JAKARTA, GRESNEWS.COM – Dalam dua hari ini, Mahkamah Konstitusi telah membuat heboh jagat hukum di Indonesia akibat tiga putusannya yang dinilai kontradiktif. Dalam putusan terkait perkara pengujian Pasal 7 huruf r UU Nomor 8 tahun 2015 tentang perubahan UU Nomor 1 tahun 2015 tentang Pilkada, MK memutuskan untuk mengabulkan permohonan tersebut.

Pertimbangan hukum yang digunakan MK dalam mengabulkan permohonan tersebut adalah karena dinilai bertentangan dengan Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945. Pasal tersebut menyatakan tiap orang berhak bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan diskriminatif tersebut.

Lewat putusan ini, akhirnya MK membolehkan keluarga petahana untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah tanpa jeda satu periode kepemimpinan. Putusan ini dinilai kontroversial lantaran aturan jeda satu periode itu dibuat dengan maksud memutus mata rantai politik dinasti.

Sayangnya, MK dinilai tidak konsisten dalam memutus dua perkara lainnya. Pertama perkara gugatan uji materi UU Pilkada yang mensyaratkan seorang PNS harus mundur jika mencalonkan diri. Kedua terkait anggota TNI yang juga harus mengundurkan diri jika ingin mencalonkan diri dalam pilkada.

Dalam dua putusan itu, MK hanya mengabulkan sebagian gugatan yang diajukan para penggugat. Padahal para penggugat sama-sama mendalilkan pasal-pasal tersebut membatasi hak politik calon dan dinilai melanggar Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945.

Gugatan atas Pasal 1 angka 6 (perubahan Pasal 7 huruf s, huruf t, dan huruf u) UU Pilkada, diajukan oleh seorang pegawai negeri sipil bernama Afdoli. Dia menggugat pasal-pasal tersebut karena merasa hak konstitusionalnya untuk maju menjadi calon kepala daerah dibatasi.

Pasal 7 huruf s mengatur kewajiban anggota legislatif memberitahukan pencalonannya pada pimpinan masing-masing lembaga. Huruf t mengatur kewajiban TNI, Polri, dan PNS mengundurkan diri sejak mendaftarkan menjadi calon. Lalu huruf u mengatur ketentuan untuk berhenti dari jabatan pada BUMN atau BUMD ketika ingin mencalonkan sebagai kepala daerah.

Atas permohonan ini, MK mengabulkan sebagian permohonan atas Pasal 7 huruf t dan huruf u UU Pilkada. Meski tetap wajib mengundurkan diri, PNS, anggota TNI dan Polri baru wajib mundur sejak ditetapkan menjadi calon yang memenuhi persyaratan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), bukan pada saat pendaftaran.

MK juga mengambil sikap serupa atas gugatan uji materi UU Aparatur Sipil Negara. Gugatan itu diajukan oleh 8 orang PNS diantaranya Rahman Hadi, Genius Umar, dan Rahmat Hollyson Maiza.

Dalam perkara ini, MK memutuskan Pasal 119 dan Pasal 123 Ayat (3) inkonstitusional bersyarat. MK menafsirkan kedua pasal itu dimaknai PNS harus mengundurkan diri sejak ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sebelumnya, Pasal 119 dan Pasal 123 ayat (3) UU ASN berisi ketentuan pejabat pimpinan tinggi madya dan pratama serta PNS harus menyatakan pengunduran diri secara tertulis sejak mendaftar sebagai calon.

PUTUSAN KONTRADIKTIF - Putusan MK atas kedua perkara terakhir ini dinilai sangat kontradiktif dengan putusan terkait pencalonan keluarga petahana. Pasalnya dalam putusan atas keluarga petahana, MK mendalilkan hak seseorang dalam demokrasi untuk mencalonkan diri tak boleh dibatasi. Sementara dalam dua putusan terakhir, MK memang tetap mengakui hak seseorang mencalonkan diri, hanya saja MK tetap mengakui adanya pembatasan atas hak seseorang dalam kondisi tertentu.

Dalam pertimbangannya atas kedua putusan tersebut, majelis merujuk pada putusan MK Nomor 45/PUU-VIII/2010 pada 1 Mei 2012 dan putusan Nomor 12/PUU-XI/2013 pada 9 April 2013. Putusan tersebut berisi norma ketika seseorang telah memilih menjadi PNS maka dia telah mengikatkan diri dalam ketentuan yang mengatur birokrasi pemerintahan.

Apalagi peranan PNS penting dalam menjamin kelancaran penyelenggaraan pemerintahan. Sehingga pada saat mendaftarkan diri menjadi calon dalam jabatan politik yang diperebutkan melalui mekanisme pemilu maka UU dapat menentukan syarat yang dapat membatasi haknya sebagai PNS.

Lalu MK menilai perlu ada kepastian hukum soal kapan pengunduran diri tersebut dilakukan. MK mempertimbangkan perlu ada proporsionalitas dalam menentukan waktu tersebut. Sehingga akhirnya MK memutuskan PNS harus dipersyaratkan mundur sejak resmi sebagai calon kepala daerah untuk kepastian hukum yang adil.

Hal senada soal pengunduran diri dalam konteks subyek berbeda yaitu pengunduran diri anggota legislatif yang juga diputuskan MK, kemarin. Putusan soal anggota legislatif harus mundur ini diajukan Adnan Purichta Ichsan. Ia menggugat Pasal 7 huruf s UU Pilkada yang mengatur agar anggota DPR, DPRD, dan DPD memberitahukan pada pimpinan DPR ketika mencalonkan diri sebagai kepala daerah.

"Pasal 7 huruf r beserta penjelasan UU Pilkada tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai mengundurkan diri sejak calon ditetapkan memenuhi persyaratan oleh KPU atau Komisi Informasi Pusat sebagai calon gubernur, calon wakil gubernur bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah atau anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah," ujar Ketua MK Arief Hidayat dalam sidang pembacaan putusan di Gedung MK, Jakarta, Kamis (9/7).

Dalam pertimbangan, MK kembali merujuk pada putusan yang sama yaitu putusan Nomor 45/PUU-VIII/2010 pada 1 Mei 2012. Putusan ini pun menjadi rujukan bagi putusan dengan gugatan substansi serupa pada putusan Nomor 12/PUU-XI/2013 pada 9 April 2013, putusan Nomor 57/PUU-XI/2013 pada 23 Januari 2014, dan putusan Nomor 42/PUU-XII/2014 pada 8 Juli 2015.

Putusan MK tersebut juga menyebutkan dari perspektif kewajiban, keharusan PNS mengundurkan diri tidak diartikan sebagai pembatasan Hak Asasi Manusia. Sebab tidak ada HAM dari seorang PNS yang terkurangi lantaran mengundurkan diri untuk meraih jabatan politik. Pembatasan tersebut disyaratkan justru sebagai konsekuensi yuridis atas pilihannya sendiri karena masuk ke arena pemilihan jabatan politik. Sehingga pengunduran diri bukan pelanggaran hak konstitusional.

Prosedur yang berlaku pada PNS dan TNI dinilai MK juga berlaku bagi anggota legislatif yang ingin mencalonkan diri dalam pilkada. Sehingga frasa "pada saat mendaftarkan diri" dimaknai sejak resmi ditetapkan sebagai calon kepala daerah atau wakil kepala daerah dan bukan sejak mendaftarkan diri sebagai calon kepala daerah. Sebab ketika hanya sebatas calon, calon bersangkutan belum tentu lulus verifikasi untuk ditetapkan sebagai calon kepala daerah yang resmi.

Selanjutnya, soal keanggotaan legislatif yang bersifat kolektif kolegial dan dianggap tidak akan mengganggu pelaksanaan tugas dan fungsinya ketika mencalonkan diri sebagai kepala daerah menurut Mahkamah dianggap tidak menjadi alasan yang cukup. Sebab bisa jadi yang mencalonkan bukan hanya sebatas anggota DPR, DPRD, atau DPD tapi bisa jadi pimpinan lembaga-lembaga legislatif tersebut juga ikut mencalonkan diri dalam pilkada.

Ketika para pimpinan legislatif tersebut terpilih maka akan berakibat dilakukannya proses pemilihan kembali untuk mengisi kekosongan jabatan yang ditinnggalkan. Sehingga persoalannya bukan kolektif kolegial tapi menyangkut tanggungjawab dan amanah masyarakat yang diberikan pada yang bersangkutan.

PEMBATASAN HARUSNYA BERLAKU UNTUK KELUARGA PETAHANA - Putusan MK yang mengakui adanya pembatasan hak dalam kondisi tertentu seperti dalam putusan terkait pencalonan PNS, TNI dan Polri ini dinilai merupakan putusan yang tepat. Hanya saja, norma serupa harusnya juga diterapkan pada keluarga petahana.

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini mengatakan untuk putusan soal keluarga petahana MK mempertimbangkan soal proteksi hak politik warga negara. Sementara soal anggota legislatif harus mundur pertimbangannya agar memiliki kesetaraan dengan TNI, Polri, dan PNS.

Dia menilai, sebenarnya tujuan MK baik yaitu untuk menjaga kesetaraan dan pilkada yang demokratis. "Dalam konteks tujuannya saya setuju agar pilkada demokratis. Sehingga ketika orang sudah menjabat mandatnya sebagai wakil rakyat bisa tuntaskan sampai akhir. Kalau ingin merebut jabatan yang baru, maka dia mundur untuk memberi orang yang bisa bekerja secara optimal pada jabatan sebelumnya," ujar Titi saat dihubungi gresnews.com, Kamis (9/7).

Hanya saja, kata dia, meskipun tujuan MK baik, ia tidak sependapat dengan MK bahwa jabatan anggota legislatif sama dengan jabatan TNI, Polri, dan PNS. Sebab legislatif merupakan political appointy dan TNI, Polri, dan PNS adalah carrier appointy sebagai public servant. Hal tersebut menurutnya merupakan dua hal yang berbeda

Dengan demikian putusan antara larangan keluarga petahana maju dalam pilkada dengan putusan PNS, TNI, Polri, dan anggota legislatif harus mundur memang memiliki pertentangan. Dalam pembatalan larangan keluarga petahana, MK mendasarkan argumennya pada Pasal 13 Ayat (3) UU Hak Asasi Manusia (HAM) yang menjamin hak tiap orang atas perlindungan HAM tanpa diskriminasi.

MK juga merujuk pada putusannya sendiri Nomor 011-017/PUU-I/2003 pada 24 Februari 2004 bahwa pembatasan atas hak dan kebebasan seseorang harus didasarkan pada alasan yang kuat, masuk akal, proporsional, dan tidak berlebihan. Lalu pembatasan tersebut juga harus memenuhi tuntutan yang adil sesuai agama, moral, keamanan, dan ketertiban umum masyarakat demokratis. Selanjutnya, MK juga memandang pasal larangan keluarga petahana mencalonkan diri tersebut tidak dibutuhkan manakala sistem pengawasan berjalan baik.

Sementara dalam putusan agar TNI, Polri, PNS, dan anggota legislatif harus mundur ketika lolos verifikasi, dianggap tidak bertentangan dengan HAM. Lantaran pilihan bagi para pejabat tersebut untuk mencalonkan diri dalam pilkada memiliki konsekuensi yuridis bagi yang bersangkutan.

Terkait perbedaan putusan MK soal hak keluarga petahana dengan syarat mundur TNI, Polri, PNS, dan anggota legislatif, ia mengaku menyayangkan putusan MK lantaran tidak memberikan pembatasan bagi keluarga petahana. Sebab pasal yang dibatalkan MK dinilai sudah tepat karena mengatur soal jeda 1 periode bagi keluarga untuk mencalonkan diri paska petahana lengser dari jabatan. Sehingga sebenarnya pasal tersebut bukan penghilangan hak politik dari keluarga petahana.

Merujuk pada argumen dan logika MK soal pembatalan larangan pada petahana, MK menyatakan harus ada alasan yang kuat, masuk akal dan proporsional untuk memberikan pembatasan. Menurut Titi seharusnya MK menggunakan logika bahwa pemilih tidak memiliki "ruang" untuk mendapatkan pilkada yang demokratis jika kleuarga petahana bisa ikut pilkada tanpa ada jeda. Sebab untuk mendapatkan pemilu demokratis instrumen pengawasan seharusnya optimal, penegakan hukum efektif, dan partai politik memiliki pola rekrutmen yang baik.

Jika instrumen di atas tersedia, maka bisa jadi memang pasal larangan keluarga petahana mencalonkan diri dalam pilkada tidak diperlukan. Sayangnya, instrumen untuk membuat pemilu demokratis belum tersedia saat ini. Sehingga diperlukan kerangka pengaturan bagi keluarga petahana. Sehingga dibutuhkan pengaturan untuk mencapai pemilihan dan pilkada yang demokratis. "Sebab keluarga petahana hanya diatur jeda boleh mencalonkan diri hanya satu periode," katanya.

FAKTOR KEKUASAAN - Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia Ray Rangkuti mengatakan berbeda dengan anggota TNI, Polri dan PNS, maka untuk anggota DPR, DPRD, dan DPD memang harus mundur jika mencalonkan diri dalam pilkada. Alasannya adalah karena ada faktor mendapatkan kursi kepala daerah dengan kekuasaan yang dimilikinya sebagai anggota legislatif.

Lalu ada juga aspek anggota legislatif dianggap tidak serius dalam menduduki jabatan dalam legislatif. "Tapi pada pertimbangan seperti itu tidak muncul dalam putusan soal pembatalan keluarga petahana. Keluarga petahana dilarang terlibat dalam pilkada untuk daerah yang sama karena faktor yang sama. Petahana bisa tidak jujur karena menyalahgunakan kekuasaannya dan ada kesan mencari kekuasaan terus menerus serta ada kekuasaan yang terpusat pada sekumpulan orang," ujar Ray kepada gresnews.com, Kamis (9/7).

Ia merasa aneh MK di satu sisi melarang anggota legislatif ikut dalam pilkada kalau belum mengundurkan diri. Tapi pada saat bersamaan, MK justru membolehkan keluarga petahana masuk ke dalam arena kompetisi pilkada. Ia pun mempertanyakan logika berpikir dari majelis MK.

Menurutnya, dalam kacamata sosiologis dan perkembangan demokrasi, ia menilai jauh lebih berbahaya keluarga petahana yang maju dalam pilkada dibandingkan anggota DPR dan DPRD yang tidak mundur. Sebabnya adalah kekuasaan yang ada di tangan petahana.

Sementara anggota legislatif dianggap "tidak mengenal uang" karena fungsinya sebagai pengawas dan tidak masuk ke dalam birokrasi serta tidak menguasai pejabat-pejabat seperti camat dan RT/RW. Karenanya kalau anggota legislatif mencalonkan diri tidak lebih berbahaya dibandingkan petahana.

"Jadi kalau petahana, keluarga anaknya, istrinya ikut. Pasti dana-dana ke daerah digunakan untuk kepentingan mempopulerkan keluarganya. Dugaan saya MK kurang baca terhadap persoalan demokrasi kita dan semata-mata hanya melihat hubungan konstitusionalnya," lanjut Ray.

Menurut Ray, kalau larangan keluarga petahana dilihat hanya karena membatasi hak politik seseorang maka harus "dibongkar" semua beberapa ketentuan lain. "Misalnya apa dasarnya soal kepala daerah hanya dibatasi dua periode, lalu apa dasar orang yang cacat tidak boleh menjadi presiden dan kepala daerah, serta apa dasar kelompok isme tertentu seperti komunisme tidak boleh dipilih dan memilih?" kata Ray.

Menurutnya kalau mau ditarik semua ke persoalan hak politik individu dan demokrasi maka hal itu akan menjadi liberalisme tanpa kontrol.

BACA JUGA: