JAKARTA, GRESNEWS.COM - Putusan Mahkamah Konstitusi terkait Pasal Perlindungan Anggota DPR dinilai tidak memiliki keberpihakan pada penegakan hukum terkait proses pemeriksaan terhadap anggota DPR yang menghadapi masalah hukum. Dalam putusan dengan nomor perkara 76/PUU – XII/2014 Perihal Pengujian Pasal 245 UU MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3), MK menyatakan tidak membatalkan pasal tersebut.

Dalam putusan yang diucapkan Selasa (22/9), MK hanya mengubah pejabat yang berwenang memberikan izin untuk memeriksa anggota DPR manakala berhadapan dengan masalah hukum. Sebelumnya Pasal 245 UU MD3 mengatur apabila aparat penegak hukum ingin memanggil anggota DPR yang diduga melakukan suatu tindak pidana untuk dimintai keterangannya, maka harus mendapatkan izin dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) yang dapat dikeluarkan selama 30 hari.

Pasca putusan itu, penegak hukum harus mendapatkan izin Presiden sebelum memeriksa anggota DPR. Izin itu dapat dikeluarkan dalam 30 hari.

Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi Widodo Eddyono mengatakan, putusan ini gagal menjawab persoalan hukum dalam Pasal 245 UU MD3 tentang imunitas bagi anggota DPR, atau perlindungan pada pejabat negara. "Selain itu, putusan ini juga tidak masuk ke dalam pokok permasalahan utama pasal tersebut," kata Supriyadi dalam siaran pers yang diterima gresnews.com, Rabu (23/9).

Supriyadi menilai, MK telah mengabaikan sebagian dari permohonan para pemohon. ICJR sendiri memberikan beberapa catatan terkait putusan itu.

Pertama, mengubah pejabat pemberi izin dari MKD menjadi Presiden bukanlah inti dari persoalan pasal 245 UU MD3. "Inti dari persoalan pasal 245 UU MD3 adalah pasal ini memberikan perindungan yang berlebihan dan tidak berdasarkan atas alasan hukum yang jelas, sehingga berpotensi mengintervensi independensi penegak hukum," tegas Supriyadi.

Dia menilai, kewenangan penyelidikan dan penyidikan aparat penegak hukum merupakan satu kesatuan dengan kemerdekaan kehakiman yang harus dijamin secara mutlak. "Apabila dilakukan perlindungan, maka hal tersebut harus dilakukan berdasarkan alasan hukum yang tepat dan itikad baik," katanya.

Kedua, Pemberian hak imunitas atau perlindungan harus ditujukan untuk menjamin kerja dari anggota parlemen, sehingga pemberian perlindungan harus melingkupi kerja dari anggota parlemen tersebut, yaitu dalam rangka melindungi kebebasan berbicara di parlemen. "Bukan segala bentuk tindakan apapun yang tidak terukur dan tidak jelas indikatornya," tegas Supriyadi.

Ketiga, kalaupun seperti dalam putusan MK, perlindungan kepada pejabat negara ditujukan agar terhindar dari rekayasa kasus, seharusnya perlindungan tersebut diberikan dalam hal terjadi proses upaya paksa. Misalnya penangkapan atau penahanan, karena sudah pasti akan menggangu kinerja dari anggota DPR.

Dalam konteks Pasal 245 UU MD3, tidak jelas kualifikasi status dari anggota DPR atau dalam tahapan apa izin diberikan. "Kecenderungan Pasal 245 UU MD3 mutlak adalah untuk melindungi anggota DPR terhadap semua jenis tindakan," ujarnya.

Keempat, MK sama sekali tidak menyentuh persoalan potensi penundaan yang begitu lama yaitu 30 hari dari proses perlindungan anggota DPR ini. Pasal 245 UU MD3 membuka celah penundaan pemeriksaan pada anggota DPR selama 30 hari.

Meskipun nantinya dapat dilakukan pemeriksaan secara otomatis apabila Presiden tidak mengeluarkan izin, namun penundaan yang begitu lama berpotensi sangat besar mengurangi hak korban tindak pidana atas keadilan, karena proses peradilan juga akan terganggu dan tertunda.

Kelima, Perlindungan yang dirancang secara berlebihan tersebut telah melanggar prinsip non- diskriminatif dan bertentangan dengan prinsip kesetaraan di di hadapan hukum. "Atas dasar jabatan telah terjadi pembedaan terhadap warga negara, perlu dicatat terlepas jabatannya, anggota DPR adalah warga negara yang harus bertanggung jawab di depan hukum," kata Supriyadi.

LANGKAH MUNDUR - ICJR, kata Supriyadi menilai, putusan MK ini merupakan langkah mundur dari putusan MK sebelumnya yang menganulir ketentuan kewajiban izin Presiden pada saat melakukan investigasi terhadap pejabat negara.

Konteks pemberian izin sangat berpotensi terjadi konflik kepentingan. Terlebih apabila izin tersebut dapat dimaknai sebagai perlindungan terhadap segala tindakan dari pejabat negara dalam hal ini anggota DPR dan dalam tahapan peradilan yang tidak jelas.

"Harus dipahami bahwa Presiden juga tidak terlepas dari pengaruh politik di DPR, sehingga putusan ini tidak hanya gagal menjawab persoalan hukum dalam Pasal 245 UU MD3, namun juga merupakan kemunduran dari konsep imunitas pada anggota DPR, atau perlindungan pada pejabat negara," tegas Supriyadi.

Putusan ini memang bisa dibilang merupakan sebuah langkah mundur. Sebab, tahun 2012, MK justru menghapus ketentuan izin Presiden bagi penyidik yang akan memeriksa pejabat negara dalam hal ini kepala daerah.

Kini, MK mengharuskan penyidik meminta izin tersebut apabila ingin memeriksa anggota DPR, MPR dan DPD. Adapun pemeriksaan anggota DPRD harus seizin Mendagri.

"Dari aspek subtansi putusan MK ini juga mengandung kelemahan yaitu MK tidak menjelaskan secara lengkap mengapa MK memiliki pendirian yang berbeda dengan putusan pada tahun 2012," kata ahli hukum tata negara Dr Bayu Dwi Anggono, Rabu (23/9).

"Meskipun objek lembaganya berbeda, namun secara filosofi pokok permohonannya adalah sama yaitu apakah diperlukan izin dari Presiden terhadap pemeriksaan di tingkat penyidikan bagi pejabat negara," lanjut Bayu.

Dalam putusannya pada tahun 2012, MK menyatakan bahwa izin tertulis untuk pemeriksaan kepala daerah tidak memiliki rasionalitas hukum dan bertentangan dengan asas judicial independent, equality before the law dan non diskriminasi. "Namun disayangkan berbedanya putusan MK saat ini dengan MK di tahun 2012 tidak dapat menunjukkan alasan konstitusional yang berbeda sebagaimana diatur oleh UU MK," ujar pengajar Universitas Jember itu.

Belajar dari putusan MK ini, kata Bayu, seluruh lembaga negara dan publik perlu melakukan konsensus kembali yaitu apakah pemeriksaan terhadap pejabat negara memang memerlukan izin presiden atau tidak. Mengingat selain UU MD3 masih banyak UU yang mengatur mengenai syarat izin tertulis tersebut yaitu UU MK, UU MA, UU BPK dan sebagainya.

Keberadaan beberapa UU tersebut menunjukkan bahwa politik legislasi kita terutama para pembentuk UU masih menghendaki adanya perlindungan hukum kepada pejabat negara dengan model izin ketika diperiksa atau dimintai keterangan oleh penyidik. Sementara publik di satu sisi menginginkan adanya kesetaraan semua warga negara dalam menghadapi proses hukum sebagaimana diatur dalam UUD 1945.

"Hal inilah yang memerlukan kesepakatan bersama antara pembentuk UU dan publik sebagai pemegang kedaulatan," pungkas Bayu.

BEBAN DI TANGAN PRESIDEN - Tak hanya sebagai sebuah langkah mundur, putusan MK ini juga berpotensi "menyandera" Presiden jika dalam kondisi tertentu, Presiden gagal memberikan izin dalam jangka 30 hari dengan berbagai alasan.

Jika ini yang terjadi, maka beban akan berada di tangan Presiden, terlebih jika anggota DPR yang bermasalah lebih dari satu. Karena itu, Presiden Joko Widodo pun diminta untuk membuat mekanisme yang simpel soal izin itu.

"Presiden harus segera menyiapkan mekanisme administrasi dan berkoordinasi dengan Setneg (sekretariat negara-red) agar surat masuk untuk meminta izin pemeriksaan pada presiden bisa cepat," kata politikus PDIP Masinton Pasaribu, Rabu (23/9).

Masinton mengakui bahwa putusan MK itu berdampak pada perlambatan penegakan hukum. Oleh sebab itu, solusinya adalah respons cepat ketika izin diminta. "Jangan sampai presiden jadi sasaran tembak. Presiden disalahkan karena proses administrasi yang panjang. Presiden harus merespons cepat," ujar anggota Komisi III DPR ini.

Ada pengecualian dalam putusan MK ini, yaitu terkait kejahatan tertangkap tangan, diancam pidana berat (mati atau seumur hidup) dan tindak pidana khusus. Oleh sebab itu, KPK tidak perlu minta izin presiden bila akan memeriksa anggota DPR. "Ini tidak berlaku untuk OTT yang dilakukan oleh KPK atau pidana khusus lainnya yang sifatnya tangkap tangan," ucap Masinton.

Berbeda dengan Masinton, Ketua Komisi III DPR Aziz Syamsuddin menganggap aturan ini tidak akan menghambat proses penegakan hukum. "Saya meyakini bapak presiden tentu dalam hal pemanggilan itu sesuai fakta hukum, tentu akan diberikan," kata Aziz di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (23/9).

Namun, kondisi akan berbeda apabila pemeriksaan itu tidak terkait fakta hukum. Aturan ini pun menjadi catatan agar tidak ada lagi mafia hukum. "Itu menjadi catatan bagi kita mencegah adanya oknum-oknum penegak hukum yang bermain," ujar politikus Golkar ini.

Aziz menganggap putusan MK ini tidak memperlambat proses penegakan hukum. Menurutnya, proses pengusutan tetap akan berjalan seperti biasa. "Kalau untuk lambatnya, saya kira tidak. Tentu jaksa atau polisi dan KPK, dalam memanggil orang didahului dengan 2 alat bukti dengan keterangan saksi-saksi dan keterangan ahli untuk bisa menjelaskan," ungkap Aziz.

TAK BERPENGARUH KE KPK - Putusan ini memang banyak dinilai akan memperlambat proses hukum karena penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi misalnya, sekarang harus menunggu dulu izin Presiden sebelum memeriksa anggota DPR yang terbelit kasus korupsi. Hanya, saja pihak KPK sendiri menegaskan, putusan MK itu tak membawa banyak pengaruh bagi KPK.

Alasannya, menurut Plt Pimpinan KPK, Indriyanto Seno Adji, KPK yang memiliki UU sendiri yang memungkinkan KPK melaksanakan prosedur yang berbeda dalam penegakan hukum. "Kami harus menghormati putusan MK tersebut, namun sepengetahuan kami, KPK terikat dengan UU KPK yang bersifat (lex) specialis begitu pula dengan tata cara prosesualnya," kata Indriyanto, Rabu (23/9).

Indriyanto mengingatkan, tindak pidana korupsi yang ditangani KPK masuk dalam extraordinary crime. Sehingga, penanganannya pun diatur dalam undang-undang khusus.

"Dengan demikian putusan MK itu tidak diartikan sebagai Lex Sine Scriptis bagi UU KPK. Kami terikat terhadap UU KPK. Bahwa ada perdebatan maka hal ini sebagai suatu kewajaran yang nantinya patut dihormati pula oleh pihak-pihak berkepentingan," jelas guru besar ilmu hukum pidana itu.

"Hanya saja harus teliti bahwa putusan MK itu hanya terikat pada tipidum, bukan korupsi sebagai tindak pidana khusus, jadi sama sekali tidak berdampak pada KPK," tegas Indriyanto. (dtc)

BACA JUGA: