JAKARTA, GRESNEWS.COM - Maksud hati memanfaatkan jabatan dengan menggiring proyek untuk perusahaan sendiri. Namun apa lacur perusahaan tak punya kemampuan, ujungnya borok penyalahgunaan wewenang itu terungkap. Laku lancung itu pun menyeret mantan Gubernur Papua periode  2006-2011 Barnabas Suebu ke meja hijau.

Dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas mantan Gubernur Papua ini terungkap menggunakan PT Konsultasi Pembangunan Irian Jaya (KPIJ) untuk menggarap kegiatan Detail Engineering Design (DED) di empat lokasi, yaitu Paniai, Sentani, Urumuka, dan Membramo.

Sebenarnya menggunakan perusahaan pribadi bukanlah masalah, asalkan menggunakan prosedur yang berlaku. Namun sayang, yang dilakukan Barnabas adalah penunjukkan langsung tanpa melalui proses lelang dan hal ini tentu saja melanggar peraturan yang berlaku.

Penunjukkan langsung ini melanggar Pasal 3 huruf a, b, c, d, e, dan f. Kemudian Pasal 5 huruf b, c, e, f, g, h dan Pasal 11 Ayat (1) hurub b, Ayat (4) Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah serta Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

"Terdakwa menginginkan pelaksana kegiatan adalah PT KPIJ miliknya, namun karena tidak memiliki kemampuan melaksanakan proyek DED, terdakwa memerintahkan Lamusi Didi Direktur Utama PT KPIJ untuk mencari perusahaan lain," kata Jaksa Fitroh Rohcahyanto saat membacakan surat dakwaan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (6/7).

Lamusi Didi menjalankan perintah atasannya. Ia menawarkan kerjasama dalam pelaksanaan DED Paniai dan Sentani kepada Direktur PT Indra Karya Cabang Malang yaitu Imam Sujono. Dari persentasi yang dijanjikan Imam, Barnabas merasa puas dan menyetujuinya.

Kongkalikong ini pun berlanjut dengan perjanjian berupa sejumlah imbalan yang dibayarkan dari proyek awal senilai Rp17,35 miliar. "PT Indra Kara mendapat 60 persen dan PT KPIJ 40 persen termasuk pemberian fee yang harus dikeluarkan kepada pihak-pihak terkait," beber Jaksa Fitroh.

Dari hasil survei ternyata nilai proyek berubah menjadi sekitar Rp14 miliar. Dan sesuai perjanjian 40 persen atau sekitar Rp5,7 miliar diberikan kepada PT KPIJ, dan sisanya 60 persen atau sekitar Rp8,6 miliar menjadi bagian dari PT Indra Karya. Dari Rp5,7 miliar, ternyata PT KPIJ hanya menggunakan Rp1,7 miliar untuk biaya proyek. Kemudian sekitar Rp579 juta dibagi-bagikan kepada sejumlah pihak.

Sejumlah nama disebut turut menikmati  uang harap tersebut, seperti Toto Purwanto (mantan Kadis Pertambangan Papu) Rp300 juta, Andarias Prasangka Rp27,5 juta, Panitia Pengadaan Rp170 juta, biaya operasional Rp79 juta. Selanjutnya ada biaya insentif Rp31,7 juta, fee perencanaan Rp110 juta, parsel lebaran Rp4,5 juta, biaya presentasi Rp30 juta dan beberapa biaya lain.

PT Indra Karya yang mendapat kucuran Rp8,6 miliar, ternyata hanya menghabiskan Rp3,5 miliar untuk keperluan proyek dan sisanya juga dibagi-bagikan. Lamusi Didi kebagian Rp2,2 miliar, Prasetijo Adi Rp346 juta, Imam Sudjono Rp600 juta, PT Indra Karya Pusat Rp500 juta, dan Rp914 juta merupakan keuntungan PT Indra Karya Cabang Malang.

TERJADI DI LIMA PROYEK LAINNYA - Hal yang sama juga terjadi pada proyek DED selanjutnya di Urumuka I, II, dan III serta Membaramo I dan II. "PT KPIJ milik terdakwa telah menerima pembayaran uang Rp41,3 miliar, tetapi yang digunakan untuk melaksanakan pekerjaan hanya Rp6,8 miliar, memberi fee pihak lain Rp7,8 miliar, dikembalikan ke kas daerah Rp5,3 miliar dan Rp21,257 miliar digunakan untuk kepentingan diluar proyek," ujar Jaksa lainnya Agus Prasetya.

Dari total keseluruhan proyek DED, Barnabas secara pribadi menerima Rp550 juta, Jannes Johan Karubaba Rp4,8 miliar, Lamusi Didi Rp5 miliar, Geri Wicaksono Rp1,5 miliar, Imam Sudjono Rp1 miliar, Prasetijo Adi Rp760 juta. Pihak korporasi yang diuntungkan yaitu PT KPIJ Rp20,2 miliar, PT Indra Karya Rp2 miliar, PT Geo Ace Rp532 juta.

Atas perbuatannya jaksa menyebut negara dirugikan Rp43 miliar. Sehingga Barnabas dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 18 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Juncto Pasal 65 ayat (1) KUHPidana. Ancaman maksimal dari pasal ini adalah 20 tahun penjara.

Mendengar dakwaan jaksa ini, Barnabas pun langsung menyatakan protes. Barnabas menuding dakwaan yang diajukan Jaksa seluruhnya bersifat imajinasi dan berdasarkan kesaksian palsu yang diberikan saksi sekaligus pelaku kejahatan. "Oleh karena itu, kesaksian itu fitnah atas diri saya dan memcemarkan nama kehormatan saya. Atas dasar itu, kami akan mengajukan eksepsi pada sidang selanjutnya," ujar Barnabas.

PETINGGI FREEPORT IKUT DIPERIKSA - KPK menetapkan Barnabas sebagai tersangka pada 5 Agustus 2014. Johan Budi Sapto Pribowo yang kala itu masih menjabat Juru Bicara menyebut modus yang dilakukan Barnabas yaitu menyalahgunakan wewenang dan menggelembungkan anggaran proyek DED pada PLTA yang awalnya berada di sungai Membramo.

Selain Barnabas, mantan Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Papua Jannes Jonas Karubaba serta Direktur Utama PT KPIJ Lamusi Didi juga terjerat perkara yang sama. Pada 28 Februari 2015, Barnabas akhirnya ditahan penyidik di rumah tahanan KPK. Sedangkan Lamusi di Cipinang, dan Jannes Jonas di Pomdam Jaya Guntur.

Kemudian pada 3 April 2015, KPK kembali menetapkan Barnabas, Lamusi serta Jannes Jonas sebagai tersangka pada kasus sejenis,  namun untuk proyek dan lokasi yang berbeda yaitu Danau Sentani, Paniai dan Papua.

Kasus ini juga menyeret-nyeret nama Freeport. Bahkan Direktur Utama PT Freeport Indonesia, Armando Mahler sempat dimintai keterangan KPK sebagai saksi Jannes Johan Karubaba

Hanya saja  Kepala Bagian Pemberitaan dan Informasi KPK, Priharsa Nugraha kala itu mengaku tak mengetahui keterkaitan Armando dalam kasus Barnabas dan Jannes. "Diperiksa untuk kepentingan penyidikan,"  jawab Priharsa singkat.

BACA JUGA: