JAKARTA, GRESNEWS.COM - Perkawinan anak atau penihakan di usia dini masih menjadi masalah serius setelah Mahkamah Konstitusi menolak dinaikkannya batas usia menikah anak perempuan dari usia 16 menjadi usia 18 tahun. Ditolaknya gugatan atas Pasal 7 Ayat (1) UU Perkawinan ini bagi Koalisi Indonesia untuk Penghentian Perkawinan Anak (Koalisi 18+) telah menimbulkan situasi dan kondisi yang melegalkan berlangsungnya perkawinan anak.

Koordinator Koalisi 18+ Supriyadi W Eddyono mengungkapkan, data terbaru menunjukkan, Indonesia adalah negara nomor 2 tertinggi di ASEAN dalam hal tingkat perkawinan anak. "Selain itu, fakta juga menunjukkan bahwa 1 dari 5 anak perempuan Indonesia telah kawin sebelum usia 18 tahun," kata Supriyadi kepada gresnews.com, Senin (10/8).

Di beberapa wilayah Indonesia, jumlah kenaikan perkawinan anak juga mengalami kenaikan yang sigfnifikan. Misalnya di wilayah Pesisir Selatan Sumatera Barat, beberapa wilayah di Jawa Tengah, Jawa Barat, Lombok, dan banyak wilayah lainnya.

Dalam monitoring yang dilakukan Koalisi Indonesia untuk Penghentian Perkawinan Anak (Koalisi 18+), kenaikan jumlah perkawinan anak di beberapa wilayah tersebut sudah pada tahap mengkhawatirkan. Sayangnya respons dari pemerintah pusat atas kondisi ini juga belum menuju ke arah yang lebih konkret dan positif.

"Justru Pemerintah Kabupaten yang saat ini yang berupaya berbenah untuk menurunkan jumlah perkawinan anak yang terus meningkat," kata Supriyadi.

Salah satu respons yang cukup berani dilakukan oleh Kabupaten Gunung Kidul dengan mengeluarkan Peraturan Bupati Gunung Kidul Nomor 36 Tahun 2015 tentang Pencegahan Perkawinan Pada Usia Anak pada tanggal 24 Juli 2015 lalu. Peraturan ini sengaja didesain karena terjadi peningkatan secara drastis jumlah perkawinan anak di wilayah tersebut yang mengalami peningkatan lebih dari 100 persen dalam beberapa tahun terakhir ini.

Menurut Koalisi 18+, karena Pasal 7 Ayat (1) UU Perkawinan masih berlaku, maka Peraturan Bupati tersebut sangat penting untuk meminimalisasi jumlah perkawinan anak. "Kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Gunung Kidul ini juga harus didukung penuh karena menunjukkan jika pemerintah daerahnya telah memiliki kesadaran lebih awal dalam pencegahan perkawinan anak," kata Supriyadi.

Dengan adanya kebijakan ini merupakan indikasi bahwa batas usia minimal perempuan untuk menikah yang ada dalam Pasal 7 Ayat (1) UU Perkawinan sudah tidak lagi sesuai dengan kondisi sosiologis masyarakat Indonesia saat ini.

Peraturan ini memandatkan kebijakan pencegahan perkawinan anak dalam beberapa level yakni di tingkat keluarga, masyarakat, anak, pemerintah daerah dan para pemangku kepentingan lainnya. Peraturan juga memandatkan upaya pendampingan dan pemberdayaan bagi korban termasuk memandatkan tugas bagi beberapa lembaga di wilayah untuk melakukan monitoring atas kasus-kasus perkawinan anak.

Koalisi 18+ mendorong agar Peraturan Bupati Gunung Kidul juga diikuti oleh beberapa pemerintah daerah di beberapa wilayah yang saat ini tengah di rundung kasus meningkatnya perkawinan anak. Khususnya bagi daerah-daerah yang sudah memproklamirkan dirinya sebagai kabupaten ramah anak atau propinsi ramah anak.

"Koalisi 18+ juga mendorong agar pemerintah pusat segera mengambil kebijakan khusus yang proaktif dan segera untuk melindungi kepentingan anak–anak Indonesia yang terancam hak–haknya yang diakibatkan masih maraknya perkawinan anak," pungkas Supriyadi.

SUMBER MENINGKATNYA ANGKA PERCERAIAN - Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mengakui perkawinan di usia belasan tahun tercatat masih tinggi di beberapa wilayah di Indonesia. BKKBN juga mencatat, perkawinan dini juga menjadi salah satu penyebab tingginya angka perceraian.

"Menurut ilmu kesehatan, di umur 16 tahun remaja belum siap secara fisik dan mental untuk menikah. Secara mental, dampaknya ya perceraian," kata Kepala BKKBN Surya Chandra Surapaty usai peringatan Hari Keluarga Nasional (Harganas) 2015 di Lapangan Sunburst BSD City, Tangerang, Sabtu (1/8) lalu.

Sedangkan secara fisik, kata Surya, perkawinan di usia belasan tahun berdampak pada berbagai penyakit terutama yang berhubungan dengan sistem reproduksi. "Risiko komplikasi kehamilan meningkat, sehingga perkawinan dini banyak dikaitkan dengan tingginya angka kematian ibu dan anak," ujarnya.

Demikian juga dengan risiko infeksi HPV (Human Papiloma Virus) penyebab kanker leher rahim yang mematikan. Karena mulai aktif secara seksual sejak usia yang terlalu muda, maka risiko terpapar virus tersebut akan meningkat dibandingkan pada perempuan yang aktif secara seksual di usia yang lebih dewasa.

Surya Chandra menilai, batas usia nikah yang ditetapkan pemerintah saat ini yakni 16 tahun, terlalu rendah. Sambil terus mendorong agar batas tersebut ditingkatkan, BKKBN gencar mengkampanyekan penundaan usia nikah.

"BKKBN mengkampanyekan usia nikah untuk perempuan minimal 21 tahun dan untuk laki-laki 25 tahun," tegas Surya Chandra.

Pada kesempatan yang sama, Menteri Kesehatan Nila F Moeloek juga mengungkapkan hal senada. "Kita lihat sekarang angka perceraian tinggi, perkawinan dini tinggi," kata Menkes Nila.

Survey Demografi dan Kependudukan Indonesia (SDKI) 2012 menyebut median atau nilai tengah usia pertama perkawinan di Indonesia adalah 20,1 tahun. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mendorong usia perkawinan pada perempuan adalah minimal 21 tahun dan pada laki-laki 25 tahun.

Nila Moeloek menegaskan, ketahanan keluarga harus dimulai dengan keluarga yang sehat. Tidak sekadar sehat secara fisik, melainkan juga sehat dalam membina keharmonisan keluarga. "Makanya pendidikan oleh orang tua perlu kita kembalikan, parenting yang baik itu penting," tegas Menkes Nila.

BELUM SIAP MENTAL - Menteri Kesehatan Prof Nila Moeloek menyampaikan, dalam beberapa kesempatan ingin mengubah UU Perkawinan yang menurutnya bermasalah. Masalah tersebut terletak pada batas usia minimal perempuan untuk menikah yakni pada usia 16 tahun.

Dikatakan Menkes Nila bahwa pada usia tersebut, anak perempuan belum mempunyai mental yang matang. Sehingga kemampuannya untuk mengasuh anak dan menjadi ibu patut diragukan.

"Dari sisi psikologis saya kira belum siap untuk mendidik anak, kemampuannya meragukan. Usia segitu anak masih mempunyai mental bermain," tutur Nila.

Usia anak yang masih remaja dan masih memiliki mental bermain dikatakan Menkes akan berdampak pula pada anak yang dimilikinya dari hasil perkawinan dini. Bukannya jadi keluarga bahagia dan sejahtera, bisa jadi anak malah menjadi bermasalah karena sudah harus diberi tanggung jawab menjadi ibu ketika masih muda.

Kendati demikian, Menkes Nila mengaku belum akan mengajukan perubahan soal undang-undang tersebut kepada pihak terkait. Dikatakannya bahwa saat ini ia masih mempelajari soal UU Perkawinan tersebut.

Kendati masih dipelajari, Menkes Nila menganggap bahwa UU Perkawinan tersebut tetap butuh penyempurnaan, terutama soal batas usia minimal anak menikah.

"Saya masih belajar soal UU itu juga. Tapi kalau dilihat dari segi kesehatan kan memang menikah dini itu berbahaya. Organ intim belum matang sehingga risiko ibu meninggal tinggi," ujarnya lagi.

"Tapi tidak ada salahnya kalau bahaya itu kita jadikan bahan evaluasi. Saya hanya memberikan rekomendasi kalau mau menikah itu sebaiknya di atas 20 tahun, namun tetap UU Perkawinan ini butuh penyempurnaan," pungkasnya.

USIA TERBAIK MINIMAL 20 TAHUN - Pakar kesehatan dr. Cynthia Agnes Susanto, B.Med.Sc mengatakan, secara epidemiologi minimal usia seorang perempuan untuk menikah adalah usia 20-21 tahun.

Pada saat perempuan berusia 20-21 tahun, maka tubuh perempuan, organ reproduksi dan juga kondisi mentalnya sudah siap untuk menikah atau mengandung dan memiliki anak.

Bagaimana jika seorang perempuan menikah di bawah usia itu? Cynthia menuturkan ada beberapa efek atau bahaya yang timbul jika seseorang menikah terlalu muda. Pertama, secara organ reproduksi ia belum siap untuk berhubungan atau mengandung, sehingga jika hamil berisiko mengalami tekanan darah tinggi (karena tubuhnya tidak kuat).

Kondisi ini biasanya tidak terdeteksi pada tahap-tahap awal, tapi nantinya menyebabkan kejang-kejang, perdarahan bahkan kematian pada ibu atau bayinya. "Sel telur yang dimiliki oleh perempuan tersebut belum siap," ujarnya.

Kedua, perempuan menikah di usia terlalu muda berisiko mengalami kanker serviks (kanker leher rahim), karena semakin muda usia pertama kali seseorang berhubungan seks, maka semakin besar risiko daerah reproduksi terkontaminasi virus.

Kanker serviks ini tidak muncul begitu saja, melainkan membutuhkan waktu 10-20 tahun untuk menjadi kanker dan gejala awalnya pun tidak akan terlihat. Pada stadium awal biasanya tidak menimbulkan keluhan apapun, tapi pada stadium lanjut akan muncul gejala tidak dapat buang air kecil, pendarahan di luar haid atau nyeri pada panggul.

Selain melalui nikah muda, ada juga faktor-faktor lain yang bisa menyebabkan kanker serviks diantaranya perempuan berusia 30-50 tahun, infeksi pada kelamin, banyak berhubungan seksual, merokok serta kekurangan vitamin A/C/E.

"Untuk itu sebaiknya hindari menikah atau menikahkan anaknya yang masih sangat muda atau berusia belasan tahun, karena bisa menimbulkan efek bahaya bagi kesehatan ibu dan juga anak yang akan dikandungnya nanti," ujarnya.

SEBABKAN BALITA KURANG GIZI - Perkawinan di usia terlalu muda selain membahayakan ibu, juga membahayakan anak yang dikandungnya. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia juga telah merilis Hasil Riset Kesehatan Dasar 2013. Salah satu yang menjadi perhatian adalah adanya peningkatan pada proporsi balita gizi kurang dan proporsi balita pendek.

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbangkes) Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Dr dr Trihono, MSc menjelaskan, hal itu terjadi akibat perkawinan pada usia dini. Jika hal itu terus dibiarkan, ke depannya balita-balita Indonesia akan banyak yang mengalami stunting (pendek).

Berdasarkan Undang-undang Nomor 1/1974 tentang perkawinan, usia minimal laki-laki untuk menikah adalah 19 tahun dan perempuan 16 tahun. Menurut dr Trihono, di usia tersebut fisik dan mental pada laki-laki maupun perempuan masih dalam tahap pertumbuhan dan belum ideal untuk menikah.

"Makanya Undang-undang Perkawinan kita harus direvisi," ujarnya beberapa waktu silam.

Ia pun memaparkan bahwa jika ingin menikah, sebaiknya dilakukan pada usia diatas 20 tahun. Anjuran tersebut didasarkan pada tahapan masa pertumbuhan manusia yang baru akan berhenti setelah usia 21 tahun.

"Kalau kawin umur di bawah 20 tahun, dengan tinggi badan kurang dari 155 cm dan berat badan kurang dari 45 kg, nantinya bisa dipastikan kalau anak yang lahir akan mengalami stunting (pendek)," jelasnya lagi.

Bagi yang sudah menikah dan ingin menghindari risiko stunting, dr Trihono juga menganjurkan untuk mengatur jadwal kehamilan. Sang calon ibu juga diharuskan untuk makan makanan yang bergizi semenjak dirinya dinyatakan positif hamil. (dtc

BACA JUGA: