JAKARTA, GRESNEWS.COM - Mahkamah Konstitusi (MK) telah membuat keputusan terkait uji materi Pasal 245 UU MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3). Lewat putusan itu, pemeriksaan anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang terkena masalah hukum, bisa dilakukan aparat penegak hukum baik Kepolisian, Kejaksaan maupun KPK setelah mendapatkan izin dari Presiden. Sebelumnya, pasal itu mensyaratkan izin diberikan oleh Majelis Kehormatan Dewan (MKD).

Keputusan MK ini pun disayangkan banyak pihak dan dinilai tidak mencerminkan keadilan dan terkesan memperlambat proses pemeriksaan anggota DPR yang bermasalah hukum oleh para penegak hukum. MK pun dianggap gagal menjadi garda terakhir penegakan hukum di Indonesia.

Prosedur serupa juga berlaku kepada kepala daerah. Penegak hukum seakan dipersulit karena jika melakukan pemanggilan kepada mereka harus atas izin dari Menteri Dalam Negeri yang membawahi para Kepala Daerah.

Kritik keras disampaikan politikus PDIP Masinton Pasaribu yang menilai putusan ini akan membuat proses penyidikan akan semakin berbelit-belit. Selain itu, kata dia, putusan MK ini juga menambah beban tugas Presiden yang sudah bejibun.

"Tugas presiden pasti tambah, tapi ini seperti pingpong. Tahun 2012 pernah dibahas. Permintaan pemeriksaan DPR yang sebelumnya melalui izin presiden lalu dibatalkan MK," ujar Masinton di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (25/9).

Dia mengkhawatirkan, putusan MK ini tidak sama dengan tata konsolidasi demokrasi di Indonesia. Salah satunya yang menjadi polemik adalah masalah petahana di Pilkada. "Saya khawatir putusan MK ini tak senafas tentang konsolidasi demokrasi. Misalnya bolehkan keluarga petahana. Ini ke depan harus teliti, hati-hati, tidak bisa pakai kacamata kuda," ujar Masinton.

Menurutnya berbeda bila izin lewat MKD dengan Presiden. Ia menilai dengan Presiden justru akan lebih njelimet karena faktor birokrasi. "Kalau di MKD kan bisa dipantau bersama dan langsung. Tapi, sekarang syarat administrasi pasti sulit karena birokrasi jelimet. Saya bingung dengan putusan MK ini," tuturnya.

Putusan MK itu memang dinilai fatal. Pasalnya, selain mengubah prosedur izin dari MKD ke Presiden, MK tidak menghapus Pasal 245 Ayat (2) yang masih menyebutkan kewenangan MKD. Pasal itu menyebutkan: "Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) tidak diberikan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan paling lama 30 hari terhitung sejak diterimanya permohonan, pemanggilan, dan permintaan keterangan untuk penyidikan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dapat dilakukan."

Hal ini dinilai akan membingungkan. "Dampak kekurangan dalam amar putusan ini maka saat ini ada 2 norma yang berbeda dan kontradiktif. Pertama, pemeriksaan harus izin presiden dan kedua, harus seizin Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD)," kata ahli hukum tata negara Dr Bayu Dwi Anggono.

PENEGAK HUKUM PASRAH - Terlepas dari kontradiksi tersebut, penegak hukum sendiri mengambil sikap pasrah menjalankan apa yang sudah diputuskan MK. Kapolri Jenderal Polisi Badrodin Haiti mengaku tidak bisa berbuat banyak. Terlebih lagi, MK telah memutuskan hal ini, yaitu pemanggilan anggota DPR harus melalui persetujuan presiden, dan Kepala Daerah harus melalui Menteri Dalam Negeri.

Badrodin mengatakan akan menghormati keputusan tersebut. "Itu sudah menjadi keputusan Mahkamah Konstitusi dan itu merupakan hal yang final tentu harus kita laksanakan," ujar Kapolri, Jumat (25/9).

Badrodin, belum mau berkomentar apakah putusan itu akan mempengaruhi proses hukum seperti dalam penyelidikan dan penyidikan. Pihaknya akan mengkaji hal ini terlebih dahulu.

Sementara itu, dikonfirmasi terpisah Kepala Biro Penerangan Mabes Polri Brigjen Polisi Agus Rianto secara tak langsung mengakui bahwa putusan ini bisa memperlambat proses hukum. Pasalnya, pihak kepolisian tentu membutuhkan waktu yang lebih lama jika memanggil anggota dewan dan kepala daerah. "Untuk waktu memang ada penambahan dalam prosesnya," ujar Agus kepada gresnews.com, Sabtu (26/9).

Meskipun begitu, Agus berpendapat bahwa putusan ini sebenarnya bukanlah pertama kali. Sebelumnya Mahkamah Agung juga telah mengeluarkan surat edaran Nomor 09 Tahun 2009 yang memang mirip dengan keputusan MK ini.

Dalam surat edaraan itu, para anggota MPR, DPR dan DPD yang diduga melakukan tindakan pidana maka pemanggilan permintaan keterangan dan penyidikannya harus mendapat persetujuan tertulis dari presiden.

Kemudian Anggota DPRD provinsi yang diduga melakukan tindakan pidana maka pemanggilan permintaan keterangan dan penyidikannya harus mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri atas nama presiden.

Sedangkan untuk Kabupaten/Kota, pemanggilan keterangan juga harus ijin tertulis dari Gubernur atas nama Menteri Dalam Negeri. Tetapi dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) itu, hal ini tidak berlaku jika yang bersangkutan terlibat tindak pidana khusus seperti korupsi, terorisme, ataupun tertangkap tangan.

"Dalam Surat Edaran Ketua MA No 09 tahun 2009 hal itu juga sudah diatur hanya dikecualikan jika diduga melakukan tindak pidana korupsi, teroris, pidana dengan ancaman hukuman mati dan tertangkap tangan. Nah keputusan MK tsb apakah sama dengan SE tadi atau berbeda tentunya kita lihat nanti lengkapnya," ujar Agus.

Sikap serupa juga diambil oleh Kejaksaan Agung. Dikonfirmasi terpisah, Kepala Pusat Penerangan Kejaksaan Agung Amir Yanto tidak berkomentar banyak mengenai hal ini. Amir mengaku pasrah atas apa yang diputuskan para hakim di Mahkamah Konstitusi. "Ini kan sudah final, sudah diputuskan ya kita hormati," pungkas Amir kepada gresnews.com, Sabtu (26/9).

Sama halnya ketika ditanya apakah perkara ini mempengaruhi proses penyidikan yang dilakukan Kejaksaan, Amir juga enggan mengatakan lebih jauh. Menurutnya para anggota DPR dan kepala daerah yang diduga tersangkut kasus hukum, diharapkan juga taat akan hukum yang berlaku. "Saya rasa enggak berpengaruh banyak ya. Kita yakin kok mereka (anggota DPR dan Kepala Daerah) taat hukum," tuturnya.

Amir juga mengatakan, pihaknya hingga saat ini tidak melakukan koordinasi dengan Mahkamah Agung. Sebabnya, ia menilai putusan itu sudah sah dan tidak melanggar hukum, sehingga pihaknya tidak mungkin mengintervensinya.

TAK HAMBAT PENYIDIKAN - Terkait putusan ini, Presiden Joko Widodo sendiri mengaku tidak akan menghambat proses perizinan pemeriksaan anggota dewan yang terangkut masalah hukum. Sekretaris Kabinet Pramono Anung menegaskan, Jokowi tidak akan menggunakan izin tersebut untuk menghalangi proses hukum terhadap para legislator di Senayan itu. "Presiden menjamin pemberian izin tersebut tidak akan digunakan untuk menghalang-halangi proses penegakan hukum," kata Pramono.

Hal senada juga disampaikan Kepala Staf Presiden Teten Masduki. Dia menegaskan bahwa Presiden Jokowi akan permudah proses penegakan hukum. "Presiden jelas visi beliau dalam penegakan hukum, pemberantasan korupsi itu sudah jelas. Sehingga nanti para anggota dewan yang terkena kasus hukum, Presiden tak akan buat persulit proses hukum," kata Teten di Istana Negara, Jl Veteran, Jakarta Pusat, Jumat (25/9/2).

Teten kemudian mencontohkan soal pencalonan pimpinan KPK yang juga ada ketentuan mengenai penunjukan oleh Presiden. Meski secara regulasi pencalonan pimpinan KPK dilakukan Presiden, tetapi Jokowi sama sekali tak mengintervensi hal tersebut. "Artinya terus diberi kemudahan. Bukan berarti kalau harus dapatkan izin Presiden lalu mempersulit," imbuh Teten.

Selain jaminan dari Presiden, penegak hukum juga sebenarnya mendapatkan jaminan dari UU itu sendiri untuk bisa memeriksa anggota dewan yang bermasalah hukum. UU MD3 menjamin dalam kasus-kasus tertentu, anggota dewan bisa diperiksa langsung tanpa meminta izin Presiden.

Berdasarkan Pasal 245 Ayat (3) UU MD3, anggota dewan bisa diperiksa langsung karena beberapa hal: a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana; b. disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup; atau c. disangka melakukan tindak pidana khusus.

Sementara itu tindak pidana khusus yang dimaksud dalam poin (c) adalah: a. Tindak Pidana Korupsi Tindak Pidana Pencucian Uang, b. Tindak Pidana Narkotika, c. Tindak Pidana Pembalakan Hutan secara Liar (Illegal Logging), dan d. Tindak Pidana di Bidang Perpajakan.

Selain itu ada juga tindak pidana seperti: e. Tindak Pidana di Bidang Perikanan (Illegal Fishing), f. Tindak Pidana di Bidang Perbankan, g. Tindak Pidana di Bidang Pasar Modal, h. Tindak Pidana di Bidang Lingkungan Hidup, j. Tindak Pidana di Bidang Pelayaran, k. Tindak Pidana Perdagangan Orang.Tindak Pidana di Bidang HAKI, l. Tindak Pidana di Bidang Kepabeanan.

Berikutnya adalah tindak pidana: m. Tindak Pidana di Bidang Ketenagakerjaan, n. Tindak Pidana Pemilu, o. Tindak Pidana Terorisme, p. Tindak Pidana Narkotika dan Psikotropik, q. Tindak Pidana yang Terkait dengan Konsumen, r. Tindak Pidana Penambangan Liar (Illegal Mining), s. Tindak Pidana Teknologi Informasi (Cyber Crime). (dtc)

BACA JUGA: