JAKARTA, GRESNEWS.COM - Nama Dasep Ahmadi pernah begitu harum di jagad industri otomotif. Bersama hasil karyanya, Evina, Dasep digadang-gadang sebagai pencipta mobil listrik paling sensasional di Indonesia. Bayangkan saja, si Evina yang merupakan kepanjangan Electric Vehicle Indonesia, direncanakan akan diproduksi sebanyak 1000-2000 unit mobil.

Nama Evina sendiri dengan sangat bangganya disematkan oleh direktur PT Perusahaan Listrik Negara (ketika itu) Nur Pamudji. Bahkan saking bangganya PLN pun ikut mensponsori pembuatan Evina selaku penyedia infrastruktur mobil listrik. Sementara untuk manufakturing dikerjakan oleh PT Sarimas Ahmadi Pratama yang didirikan Dasep.

Si Evina ini tadinya bakal dipamerkan pada Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) tahun 2013 di Jakarta. Maklum, dengan rancangan untuk memiliki kecepatan maksimum 120 km/jam dan kemampuan menempuh jarak 135 kilometer untuk sekali pengisian selama empat jam, mobil ini dinilai bakal menjadi city electric car buatan asli dalam negeri yang paling handal.

PLN pun sampai berkomitmen untuk sebanyak 1.000 titik tempat pengisian yang tersebar di Jakarta dan sekitarnya. Menko Perekonomian Hatta Rajasa ketika itupun sempat melakukan uji berkendara (test drive) terhadap Evina. Bahkan Hatta mengaku puas terhadap Evina dan menyebut mobil itu sempurna dan siap dipergunakan.

Demi kelancaran produksi massal mobil listrik, pemerintah Indonesia sendiri telah memberikan insentif terhadap bea masuk komponen-komponen impor yang dipergunakan untuk mobil listrik. Singkat kata, sebelum KTT APEC 2013, si Evina sudah bakal diproduksi. "Pengurusan perizinan uji tipe kendaraan yang dinamakan Evina ini sedang diurus. Diharapkan sebelum kuartal II selesai soal perizinannya," kata Dasep ketika itu.

Sayangnya, bak pepatah untung tak bisa diraih, malang tak bisa ditolak, proyek ambisius mobil listrik hasil kreasi Dasep Ahmadi ini malah berujung perkara. Jelang KTT APEC, dari 16 mobil yang dipesan untuk dibuat dengan biaya Rp32 miliar, ternyata hanya diselesaikan tiga unit yang benar-benar bisa berfungsi oleh PT Sarimas Ahmadi Pratama.

Proyek ini pun kemudian dipermasalahkan dan Kejaksaan Agung kemudian melakukan penyelidikan dan penyidikan atas kasus mobil listrik tersebut. Dua orang telah ditetapkan sebagai tersangka. Yakni Dasep Ahmadi, Direktur Utama PT Sarimas Ahmadi Pratama, perusahaan yang membuat mobil listrik dan mantan Pejabat Kementerian BUMN Agus Suherman. Keduanya dikenakan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor.

Mereka disangka telah melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara. Mereka terancam kurungan 20 tahun penjara. Menteri BUMN (ketika itu) Dahlan Iskan pun ikut diperiksa sebagai saksi dalam perkara ini.

PEMBIAYAAN BERMASALAH - Entah kenapa Dasep yang semula gembar-gembor mampu memproduksi 1000-2000 unit mobil listrik ini, mendadak tak mampu membuat 16 unit prototipe untuk dipamerkan di ajang APEC. Hanya saja, sejak semula semangat membuat mobil listrik ini dinilai memang terlalu kebablasan sehingga demi mewujudkannya, banyak aturan yang ditabrak.

Seturut cerita kuasa hukum Dahlan Iskan, Yusril Ihza Mahendra, sedari awal proyek mobil listrik ini memang sudah kelihatan akan bermasalah, khususnya dari sisi pembiayaan. Saat itu, kata dia, pemerintah memang sedang bersemangat menunjukkan kemampuan Indonesia membangun mobil listrik di forum APEC.

Nah, kliennya, Dahlan Iskan, ketika itu lantas diserahi tanggung jawab untuk mewujudkan proyek ambisius itu. Sayangnya, bak maju perang, Dahlan diserahi tugas sama sekali tanpa amunisi alias sumber dana untuk pembiayaan proyek mobil listrik ini. "Karena itulah kemudian dicarikan jalan keluar," kata Yusril.

Dari berbagai pertemuan dan rapat membahas masalah ini di Kementerian BUMN, maka keluarlah ide untuk membiayai proyek ini lewat jalan menghimpun dana dari biaya promosi BUMN yang tertarik. Saat itu, ada tiga BUMN yang kepincut proyek mobil listrik ini. Mereka adalah Pertamina, PT Gas Negara dan Bank Rakyat Indonesia.

Sesudah berbagai rapat, ditemukan jalan keluar berupa menghimpun dana dari biaya promosi BUMN yang tertarik. Dari ketiga BUMN inilah kemudian terkumpul dana sebesar Rp32 miliar untuk membuat 16 unit mobil listrik yang belakangan hanya disanggupi tiga unit oleh Dasep. Sisanya hanya dijadikan pajangan dalam pameran karya anak bangsa di forum APEC.

Usai APEC, ke-16 mobil listrik kemudian dihibahkan ke beberapa perguruan tinggi tanpa ada kerjasama. Setelahnya, nasib ke-16 mobil itu tak jelas lagi dan mimpi Indonesia memproduksi mobil listrik pun ikut terkubur.

Pihak Kejaksaan Agung pun kemudian mencium adanya "bau amis" dalam kasus mobil listrik yang diduga melibatkan Dahlan Iskan ini. Pihak Kejaksaan Agung berpendapat, hilangnya uang dari ketiga BUMN tersebut senilai Rp32 miliar, merupakan sebuah kerugian negara. Sehingga Kejagung berpendapat, ada unsur korupsi dalam perkara mobil listrik ini.

Penyidik Kejaksaan Agung pun kemudian bergerak cepat memeriksa sejumlah pejabat BUMN, termasuk memeriksa Dahlan Iskan sebagai Menteri BUMN saat itu. Hasilnya Dasep dan Agus ditetapkan sebagai tersangka. Sedangkan Dahlan, sejauh ini baru berstatus sebagai saksi.

Dalam perkara ini, Dasep dinilai tidak memenuhi kewajiban menyelesaikan pengadaan mobil listrik. Sebab, dari 16 mobil yang dipesan, hanya tiga unit yang selesai dibuat. Sedangkan Agus dituding menyalahi wewenang dengan meminta BRI, PGN, dan Pertamina mengucurkan dana untuk proyek itu senilai Rp32 miliar.

YUSRIL NGOTOT INI PERKARA PERDATA - Terhadap kasus ini, Yusril Ihza Mahendra berbeda pandangan dengan penyidik. Yusril menggiring kasus ini mobil listrik ini pada ranah perdata bukan pidana. "Menurut saya, ini lebih ke arah perdata antara BUMN dan perusahaan mobilnya," katanya kepada Gresnews.com.

Yusril menjelaskan, peran Kementerian BUMN dalam proyek pengadaan mobil listrik juga sangat sedikit. Sebab, Kementerian hanya sebagai inisiator proyek mobil listrik, mengacu pada beberapa kali rapat kabinet pada tahun 2013 lalu.

Sebagai inisiator, Kementerian menawarkan solusi kepada pemerintah agar proyek itu dibiayai menggunakan dana sponsorship, bukan CSR dari perusahaan-perusahaan BUMN. Kementerian kemudian mengadakan rapat dengan berbagai perusahaan BUMN.

Hasilnya, BRI, PGN, dan Pertamina setuju mendanai proyek itu. "Setelah itu, kontrak kerja samanya dilakukan antara Dasep dan tiga BUMN itu. Jadi tak ada kerja sama dengan Pak Dahlan," ujar Yusril.

Ketika tiga BUMN dan Dasep membuat kontrak, ujar Yusril, hubungan kerja samanya murni business to business. Sebab, dana sepenuhnya berasal dari tiga BUMN itu. Sedangkan Kementerian BUMN tak ikut campur sama sekali.

Yusril menegaskan, dana BUMN adalah dana bisnis perusahaan, bukan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dengan begitu, negara tak dirugikan sama sekali.

"BUMN itu bukan didanai negara, tapi dibentuk negara untuk bisnis. Misalnya bank BUMN. Masak, tiap kali transaksi bisnis harus lapor ke Kementerian?" tuturnya.

KEJAGUNG NGOTOT KASUS INI PIDANA - Namun Kejaksaan Agung tetap menegaskan kasus mobil listrik adalah pidana. Jaksa Agung HM Prasetyo menyangkal pernyataan Yusril tersebut. Prasetyo menyatakan kasus mobil listrik adalah pidana berdasar bukti yang ada.

"Itu terserah mereka (kasus perdata), itu hak mereka, kita akan buktika," kata Prasetyo di Kejaksaan Agung, Jumat (19/6).

Kepada Gresnews.com salah satu jaksa penyidik menyampaikan, jika kasus ini memang akan ditarik ke ranah perdata, seharusnya sejak proyek ini gagal, ketiga BUMN tersebut melakukan gugatan kepada pembuat.

"Harusnya mereka menyatakan pembuat wanprestasi. Tapi nyatanya dua tahun kasus ini didiamkan begitu saja. Bahkan mobil listrik yang gagal tersebut dihibahkan kepada perguruan tinggi," kata penyidik yang tidak mau disebutkan namanya itu.

Dia menyebut, penggunaan kekayaan negara yang dipisahkan dari APBN/APBD ke lembaga lain atau BUMN memang ada yang dinilai sebagai aset privat. Apabila terjadi kerugian, maka penyelesaiannya berada di ranah perdata. Namun ada juga yang mengatakan jika ditemukan kerugian akibat korupsi, maka diselesaikan di ranah pidana.

Kepala Subdirektorat Penyidikan Kejaksaan Agung Sarjono Turin mengatakan, Kejaksaan dalam kasus ini telah menemukan adanya unsur kerugian negara. Dalam hal ini, ada dana negara sebesar Rp32 miliar yang telah mengucur, namun mobil listrik tak berfungsi.

Penyidik mengaku telah memiliki bukti kuat bahwa kasus mobil listrik ini adalah kasus pidana. "Bukti formil sudah ada, tinggal bukti materiil saja," kata Sarjono Turin kepada Gresnews.com.

PERKARA PERDATA ATAU PIDANA? - Lantas bagaimana sebenarnya status perkara mobil listrik ini? Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) UGM Hifdzil Alim enggan berkomentar banyak soal kasus mobil listrik ini. Namun menurut dia, dilihat dari sudut hukum pidana khususnya Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), jelas kasus yang ditemukan unsur kerugian negara adalah pidana.

Dalam kasus mobil listrik, uang yang digunakan adalah uang perusahaan BUMN yang seharusnya dipergunakan untuk pengembangan perusahaan. Hanya saja, kata Hifdzil, kasus ini juga akan berbeda jika dilihat dari hukum bisnis. "Saya tidak berkomentar terlalu jauh," kata Hifdzil saat dihubungi Gresnews.com, Jumat (19/6).

Sementara itu, pakar hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Muzakkir menilai kasus mobil listrik ini jelas merupakan kasus pidana. Dia menilai, proses pengadaannya, khususnya terkait pembiayaan, memang menyalahi aturan. "Jadi sejak awal kasus ini memang kasus pidana," katanya kepada Gresnews.com.

Dahlan Iskan sebagai inisiator proyek ini mengaku sedih karena kasus mobil listrik ini diseret ke ranah pidana. Dahlan Iskan pun menyatakan bersedia mengembalikan dana yang telah dikeluarkan BUMN untuk mensponsori mobil listrik tersebut.

Hanya saja kata Yusril, kesediaan Dahlan mengembalikan dana tersebut bukan berarti Dahlan mengaku bersalah. "Itu watak Pak Dahlan. Dulu, ketika para suporter Persebaya melakukan perusakan di kereta api, Pak Dahlan sebagai Ketua Persebaya waktu itu menyatakan akan mengganti seluruh kerugian," kata Yusril.

BACA JUGA: