JAKARTA, GRESNEWS.COM - Penetapan tersangka mantan Direktur Utama PT PLN Dahlan Iskan oleh Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta dalam kasus pembangunan Gardu Induk unit pembangkit dan jaringan Jawa Bali Nusa Tenggara tahun 2011-2013 dipersoalkan sejumlah pihak. Sekelompok orang yang mengatasnamakan Masyarakat Cinta Dahlan Iskan (MCDI) meminta Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta melihat kasus ini secara jernih karena yang dilakukan Dahlan sebagai terobosan untuk melakukan percepatan untuk menerangi Indonesia.

"Kami terpukul dan menyayangkan yang dilakukan Kejati DKI Jakarta. Itu hanya trik Kejaksaan dengan mengaitkan Dahlan sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA)," kata Koordinator MCDI Adi Partogi kepada Gresnews.com, Sabtu (13/6).

Adi, yang juga advokat ini, mengatakan, Dahlan yang ditetapkan selaku KPA juga masih sumir. Sebab KPA berdasarkan Pasal 1 angka 6 Perpres Nomor 54 Tahun 2010 adalah pejabat yang ditetapkan Pengguna Anggaran untuk menggunakan APBN. Maka kedudukan KPA harus dilihat sebagai aparatur yang hanya menjalankan kuasa, sehingga kewenangannya pun terbatas pada wewenang yang diberikan. Bahwa wewenang itu dibatasi atas pertimbangan tingkatan daerah, besaran SKPD, besaran jumlah uang yang dikelola, beban kerja, lokasi, kompetensi, rentang kendali, dan pertimbangan objektif lainnya. "Nah dimanakah letak kesalahan beliau (Dahlan) sebagai KPA?" kata Adi.

Karenanya, MCDI mendesak Kejati DKI untuk segera menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Penetapkan tersangka Dahlan harus dibatalkan karena tidak sesuai fakta hukum dan lebih banyak didasarkan soal non hukum. "Jelas, penetapan tersangka lebih didasarkan faktor non hukum," kata Adi.

Penasehat Hukum Dahlan Iskan, Yusril Ihza Mahendra, juga menengarai penetapan tersangka atas kliennya tidak soal hukum saja. Ada kepentingan lain yang melatari. Namun Yusril enggan berbicara lebih jauh. Mantan Menteri Hukum dan HAM ini akan fokus menelaah lebih dulu dasar penetapan tersangka Dahlan Iskan.

Sementara itu Kepala Seksi Hukum Kejati DKI Waluyo menegaskan bahwa penetapan tersangka Dahlan didasarkan fakta hukum dan dua alat bukti yang cukup. Waluyo membantah ada unsur politis penetapan tersangkanya.

"Tidak ada, penyidik menetapkan tersangka tidak main-main harus ada minimal dua alat bukti. Itu sudah terpenuhi dari keterangan saksi dan bukti dokumen," kata Waluyo.

Seperti diketahui Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta menetapkan Dahlan sebagai tersangka. Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Adi Togarisman mengatakan, penetapan ini sudah melalui evaluasi yang dilakukan penyidik. Setelah itu, tim mengeluarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor 752 dan menetapkan Dahlan Iskan yang juga mantan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini sebagai tersangka. "Sesuai pendapat tim penyidik menyatakan bahwa saudara DI (Dahlan Iskan-red) yang diperiksa telah memenuhi syarat untuk dipenuhi tersangka berdasarkan dua alat bukti," ujar Adi dalam konferensi pers di kantornya, Jumat (5/6).

Adi menjelaskan, dua alat bukti tersebut terkait anggaran multiyears dan penyelewengan pembayaran proyek yang digunakan. Dana yang digunakan dalam proyek ini berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2011-2013 sebesar Rp1 triliun.

"Ada dua permasalahan pokok berkaitan pemeriksaannya. Yaitu sistem multiyears dan pembayaran proyek.   Ada ketentuan yang dilanggar, sehingga dari keterangan seluruh pihak kami simpulkan ada dua alat bukti," ungkap Adi.

Adi menyatakan, salah satu indikasi penyelewengan tersebut diantaranya manipulasi proyek. Dari 21 gardu listrik yang dianggarkan, ternyata hanya empat yang dibangun pihak PLN, hal itu disebabkan dalam proyek multiyears tersebut status tanah yang digunakan untuk pembangunan belum tuntas.

"Pembangunan konstruksi bukan barang maka pembayaran sesuai penyelesaian proyek.  Bukan materi yang dibeli rekanan. Proyek ini berkebalikan, pembayaran sesuai perkembangan hasil pekerjaan. Kalau multiyears bisa diizinkan kalau masalah tanah tuntas, ini enggak. Dari 21 yang dibangun, empat milik PLN sisanya enggak," tutur Adi.

Dalam proyek ini, Dahlan yang juga menjadi bos di salah satu media nasional ini merupakan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA). Akibat perbuatannya, negara mengalami kerugian cukup besar yaitu sekitar Rp33 miliar. Dahlan dijerat Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang ancaman nyahukuman pidana maksimal 20 tahun penjara.

BACA JUGA: