Rini (38) tampak sibuk merapikan tumpukan buku dan alat tulis. Raut mukanya tampak lelah, terlihat dari sorot matanya yang kadang sayu. "Jam 5 pagi sudah bangun, setengah enam sudah jalan ke sekolah pulang malam, jadi pergi pergi gelap pulang gelap tapi nggak kaya-kaya judul nya," katanya membuka pembicaraan dengan gresnews.com.

Jarak rumahnya yang di pinggiran kota Jakarta dengan tempat dia mengajar yang terletak di kawasan Jakarta Pusat memang cukup jauh. Kemacetan parah di sekitar tempat tinggalnya pun memaksanya untuk berangkat lebih awal. Selain itu, sebelum pergi mengajar, sebagai orang tua tunggal, Rini juga harus meluangkan waktu mengurus kedua orang putrinya yang berumur 15 dan 9 tahun terlebih dahulu.

Rini mengaku sudah 13 tahun menjalani profesi sebagai tenaga pengajar honorer. Awalnya adalah saat dia mengajar di sebuah sekolah dasar di Kebayoran Lama Jakarta Selatan selama 6 tahun dari tahun 2002 hingga 2008. "Pertama mengajar cuma di gaji Rp300 ribu," ungkapnya.

Pada tahun 2009 hingga sekarang dirinya mendapat kesempatan untuk pindah ke sekolah tempat dirinya mengajar saat ini di sebuah SD di bilangan Jakarta Pusat. Di tempat ini, gaji yang diterima Rini "sedikit" lebih baik yaitu mencapai Rp1 juta.

"Baru aja naik, tadinya Rp800 ribu tanpa ada tunjangan apapun, kadang juga telat, 2-3 bulan baru turun," keluhnya.

Meski begitu Rini mengaku tetap semangat menjalani profesinya sebagai pengajar yang ia rasakan sudah menjadi panggilan hidup. Beban ekomoni yang di alaminya karena harus menghidupi kedua orang orang anaknya tidak dihiraukannya.

"Biar gaji sedikit yang penting berkah, mau apalagi, korupsi? Lagian juga guru apaan sih yang mau di korupsi?" tegas Rini.

Beruntung ada beberapa orang tua murid yang memberinya tambahan rejeki dengan memintanya untuk memberikan les privat dengan biaya sukarela. Melihat dan mendengar anak muridnya tertawa ceria menjadi penghibur buat Rini untuk sejenak melepas penat akibat deraan kesulitan hidup.

"Kalau murid manggil saya Bu Guru itu rasanya senang banget…ada kebanggaan tersendiri…padahal siapa yang tahu kita lagi susah atau apa?" kata Rini sembari tersenyum.

Rini sedikit menyesalkan sikap pemerintah yang ia rasakan kurang memperhatikan nasib para guru honorer. Dia merasa guru honorer seperti dirinya dan teman-teman sesama guru honorer yang mungkin sudah mengabdi selama puluhan tahun belum mendapatkan perhatian yang setimpal dari pemerintah.

Rini berharap pemerintah memberikan perhatian lebih kepada para guru honorer dengan segera mengangkat para guru honorer menjadi Pegawai Negeri sipi (PNS). "Biar bisa meningkatkan taraf hidup atau minimal dibayar sesuai Upah Minumum Provinsi (UMP)," tambahnya.

Selasa (15/9) lalu, gedung Dewan Perwakilan Rakyat di datangi ribuan guru honorer mewakili para guru honorer se-Indonesia. Dalam aksi ini turun langsung sekitar 6 ribu guru. Secara umum mereka menuntut peningkatan status honorer menjadi pegawai negeri sipil.

Pemerintah pun merespons melalui Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi. Yuddy menyatakan, pemerintah dan DPR menyepakati pengangkatan status guru honorer menjadi PNS secara bertahap. Namun, tidak semua guru honorer bisa mendapatkan kenaikan status. Dengan alasan terkait aturan dan keterbatasan anggaran.

Bila semua guru honorer di Indonesia diangkat menjadi PNS, maka negara butuh dana sebesar Rp900 triliun. Perhitungan itu di luar pos anggaran untuk pensiunan dalam waktu 8-12 tahun.Pemerintah berencana mengangkat 439.956 guru honorer sebagai PNS.

Proses itu akan dilakukan secara bertahap dalam empat sampai enam tahun ke depan dan bila diakomodasi, maka akan mengeluarkan anggaran lebih dari Rp34 trilliun per tahun. (Edy Susanto/Gresnews.com)

BACA JUGA: