JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah melalui Kementerian Perindustrian menyatakan banyaknya pabrik gula yang dimiliki Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tidak efisien. Maka dari itu, Kementerian Perindustrian meminta agar jumlah pabrik gula milik BUMN dikurangi.

Menteri Perindustrian Saleh Husein mengatakan pabrik gula BUMN rata-rata memiliki kapasitas yang relatif kecil tidak lebih 4000 ton tebu per hari. Selain itu mesin-mesin yang digunakan sudah sangat tua yang mayoritas diatas 100 tahun.

Apalagi jumlah karyawan pabrik gula BUMN sangat banyak sekitar 1000 orang dan dalam setahun hanya beroperasi sekitar 150 hari. "Akibatnya efisiensi dan mutu gulanya relatif rendah," kata Saleh di Komisi VI DPR RI, Jakarta, Senin (6/4).

Dia menuturkan, saat ini kebutuhan gula nasional mencapai 5,7 juta ton, terdiri dari 2,8 juta ton gula kristal putih untuk konsumsi langsung masyarakat, dan 2,9 juta tol gula kristal rafinasi untuk memenuhi kebutuhan industri. Dia mengungkapkan saat ini gula kristal putih diproduksi oleh 64 pabrik, dimana terdapat 50 pabrik gula BUMN dan 12 pabrik gula swasta yang menggunakan bahan baku tebu.

Kata Saleh, salah satu cara mendorong peningkatan produksi dan kualitas gula yang lebih baik, pemerintah mendorong pengembangan perkebunan tebu baru dan dibangun pabrik gula baru di luar pulau Jawa dengan kapasitas yang besar, yaitu minimal 10.000 ton tebu per hari. Hal itu dilakukan agar dimungkinkan untuk berintegrasi dengan misalnya, industri bioethanol. "Ini agar lebih efisien dan dapat bersaing dengan produsen luar negeri," katanya.

Dalam kesempatan terpisah, pengamat pertanian Khudori mengatakan, pemerintah memang harus melakukan revitalisasi pabrik gula, khususnya pabrik gula milik BUMN yang kebanyakan memproduksi gula untuk konsumsi. Khudori mengatakan, pabrik gula konsumsi dari berbagai sisi banyak mengalami hambatan.

"Pabrik gula konsumsi harus mengandalkan pasokan tebu yang akan disimpan menjadi gula dari lahan petani," ujarnya kepada Gresnews.com.

Ketika disimpan, kata Khudori, juga tidak mudah untuk mengatur manajemennya. Proses manajemen ini cukup panjang rantainya mulai dari manajemen penanaman, penebangan, pengangkutan hingga penggilingan. Kemudian juga harus bisa disatukan antara petani dan pabrik gula dalam hal berproduksi karena sering kali terjadi perbedaan pandangan.

"Sering kali tidak cocok antara pabrik gula yang menginginkan harus tanam bulan sekian tapi kan petani tidak mudah diatur," kata Khudori.

Khudori menjelaskan, dari sisi manajemen tebang, mengelola pabrik tebu konsumsi tidaklah mudah. Jika dari sisi pengaturan tanam tidak bisa diatur dengan baik, bisa dipastikan masa tebang akan menjadi masalah. "Ketika tebang menjadi masalah, pastinya penggilingan juga bermasalah karena kapasitas pabrik gula yang sebagian besar dimiliki oleh BUMN masih sangat kecil," ujar Khudori.

Kata Khudori, jika penggilingan tidak diatur dan pasokan gula menumpuk di hari-hari tertentu pastinya tidak tergiling. "Apalagi tebu tidak memiliki daya simpan yang lama. Artinya jika dalam beberapa hari tidak tergiling pasti rendemennya turun dan kadar gulanya turun bahkan bisa membusuk," ujarnya.

Hal ini tidak terjadi pada pabrik gula rafinasi yang kebanyakan dimiliki pihak swasta. Pabrik gula rafinasi bisa berproduksi sepanjang tahun karena bahan bakunya impor dan sepanjang izin impornya dikeluarkan oleh pemerintah.

Khudori mengatakan, permasalahan tanam, kegagalan panen, manajemen tebang dan pengangkutan yang ada di pabrik gula konsumsi, tidak ada pada pabrik gula rafinasi. Menurut Khudori, dari sisi risiko pun jauh lebih berat pabrik gula konsumsi ketimbang pabrik gula rafinasi.

Dengan begitu industri gula rafinasi yang berbahan baku terjamin dan murah tentunya akan menetapkan HPP jauh lebih murah dengan membanderol harga per kilogram. Kalau dilempar ke pasar dengan harga banting, industri gula rafinasi masih tetap untung.

"Nah makanya perlu revitalisasi pabrik gula terutama di Jawa. Apalagi punya BUMN yang masih peninggalan Belanda. Mau tidak mau harus dilakukan revitalisasi," kata Khudori.

BACA JUGA: