JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dikabarkan akan segera memutus perkara gugatan warga negara terhadap privatisasi pengelolaan air di Jakarta, Selasa (24/3). Demikian disampaikan Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ), Minggu (22/3), saat memperingati Hari Air Sedunia.

Putusan ini menjadi sangat penting, kata kuasa hukum KMMSAJ, Muhammad Isnur kepada gresnews.com, karena gugatan itu diajukan untuk kepentingan masyarakat DKI Jakarta agar mendapatkan layanan air yang berkualitas dan dapat diakses oleh setiap warga negara termasuk mereka yang miskin.

"Melalui gugatan ini, masyarakat dapat membebaskan Pemprov DKI Jakarta dan PAM Jaya dari Perjanjian Kerja Sama (PKS) yang timpang penyebab Air Jakarta dikelola oleh swasta asing seperti Palyja dan Aetra," kata Isnur.

Gugatan Warga Negara yang didaftarkan sejak 21 November 2012 ini, lanjutnya, pada pokoknya menuntut pembatalan kontrak kerja sama pengelolaan air antara PAM Jaya dengan swasta asing, yaitu Palyja dan Aetra, serta mengembalikannya kepada negara.

Alasannya, merujuk pada Pasal 33 UUD 1945. Disebutkan, "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat". Selanjutnya Undang-Undang Sumber Daya Air mengamanatkan, air dikelola oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran Rakyat.

Fakta lainnya, hak untuk dapat memperoleh atau akses air adalah hak asasi manusia yang harus dijamin, dilindungi dan dipenuhi oleh negara, pemerintah untuk seluruh warga negara. Sebab air adalah Res Commune, milik publik, tidak boleh dijadikan barang komoditas.

Kenyataannya, kata Isnur, privatisasi air Jakarta dilakukan melalui perjanjian selama 25 tahun, yakni sejak 1997 hingga 2022, dikelola oleh swasta. Akar persoalan pengelolaan air di Jakarta adalah Perjanjian Kerjasama (PKS) antara Perusahaan Air Minum (PAM) Jaya dengan PT Palyja (Suez-Perancis) dan PT Aetra (Thames-Inggris) yang ditandatangani pada 1997 pada era pemerintahan Presiden Soeharto.

Perjanjian kerjasama tersebut dinilai sangat timpang dan mengandung berbagai persoalan yang menjerat dan melemahkan pemerintah, dalam hal ini PAM Jaya sebagai pemegang daulat rakyat atas pengelolaan air untuk kesejahteraan rakyat.

"Banyak alasan kenapa kami menggugat," tegasnya. Di antaranya, kata dia, Perjanjian Kerjasama dibuat dengan melanggar berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengakibatkan Negara-PAM Jaya sebagai lembaga negara yang diberikan kewenangan perat perundang-undangan kehilangan kewenangan pengelolaan air Jakarta.

Kemudian audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) 2009 menemukan penyimpangan pengadaan barang dan jasa, dugaan penggelapan aset, penghitungan dan penetapan tarif tidak sesuai dengan ketentuan. Selanjutnya, masyarakat dirugikan, khususnya, mereka yang kurang mampu tidak memperoleh pemenuhan hak atas air dari negara.

Bahkan, kata Isnur, perjanjian itu mengakibatkan kerugian negara yang besar. Sejak diberlakukannya Perjanjian PKS, selama tahun 1998 sampai dengan tahun 2012, PAM Jaya membukukan akumulasi kerugian sebesar Rp1.179.747.577.095.

"Hal itu diketahui dari jawaban gugatan Pemprov DKI Jakarta," jelasnya. Ketika PKS tersebut dilanjutkan sampai 2022, ia memperkirakan kerugian akan mencapai Rp18,2 triliun.

Selain itu, PAM Jaya kehilangan kewenangan yang dimandatkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 13 Tahun 1992 untuk Pengusahaan, Penyediaan dan Mendistribusikan air minum kepada warga masyarakat. Sebab Dalam PKS PAM Jaya hanya berwenang menjadi pengawas tanpa memiliki "kuasa" untuk mengoreksi dan memberi sanksi terhadap pelanggaran PKS oleh PT Palyja dan PT Aetra.

Sistem Water Charge (Imbalan Air kepada Swasta), ujar Isnur, yang mengakibatkan tingginya harga air di Jakarta (harga Air di Jakarta tertinggi di Indonesia dan se-Asia Tenggara).

"Tarif air minum rata-rata di DKI Jakarta sudah tertinggi di Indonesia, bahkan di antara beberapa negara di Asia Tenggara," ungkapnya.

Tarif rata-rata air di Jakarta sangat mahal, yakni sebesar Rp7.800/m3. Tarif ini merupakan tarif air tertinggi dibandingkan kota-kota lain di Indonesia, bahkan termasuk tertinggi dibandingkan negara-negara Asia lain setelah Singapura, Hongkong, Manila, Beijing dan Macao. Namun dengan kualitas air di bawah Kota Phnom Penh, Kambodja.

Data Menteri Pekerjaan Umum 23 Februari 2006, tarif air minum rata-rata per m3 di DKI Jakarta pada waktu itu telah setara USD0,7, sedangkan negara lainnya seperti Singapura USD0,35 (kualitas siap minum), Filipina (USD0,35), Malaysia (USD0,22), dan Thailand (USD0,29).

Menepis tuduhan swastanisasi hanya bertujuan untuk mencari keuntungan semata, Palyja dalam sidang dengan agenda menghadirkan bukti-bukti pada Oktober 2014 lalu, menunjukkan bukti dalam video, bahwa tarif air bersih di Jakarta tidak naik sejak 2007.

Seperti dikutip dari palyja.co.id, Minggu (22/3), disebutkan tarif air terendah Rp1.050 untuk masyarakat berpenghasilan rendah hingga Rp12.000 untuk kalangan industri. Ditunjukkan juga kalau Palyja berkewajiban membayar utang PT PAM Jaya senilai Rp854 miliar dari total Rp1 triliun ke Kementerian Keuangan. Kewajiban ini dilakukan sebagai bagian dari perjanjian akuisisi.

Sementara kendala yang ditemukan Palyja, diantaranya, bahan baku air tidak pernah bertambah sejak tahun 1998. Sebaliknya kebutuhan air terus meningkat. Disebutkan, pasokan air baku untuk Jakarta sebanyak 18 ribu meter kubik per tahun sementara kebutuhan air Jakarta sebanyak 21-26 ribu meter kubik per tahun. Artinya Jakarta defisit air 3-8 ribu meter kubik per tahun.

 

BACA JUGA: