JAKARTA, GRESNEWS.COM - Skandal makelar perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia yang diduga melibatkan Ketua DPR Setya Novanto, mulai didorong kearah ranah hukum. Dalam kasus yang diindikasikan terjadi pencatutan nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla itu semakin menguat dilanjutkan ke proses hukum.

Indikasi itu diperkuat dengan kedatangan staf khusus Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Said Didu ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hanya saja Said enggan berterus terang terkait kedatangannya ini ke lembaga anti rasuah itu.

Ia berdalih, hanya mampir di gedung KPK. "Oh saya cuma mau mampir merokok, enggak (menyerahkan data), hanya mampir mau merokok," ujar Said, Jumat (20/11).

Namun dari informasi yang diperoleh wartawan, kedatangan Said diketahui untuk melaporkan dan menyerahkan data-data kepada tim Pengaduan Masyarakat (Dumas) KPK. Tetapi, belum diketahui secara pasti perkara apa yang dilaporkannya.

Pelaksana Harian Kepala Biro Humas KPK Yuyuk Andriati yang dikonfirmasi wartawan mengakui hal itu. "Memang ketemu Dumas, agendanya saya belum dapat info," tuturnya

Sementara itu salah satu Pelaksana tugas pimpinan KPK Indriyanto Seno Adji saat dikonfirmasi mengatakan pihaknya tidak dapat menentukan apakah kasus pencatutan nama yang diduga dilakukan Setya Novanto itu masuk ranah KPK.

Indriyanto memilih untuk menunggu ada laporan yang masuk ke lembaganya. "Semua ini belum diterima oleh kami, data dan dokumen yang dapat digunakan sebagai alat bukti sehingga kami tidak dapat memberi pendapat tentang masuk ranah tidaknya ke KPK," kata Indriyanto kepada gresnews.com.

Namun, pernyataan berbeda dilontarkan pimpinan KPK lainnya, Zulkarnain. Menurut Zul, KPK mempunyai dua opsi, yaitu menindaklanjuti hal itu karena memang tidak termasuk delik aduan, atau menunggu adanya laporan yang masuk serta data-data untuk menunjang kasus tersebut.

"KPK bisa saja langsung menindaklanjuti, bisa juga menunggu data-data laporan yang masuk," kata Zul di tengah-tengah acara ramah tamah dengan wartawan di kawasan Bogor, Jawa Barat, Jumat (20/11) malam.

Namun, Zulkarnain enggan berkomentar lebih jauh mengenai hal ini. Meskipun begitu, Zul berjanji akan menelaah dugaan kasus ini terlebih dahulu dan juga mencari informasi dari berbagai sumber. "Dari hasil analisa baru didapat fakta yang sebenarnya," sebut Zul.

Menanggapi kedatangan Said Didu ke KPK,  Zul, mengatakan pihaknya akan menerima berbagai pengaduan dengan melihat aturan hukum yang ada. Menurut Zul, dugaan pencatutan nama yang dilakukan Setya Novanto mempunyai dua potensi aturan, yaitu pelanggaran kode etik, dan juga pidana.

ATURAN YANG BISA JERAT NOVANTO - Setya Novanto, dalam transkip percakapan meminta sejumlah saham PT Freeport yang diklaim diperuntukkan Presiden Joko Widodo dan juga Wakil Presiden Jusuf Kalla sebagai pemulus proses negosiasi kontrak pertambangan di Papua.

Menurut catatan gresnews.com, KPK juga pernah menangani kasus dugaan korupsi dengan meminta sejumlah saham yang dilakukan penyelenggara negara kepada pihak swasta. Salah satunya kasus korupsi yang melibatkan Syahrul Raja Sampurnajaya.

Mantan Ketua Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) ini memeras ketua Asosiasi Pialang Berjangka Indonesia (APBI) I Gede Raka Tantra dan Ketua Ikatan Perusahaan Pedagang Berjangka Indonesia (IP2BI) Fredericus Wisnubroto sebesar Rp1,675 miliar.

Ia meminta uang melalui direktur utama PT BBJ Made Sukarwo dan direktur utama PT Kliring Berjangka Indonesia untuk disampaikan kepada Gde Raka dan Fredericus. Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi dalam amar putusannya juga menyatakan Syahrul terbukti melakukan tindak pidana pemerasan.

Pasal yang dikenakan kepada Syahrul yaitu Pasal 12 a, b, dan e Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemerasan.

Dimana bunyi pasal tersebut, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar
a.    pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;
b.    pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.

BACA JUGA: