JAKARTA, GRESNEWS.COM - Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) mengajukan judicial review terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 36/2015 tentang Tenaga Kesehatan (Nakes) kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Selain KKI, para pemohon dalam perkara yang teregistrasi dengan nomor 82/PUU-XIII/2015 ini adalah Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Pengurus Besar Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PB PDGI), dan lain-lain.

Dalam pokok permohonannya, para Pemohon merasa terlanggar dengan beberapa pasal dalam UU Tenaga Kesehatan. Diantaranya Pasal 1 angka 1 dan angka 6; Pasal 11 Ayat (1) huruf a dan huruf m; Pasal 11 Ayat (2) dan Ayat (14); Pasal 12; Pasal 21 Ayat (1), Ayat (2), Ayat (3), Ayat (4), Ayat (5) dan Ayat (6); Pasal 34 Ayat (1), Ayat (2), Ayat (3), dan Ayat (5), yang mengatur mengenai tenaga kesehatan.

Selain itu, para Pemohon juga mempersoalkan konstitusionalitas Pasal 35; Pasal 36; Pasal 37; Pasal 38; Pasal 39; Pasal 40; Pasal 41; Pasal 42; Pasal 43; Pasal 90; serta Pasal 94, yang mengatur Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia (KTKI). Menurut para Pemohon, terdapat kesalahan konsepsional dan paradigmatik mengenai tenaga medis dalam UU Tenaga Kesehatan.

Alasannya, UU Tenaga Kesehatan seharusnya membedakan antara tenaga profesi di bidang kesehatan (dokter dan dokter gigi) dengan tenaga vokasi (misalnya teknisi gigi). Selain itu, para Pemohon juga menggugat ketentuan yang mengatur mengenai pembentukan KTKI.

Menurut Pemohon, peleburan Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi ke dalam KTKI telah menurunkan derajat para dokter. Para dokter memang sepertinya sedikit gengsi profesinya disamakan dengan tenaga vokasi kesehatan dalam beleid ini.

Berdasarkan UU Tenaga Kesehatan, KTKI tidak memiliki fungsi pengawasan, penegakan disiplin dan penindakan tenaga kesehatan. Para Pemohon menilai, KTKI sebagai pengganti KKI telah kehilangan independensinya, sebab saat ini KTKI tidak lagi bertanggung jawab langsung kepada Presiden melainkan melalui Menteri Kesehatan.

Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia Marius Widjajarta mengatakan, KKI yang selama ini berjalan independen perlu dipertahankan sebab adanya lembaga baru seperti KTKI bakal berpotensi menghadirkan intervensi dan tumpang tindih terhadap Undang-Undang Praktik Kedokteran Nomor 29 Tahun 2004.

Tidak hanya itu, lembaga yang diusulkan Kementerian Kesehatan tersebut disinyalir tidak independen karena bertanggung jawab kepada presiden melalui menteri yang dapat mengintervensi keputusan KTKI. Menurut Marius, hal tersebut akan melunturkan kepastian dan proses hukum yang selama ini ditegakkan KKI melalui Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) dalam upaya menindak oknum dokter yang melanggar kegiatan praktik pelayanan kesehatan kepada masyarakat.

"Tentunya, dengan adanya lembaga baru, masyarakat sebagai konsumen akan dirugikan. Misalnya, ada upaya penghindaran dan pembelaan ketika terjadi klaim pengaduan masyarakat terhadap pelayanan dokter yang tidak sesuai aturan kedisiplinan profesinya," kata Marius kepada gresnews.com, Rabu (28/10).

Menurutnya, dari sisi hukum bakal terjadi kejanggalan, ketika oknum dokter yang melakukan pelanggaran tidak puas terhadap putusan MKDKI yang selama ini menangani masalah pasien. "Karena ada Kemenkes nanti kasusnya bisa naik banding lagi. Takutnya, MKDKI digunduli. Kalau sekarang bisa dilaporkan ke Kemenkes, ini kan aneh," kata dia.

Marius menjelaskan, selama ini tugas dan fungsi MKDKI sudah berjalan tegak dan baik. Dengan adanya kehadiran lembaga baru, artinya kemungkinan dimulai dari awal penerapan dengan berbagai aturan baru.

KTKI RANCU - Marius menilai, adanya dua UU yang mengatur profesi dokter yaitu UU Tenaga Kesehatan dan UU Praktik Kedokteran membuat suasana menjadi rancu. Dalam penanganan kasus misalnya, bisa terjadi dualisme atau dilema apakah pasien yang merasa dirugikan dengan layanan kesehatan akan mengadu ke Konsil Kedokteran Indonesia melalui MKDKI atau KTKI.
Jalan tengah, menurutnya, harus diatur secara baik dan benar agar masyarakat tidak dirugikan.

Dia menilai selama ini, keberadaan MKDKI sudah berpihak kepada para pasien dalam kasus dimana terjadi kesalahan atau malpraktik yang dilakukan dokter kepada pasien. MKDKI dalam kasus seperti ini, berwenang mencabut Surat Keterangan Registrasi (SKR) kegiatan praktik pihak bersangkutan akibat kesalahan atau pelanggaran terhadap pasien.

Ia menjelaskan, dengan adanya MKDKI, sudah banyak oknum-oknum dokter tidak benar yang dicabut izin registrasi praktiknya dan disekolahkan untuk mendalami keahlian dan kompetensinya. "Aturan lama ya dilanjutkan saja, kalau untuk tenaga kesehatan silahkan kalau untuk dokter sudah tidak perlu," tegasnya.

Hal ini, kata dia, bisa kembali mundur jika dibentuk konsil lain semacam Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia. Keberadaan dua konsil tentunya akan membuat pasien yang merasa dirugikan dengan layanan kesehatan akan kebingungan untuk mempercayai yang mana.

Terkait hal ini, selama ini UU yang berlaku memang hanya terkait praktik kedokteran. Sementara profesi tenaga kesehatan belum ada lembaga yang mengawasi secara profesional. Meski begitu, langkah Kemenkes untuk menggabungkan aturan kedokteran ke dalam UU tenaga kesehatan tidak bisa diterima.

Dengan adanya, KTKI dan lahirnya UU Tenaga Kesehatan yang baru, Marius mengkhawatirkan, profesi kesehatan yang terdiri dari profesi bidan, perawat, apoteker terpecah-belah. Sebab, hal tersebut bakal sulit dihadapi karena menurutnya, selama ini profesi-profesi tersebut saling terkait dan membutuhkan.

"Selama ini tidak ada pihak yang mau mendominasi namun bekerjasama memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat," ujarnya.

Marius menjelaskan, penerapan aturan di level birokrasi kesehatan terkesan rumit dimana UU Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 terdiri dari beberapa aturan. Sementara, sebelumnya, UU Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992 semua terintegrasi.

"Kalau sekarang setiap profesi mau buat UU sendiri, UU Praktik Kedokteran, UU Keperawatan, UU Tenaga Kesehatan. Aturan mana yang mau dilaksanakan sementara semua kedudukannya sama sebagai UU," kata Marius.

KTKI SEBAGAI KOORDINATOR - Terkait permasalahan ini, sesuai aturan UU Tenaga Kesehatan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) telah menjadi bagian dari Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia (KTKI). Karena itu KKI bukan lagi sebagai lembaga negara. Hal ini sesuai dengan kesepakatan antara Pemerintah yang diwakili Menteri Kesehatan dengan DPR, dalam pembahasan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan (UU Tenaga Kesehatan).

Dalam keterangannya atas gugatan yang diajukan KKI atas UU Tenaga Kesehatan, Anggota Komisi III I Putu Sudiartana mewakili DPR menjelaskan, KTKI berfungsi sebagai koordinator konsil tenaga kesehatan yang bertugas untuk melakukan evaluasi tugas dan membina serta mengawasi konsil-konsil tenaga kesehatan.

Sudiartana menjelaskan, pembentukan KTKI didasarkan pada pemikiran dari pembentuk undang-undang, yaitu membentuk suatu lembaga yang menghimpun seluruh konsil tenaga kesehatan, antara lain KKI dan Konsil Keperawatan. "Konsil Tenaga Kesehatan bertanggungjawab kepada Presiden melalui Menteri, Pasal 34 Ayat (5) Undang-Undang Tenaga Kesehatan. Dengan demikian KKI menjadi bagian dari Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia, Pasal 34 Ayat (3) Undang-Undang Tenaga Kesehatan," terangnya, beberapa waktu lalu.

Dalam UU tentang Tenaga Kesehatan memang disebutkan KTKI adalah lembaga yang melaksanakan tugas secara independen yang terdiri atas konsil masing-masing tenaga kesehatan. Sesuai keterangan Kementerian Kesehatan, dalam Rencana Pengembangan Tenaga Kesehatan Tahun 2011-2025, dikabarkan ada tiga belas jenis kategori tenaga kesehatan.

Mereka adalah: dokter spesialis, dokter umum, dokter gigi, perawat, bidan, perawat gigi, apoteker, asisten apoteker, sanitarian, tenaga gizi, tenaga kesehatan masyarakat, tenaga keterapian fisik, dan tenaga keteknisian medis.

Lebih lanjut, Sudiartana menerangkan pembentukan KTKI justru memberikan perlindungan kepada masyarakat dalam menerima penyelenggaraan kesehatan sebagaimana diamanatkan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945. "Hal ini dikarenakan salah satu tugas dari KTKI melakukan pengawasan terhadap konsil masing-masing tenaga kesehatan," tambahnya.

Sementara itu, pihak pemerintah yang diwakili Staf Ahli Menteri Kesehatan Bidang Medikolegal Tri Tarayati menerangkan, UU Tenaga Kesehatan dibentuk guna meningkatkan kualitas dan pemenuhan atas kebutuhan pelayanan kesehatan masyarakat. UU Tenaga Kesehatan justru telah memberikan jaminan kepastian hukum baik secara yuridis maupun konstitusional, yaitu dengan cara mengatur dan mengelompokkan jenis-jenis tenaga kesehatan baik yang sudah ada atau yang belum ada demi memberikan perlindungan dan kepastian hukum.

Pembentukan KTKI, ujar Tri, merupakan wadah tunggal bagi konsil-konsil yang dilakukan dalam rangka efisiensi, efektifitas dan untuk mencegah pembentukan berbagai konsil yang masing-masing bertanggung jawab ke Presiden. "Dengan Undang-Undang Nakes dan Undang-Undang Keperawatan akan terbentuk setidaknya empat konsil, yaitu Konsil Kedokteran, Konsil Kedokteran Gigi, Keperawatan dan Konsil Kefarmasian," kata Tri.

BACA JUGA: