JAKARTA, GRESNEWS.COM – Pegawai negeri sipil (PNS) dianggap sebagai pelayan publik. Sehingga PNS harus netral dari kepentingan politik dan tidak boleh membedakan masyarakat saat memberikan pelayanan. Bebasnya PNS dari kepentingan politik dianggap akan membuat birokrasi menjadi efektif. Alasan itulah,yang menghasrukan PNS mengundurkan diri ketika ingin mencalonkan diri dalam pilkada.

Pandangan ini disampaikan Mantan Wakil Menteri PAN-RB Eko Prasojo  dalam sidang pengujian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN). pengujian UU ini diajukan Abdul Halim Soebahar, Sugiarto, dan Fatahillah.

Para pemohon menggugat Pasal 87 ayat (4) huruf c, Pasal 119, Pasal 123 ayat (3), dan Pasal 124 ayat (2) UU ASN. Pasal-pasal yang digugat tersebut berisi ketentuan pegawai negeri sipil (PNS) diberhentikan tidak dengan hormat karena menjadi anggota atau pengurus partai politik. Seorang PNS juga wajib menyatakan pengunduran dirinya secara tertulis ketika ingin berkompetisi dalam pilkada dan surat pengunduran diri tersebut tidak dapat ditarik kembali.  

Eko Prasojo yang diajukan sebagai Ahli dalam sidang pengujian itu mengatakan tuntutan masyarakat semakin meningkat seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, ekonomi bebas ASEAN, dan penyebaran wabah penyakit menular serta bencana alam. Perkembangan-perkembangan tersebut memerlukan kesigapan pemerintah untuk memberikan pelayanan yang tepat sasaran, efisien, dan efektif.

“Untuk menjawab tantangan tersebut, pemerintahan harus didukung aparatur sipil negara yang handal, responsif, dan peka terhadap berbagai kebutuhan masyarakat,” ujar Eko dalam sidang pengujian UU ASN di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (16/6).

Ia menambahkan kondisi birokrasi di Indonesia juga masih jauh dari harapan. Berdasarkan data dari Global Economy, indeks efektivitas pemerintahan Indonesia pada 2013 minus 0,24 dari rata-rata indeks semua negara yang disurvei yaitu 0,01. Jika diurut, Indonesia menempati urutan 103 dari 192 negara. Posisi ini tertinggal dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya seperti Malaysia, Thailand, dan Filipina.

Salah satu penyebab ketidakefektifan pemerintah lantaran pegawai yang tidak profesional dan tidak berkinerja. Keberadaan pegawai yang lambat dan berbelit-belit disebabkan sistem yang keliru yang diterapkan selama ini. Sistem selama ini, Pegawai Negeri Sipil (PNS) tidak dikelola dengan baik dan sering dijadikan alat mobilisasi politik penguasa dan calon penguasa khususnya menjelang pilkada.

Karir PNS juga ditentukan oleh kedekatan dan senioritas, orientasinya tidak berprinsip pada pelayanan masyarakat tapi pelayanan kepuasan penguasa dan kroninya. Sehingga berkinerja atau tidak, pendapatan seorang PNS sama saja. PNS yang dianggap memiliki karir yang memiliki kedekatan dengan atasan atau hubungan politik.

Menurutnya, UU yang digugat lahir untuk memperbaiki ASN. Sehingga sistem karir yang semula dinilai dari kedekatan dengan atasan diubah ke pada sistem kompetisi yang lebih terbuka dalam pengisian jabatan tinggi. Peningkatan karir PNS pun kini didasarkan pada kompetensi dan kualifikasi atas kinerja secara adil dan wajar tanpa membedakan politik, ras, warna kulit, agama, dan status perkawinan.

Ia menambahkan jabatan politik terbagi dua jenis yaitu jabatan-jabatan yang ditunjuk oleh pejabat politik yang dipilih dan jabatan yang diperoleh dari pemilu. Jabatan yang ditunjuk misalnya menteri, jaksa agung, kapolri, Ketua dan wakil ketua badan pemeriksa keuangan, komisi yudisial, komisi pemberantasan korupsi, dan lainnya. Sementara, jabatan yang dipilih secara langsung terdiri dari presiden dan wakil presiden, anggota DPR, DPD dan kepala daerah.

“Khusus bagi PNS ada konsekuensi yang diterima ketika menduduki jabatan politik tertentu. Konsekuensi tersebut diberikan untuk menghindari terjadinya konflik kepentingan dan menjaga marwah ASN yang bersih dari intervensi politik,” lanjutnya.

Sebab menurutnya birokrasi yang tidak terpolitisasi akan menjamin stabilitas pemerintah. Netralitas tersebut akan menciptakan sistem yang langgeng, berkesinambungan, dan imparsialitas dalam melakukan pelayanan publik. Sehingga idealnya birokrasi tidak berpolitik dan hanya fokus  pada admnistrasi dan pelayanan pada masyarakat. Untuk itu, seorang PNS harus mundur dari jabatannya ketika akan maju dalam kompetisi pilkada agar netral bagi semua golongan dan tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan pada masyarakat.

Pada kesempatan terpisah, Kuasa hukum pemohon Fathul Hadie Utsman mengatakan seharusnya PNS yang mencalonkan diri sebagai pejabat negara cukup dinonaktifkan sementara saja selama menjabat. Ketika sudah tidak menjabat, PNS bersangkutan harusnya bisa diaktifkan kembali. Menurutnya, aturan ini bertentangan dengan hak politik bagi seseorang.

“ketentuan ini tidak sesuai dengan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,” ujar Fathul di Gedung MK.

BACA JUGA: