli Nasution mengatakan, pemberlakuan syarat legal standing sebagai syarat normatif pengajuan gugatan sengketa pilkada oleh MK itu telah mencederai prinsip konstitusi yang seharusnya dijaga oleh MK. Ia menilai, pemberlakuan Pasal 158 UU Pilkada sebagai salah satu syarat legal standing bagi MK untuk mengadili perkara sengketa pilkada itu dipastikan akan membuat kegaduhan politik ditingkat nasional, khusunya di akar rumput.

"Saat ini yang sudah terdaftar di MK ada sekitar 147 perkara gugatan pilkada. Dan saya sangat yakin jika ketentuan Pasal 158 itu tidak dijadikan sebagai salah satu syarat legal standing oleh MK, jumlah gugatan akan lebih dari itu. Jadi sebenarnya ketentuan itu telah membatasi hak-hak masyarakat yang ingin mencari keadilan dari pelaksanaan Pilkada serentak 2015 lalu," kata Fadli Nasution kepada gresnews.com usai menghadiri sebuah diskusi di Kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Senin (4/1).

Ia menambahkan, ketentuan yang diatur dalam PMK Nomor 4 Tahun 2015 itu adalah salah satu strategi MK untuk membatasi banjirnya gugatan dari pasangan calon yang ikut serta dalam pesta demokrasi kepala daerah yang dilaksanakan serentak di 264 daerah secara bersama-sama 9 Desember lalu. Ia meyakini, banyak pasangan calon yang enggan mengajukan gugatan pilkada karena terhalang oleh ketentuan Pasal 158 tentang batas maksimal selisih perolehan suara pasangan calon itu.

"Saya yakin sekali, Pasal 158 ini strategi MK untuk membatasi jumlah gugatan. Entah logika yang dibangun oleh Hakim MK itu apa? Padahal jika belajar dari pilkada atau pileg (pemilu legisltif-red) lalu, MK menyadari bahwa kecenderungan gugatan itu terjadi karena pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif, bukan angka-angka selisih suara ini," jelasnya.

Lebih jauh ia katakan, MK memiliki pengalaman panjang dalam menangani perkara sengketa pilkada. Ketika MK dipimpin oleh Hamdan Zoelva, MK mampu menyelesaikan sekitar 900-an perkara sengketa pileg hanya dengan waktu 30 hari. Ketika itu, lanjut Fadli, MK sama sekali tidak memberlakukan syarat selisih suara sebagai legal standing pemohon dalam mengajukan gugatan sengketa pemilihan.

Berbeda dengan MK hari ini, kata Fadli, dengan waktu yang lebih panjang, yaitu 45 hari kerja. Sayangnya, MK malah membuat peraturan yang membatasi pasangan calon untuk mengajukan gugatan pilkada dengan syarat normatif Pasal 158 yang mengatur selisih suara antara 0,5 persen sampai 2 persen dari jumlah penduduk di daerah pemilihan.

Hal serupa juga disampaikan Heru Widodo. Ia menilai bahwa ketentuan Pasal 158 Ayat (1) dan (2) yang dijadikan syarat formalitas MK sebagai menerima gugatan pilkada berpotensi menimbulkan dampak yang serius sebagai akibat dari pelanggaran yang tidak terkendali dalam pelaksanaan pilkada baik dari sisi pasangan calon maupun penyelenggara. Dengan demikian, ketentuan MK itu sama sekali tidak memperhatikan prinsip fair election dalam pelaksanaan Pilkada serentak Desember lalu.

"Pasal a quo telah membuka ruang bagi pasangan calon untuk melakukan pelanggaran dengan menghalalkan banyak cara untuk memperoleh suara sebanyak-banyaknya agar menghindari batas atau syarat pengajuan sengketa oleh lawannya. Dan ketetapan Pasal 158 itu telah menegasikan istilah MK sendiri yaitu adanya pelanggaran TSM," ujarnya menegaskan.

Di sisi lain, ia juga menilai ketentuan itu berpotensi untuk dimanfaatkan oleh penyelenggara untuk menghindari adanya permohonan dari pasangan calon yang merasa dirugikan dengan penetapan hasil pemilihan. "Jadi kemungkinan dengan menetapkan hasil perolehan suara selisih yang tinggi, agar tidak memungkinkan untuk dilakukan permohonan pembatalan baik oleh yang kalah atau pihak lainnya," tegasnya.

BUKAN MAHKAMAH KALKULATOR - Pada kesempatan terpisah, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan, Mahkamah Konstitusi (MK) adalah lembaga yang memiliki kewenangan dalam menangani perkara sengketa pilkada dengan mengacu pada prinsip jujur, adil, langsung, umum, bebas dan rahasia (Jurdil dan Luber) sebagaimana yang telah diamanahkan oleh konstitusi.

Ia menilai, salah satu ketentuan yang telah ditetapkan oleh MK yaitu Pasal 158 UU Pilkada tentang batas maksimal selisih perolehan suara pasangan calon menunjukan bahwa MK telah terjebak pada peraturan formalitas angka-angka semata tanpa menghiraukan prinsip pelaksanaan Pilkada secara substantif. Menurutnya, sebagai lembaga yang memiliki kewenangan menangani perkara sengketa pilkada yang bersifat final dan mengikat, MK seharusnya lebih dapat melihat perjalanan proses Pilkada di 264 daerah secara detail dan mendasar.

Dengan harapan putusan MK dalam menangani perkara sengketa pilkada yang saat ini sudah terdaftar di MK itu memperhatikan integritas para penyelenggara yang bertanggungjawab dalam pelaksanaan Pilkada 9 Desember lalu dengan kacamata yang lebih objektif secara keseluruhan.

"Dengan demikian seluruh hakim MK tidak menjadikan Mahkamah Konstitusi (MK) itu sebatas Mahkamah Kalkulator (MK) semata," kata Titi lewat pesan singkat yang diterima gresnews.com, Senin (4/12).

Praktisi Hukum yang juga Dosen Fakultas Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Andi Syafrani juga berpandangan sama. Ia menilai, Pasal 158 Ayat (1) dan (2) UU Pilkada yang mengatur secara eksplisit batas selisih perolehan suara yang dijadikan acuan oleh MK dalam pengajuan gugatan pilkada merupakan ketentuan yang membatasi MK hanya pada wilayah angka-angka semata. MK gagal memperhatikan potensi pelanggaran yang terstruktur, sistematis dan masif dalam proses Pilkada Serentak 9 Desember 2015 lalu.

Lebih jauh ia katakan, MK harus lebih fleksibel dalam menangani perkara sengketa hasil pilkada yang saat ini sudah tembus ke angka 147 gugatan. Fleksibilitas MK dalam menangani sengketa Pilkada dengan tanpa terjebak pada batas selisih perolehan suara yang iatur dalam Pasal 158, menurut Andi dapat meningkatkan kewibawaan MK sebagai lembaga yang memiliki kredibilitas serta integritas dalam menangani sengketa pemilu di Indonesia.

"Jadi peran Mahkamah itu untuk memproses sengketa pilkada dengan mengacu pada konstitusi untuk mengawal ruang demokrasi tanpa membatasi selisih suara dengan Pasal 158 yang hanya berpatokan dengan angka-angka saja," ujarnya.

Ia berharap agar dalam tahap persidangan perkara sengketa Pilkada 7 Januari mendatang, MK dapat memperhatikan adanya laporan atau temuan pelanggaran yang terjadi dalam pelaksanaan Pilkada Serentak 9 Desember lalu. Hal itu sangat penting dilakukan oleh lembaga yang khusus menangani perkara konstitusi seperti MK untuk lebih mengedepankan pada prinsip keadilan serta konstitusionalitas yang selama ini menjadi tanggung jawab MK.

"Kalau nanti MK tetap mengklasifikasikan perkara yang masuk hanya berdasarkan Pasal 158 ini, artinya betul, bahwa MK hanya sebatas mahkamah kalkulator, bukan Mahkamah Konstitusi lagi. Dan ini sangat berbahaya untuk kehidupan demokrasi," tegasnya.

JOKOWI HARUS KELUARKAN PERPPU – Pengamat Kebijakan Publik dan Hukum Universitas Jambi Jack Yanda Zaihifni Ishak mengatakan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) harus hadir menjawab polemik batasan selisih perolehan suara yang telah dijadikan acuan oleh MK dalam menangani perkara sengketa pilkada. Menurut Jack, langkah MK yang menjadikan Pasal 158 sebagai syarat sah gugatan sengketa pilkada telah menegasikan adanya pelanggaran yang luar biasa selama pelaksanaan Pilkada serentak 9 Desember lalu.

Ia mengisahkan, dirinya bersama beberapa praktisi hukum lainnya pernah mengajukan Judicial review Pasal 158 UU Pilkada sekitar awal tahun 2015 lalu. Ketika itu MK menolak judicial review yang diajukan dengan alasan Pasal 158 UU Pilkada itu merupakan open legal policy atau produk DPR RI dan Pemerintah yang telah ditentukan dengan proses politik di parlemen.

Dia menyarankan kepada Presiden Jokowi untuk hadir menjawab polemik yang saat ini menjadi penghalang bagi pasangan calon Pilkada untuk mencari keadilan di MK. "Saya kira dalam kondisi seperti ini Presiden harus hadir menjawab ini semua. Jokowi harus melakukan sesuatu agar persoalan ini tidak semakin menjadi-jadi. Jokowi harus mengeluarkan Perppu agar MK tidak berpatokan dengan Pasal 158 yang hanya mempersoalkan angka-angka semata itu," katanya.

Jack menambahkan, ketetapan Pasal 158 UU Pilkada yang dijadikan acuan oleh MK sangat menghambat para pencari keadilan dalam proses pelaksanaan pilkada serentak lalu. Ia menggambarkan, bobroknya sistem proses pilkada serentak Desember lalu dapat tercermin dalam keputusan DKPP yang telah banyak memecat penyelenggara pemilu di berbagai daerah. Jack menyimpulkan, gambaran tersebut seharusnya dapat dijadikan pertimbangan oleh MK dalam syarat mengadili perkara sengketa PHPKada yang saat ini tengah masuk tahap verifikasi 9 hakim MK.

"Kita kan tahu, berapa jumlah penyelenggara pemilu yang terbukti melakukan pelanggaran dan dipecat oleh DKPP kemarin. Ini kan membuktikan bahwa masih ada persoalan yang lebih substansial dalam pelaksanaan pilkada dari pada angka-angka ini. Harusnya MK memperhatikan itu, tidak hanya dengan angka-angka yang ditetapkan pasal 158 itu," ujarnya.

Praktisi Hukum UIN Syarif Hidayatullah Andi Syafrani pun sependapat dengan gagasan itu. Ia menilai kehadiran Presiden Jokowi sangat diperlukan dalam mengatasi potensi kegaduhan politik yang disebabkan oleh MK ini.

Ketika disinggung seberapa urgen Jokowi harus mengeluarkan Perppu, ia berpendapat Perppu untuk menjawab polemik batas selisih perolehan suara pada penanganan sengketa pilkada oleh MK ini sangat penting. Menurutnya, batasan selisih perolehan suara yang dijadikan acuan dasar bagi MK dalam menerima perkara pilkada itu sangat berpotensi menimbulkan gejolak bagi masyarakat pendukung pasangan calon yang tidak dapat diberikan kesempatan untuk membuktikan pelanggaran pilkada yang terjadi secara TSM di MK.

"147 pemohon itu memiliki pendukung masing-masing. Aspek itu juga menjadi sangat penting untuk diperhatikan oleh Jokowi. Memang keriuhan saat ini tidak terlihat dan seperti tidak terjadi apa-apa. Saat ini situasinya sudah sangat mendesak, saya pikir Perppu dapat dikeluarkan oleh Presiden untuk menjawab kegundahan jutaan orang yang mendukung pasangan calon yang saat ini mengajukan gugatan di MK. Saya kira Presiden harus mengambil langkah antisipasi agar tidak terjadi kegaduhan politik secara nasional yang disebabkan hanya dengan alasan angka-angka selisih perolehan suara yang tidak substantif itu," pungkasnya. (Gresnews.com/Rifki Arsilan)

BACA JUGA: