JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kejaksaan Agung tengah mengambil ancang-ancang untuk melakukan eksekusi uang pengganti yang wajib dibayar oleh PT Indosat Mega Media (IM2) sebesar Rp1,3 triliun dalam kasus korupsi jaringan pita frekuensi 3G. Eksekusi bisa dilakukan setelah peninjauan kembali yang diajukan mantan Direktur Utama PT Indosat Mega Media (IM2) Indar Atmanto, ditolak Mahkamah Agung.

Dengan ditolaknya PK Indar, tak ada alasan bagi Kejaksaan Agung untuk melakukan eksekusi atas uang tersebut. Terkait kasus ini, Indar dipidana dengan hukuman penjara delapan tahun dan denda Rp300 juta subsider 6 bulan kurungan oleh MA.

MA juga menghukum PT Indosat dan IM2 membayar uang pengganti sebesar Rp1,3 triliun berdasar putusan Mahkamah Agung (MA) No 787K/PID.SUS/2014, tanggal 10 Juli 2014. Atas putusan itu, Indar pun mengajukan PK, namun ditolak MA.

"Menolak permohonan kuasa pemohon Dodi Kadir atas termohon Indar Atmanto," demikian dilansir panitera MA, Rabu (4/11).

Putusan ini diketok oleh hakim agung M Saleh yang juga Wakil Ketua MA bidang Yudisial. Duduk sebagai anggota majelis PK yaitu Abdul Latief dan hakim agung HM Syarifuddin. Vonis ini diketok pada 20 Oktober lalu dengan nomor perkara 77 PK/Pid.Sus/2015.

Kasus yang menjerat Indar ini bermula dari adanya kerjasama penyelenggaraan internet di frekuensi 2,1 giga hertz (Ghz) antara Indosat dengan IM2. Saat itu, Indar bertindak sebagai direktur utama IM2.

Belakangan kerjasama ini dinilai merugikan negara lantaran IM2 dinilai telah menggunakan frekuensi tersebut tanpa membayar kepada negara. Kasus ini dilaporkan oleh Denny AK, yang ketika itu mengatasnamakan Lembaga Swadaya Masyarakat Konsumen Telekomunikasi Indonesia (LSM KTI).

Denny melaporkan kasus ini ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Barat pada 6 Oktober 2011. Kasus ini kemudian menjadi kontroversial ketika ternyata Denny ketahuan melakukan pemerasan kepada Indosat. Denny kemudian dinyatakan bersalah dan dihukum penjara 1 tahun 4 bulan.

Sejak awal, banyak yang menilai kasus ini dipaksakan. Pasalnya pihak Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) menyatakan bahwa IM2 tidak melanggar UU No. 36 Tahun 1999 tentang telekomunikasi.

Kerjasama yang terjadi antara Indosat dan IM2 menurut mereka bukan bukan kerjasama pemanfaatan spektrum frekuensi seperti dalam Pasal 14 dan 15 PP53/2000 melainkan kerjasama antara penyelenggara jasa (IM2) dan penyelenggara jaringan (Indosat).

Alasan ini rupanya tak menggoyahkan pihak Kejaksaan Agung untuk menyidik kasus tersebut. Bahkan kemudian Kejaksaan Agung pada November 2012 mengumumkan adanya kerugian negara sebesar Rp1,3 triliun dari kerjasama itu. Tak lama, Indar ditetapkan sebagai salah satu tersangka kasus ini dan kasusnya terus bergulir hingga ke tingkat PK.

EKSEKUSI PUTUSAN - Pasca putusan MA, bola kini ada di tangan Kejaksaan Agung. Ketegasan Kejagung layak ditunggu mengingat selama ini lembaga yang menaungi korps adhyaksa itu terkesan ragu-ragu untuk mengeksekusinya.

Saat masih menjabat sebagai Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus), R Widyopramono pernah mengatakan, pihaknya mengambil langkah hati-hati karena Indar tengah mengajukan PK. Dan juga masih adanya dua putusan yang berbeda atas kasasi yang diajukan Indar dan BPKP.

Widyo sendiri ketika itu mengaku optimis PK Indar bakal ditolak MA. "Optimis, kita sangat optimis ditolak (MA)," katanya.

Optimisme Widyo tersebut didasarkan pada keyakinan telah terjadinya tindak pidana korupsi dalam perkara tersebut dan semua telah dirumuskan dalam memori PK oleh tim jaksa penuntut umum.

Kini, dengan adanya putusan MA yang menolak PK Indar, maka tak ada lagi dualisme keputusan. Yang artinya, Kejaksaan Agung harus segera melaksanakan putusan MA untuk mengeksekusi uang pengganti tersebut.

Pakar hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Muzakkir mengatakan, dengan ditolaknya PK Indar tersebut Kejaksaan Agung harus menjalankan putusan MA melakukan eksekusi badan dan lainnya.

"Tidak ada alasan lain, sudah punya kekuatan hukum, harus dieksekusi," kata Muzakkir kepada gresnews.com, Selasa (4/11).

Muzakkir berharap Kejaksaan Agung tak ragu untuk mengambil langkah tegas atas putusan MA tersebut. "Eksekusi uang pengganti harus dilakukan demi penegakan hukum," katanya.

Dengan demikian, eksekusi pembayaran uang pengganti sebesar Rp1,3 triliun dalam kasus korupsi IM2 ini dapat segera dilakukan dan disetor ke kas negara.

Meski begitu, seperti dikatakan Widyo, Kejagung tetap akan mengambil langkah hati-hati dengan mengajak banyak pihak untuk membicarakannya. Hal serupa, kata dia, dilakukan saat melakukan eksekusi atas uang pengganti PT Asian Agri Grup yang divonis membayar Rp2,5 triliun terkait masalah pajak.

TERSANGKA LAIN - Selain eksekusi uang pengganti, Kejagung sebenarnya juga masih punya utang lain dalam perkara ini. Pasalnya, selain Indar, masih ada empat berkas tersangka lain, yang sudah dua tahun mangkrak di Gedung Bundar.

Perkara itu adalah atas nama korporasi PT Indosat Tbk, PT IM2 dan mantan Dirut PT Indosat Johnny Swandy Sjam dan Hari Sasongko. Dua tersangka terakhir, sampai kini tidak dikenakan status penahanan seperti 56 tersangka kasus korupsi lain dan menghuni Rutan Salemba cabang Rutan Kejagung. Mereka juga tidak dikenakan status pencegahan bepergian ke luar negeri.

Tak tegasnya Kejagung menuntaskan kasus korupsi IM2 membuat kecewa para pegiat antikorupsi. Salah satunya Ketua Forum Advokasi untuk Keadilan dan Demokrasi (Fatkadem) Erman Umar.

Erman mengkhawatirkan kelambanan Kejagung dalam menyikapi perkara ini akan mengulang lagi kasus yang sama, seperti kasus Mantan Dirut PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI) Sudjiono Timan.

Kejaksaan terkesan lamban menangani kasus ini sehingga saat putusan kasasi jaksa diterima dan vonis 15 tahun penjara untuk Sudjiono Timan sudah berkekuatan hukum tetap, namun pihak swasta terkait tidak dijadikan tersangka sama sekali.

"Begitu pula dalam perkara Chevron (Bioremediasi), sejak Bachtiar Abdul Fatah dan kawan kawan dinyatakan bersalah dalam putusan kasasi. Kejagung belum sentuh unsur pemerintahnya (BP Migas dan Kementerian Lingkungan Hidup)," kata Erman.

BACA JUGA: