JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah akhirnya mengeluarkan Peraturan Pemerintah No 1 Tahun 2014 dan Keputusan Menteri No 1 Tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian di Dalam Negeri yang diberlakukan per 12 Januari 2014, kemarin. Namun hingga saat ini baru kurang dari 15 perusahan tambang yang telah memiliki fasilitas pengolahan hasil tambang atau smelter. Sisanya sekitar 153 perusahaan tambang diketahui belum memiliki smelter.

Namun pemerintah memberikan waktu selama tiga tahun kepada para pengusaha tambang itu untuk membangun fasilitas tambang. Menurut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jero Wacik rincian perusahaan yang belum memiliki smelter diantaranya sebanyak  112 perusahaan sedang membuat studi kelayakan untuk pembangunan pabrik smelting, 16 perusahan baru mengurus surat Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dengan kemajuan 6 persen sampai 10 persen, 15 perusahaan sampai tahap konstruksi awal atau sudah melakukan groundbreaking, dan 10 perusahaan lainya sedang dalam tahap pertengahan pembangunan. Sementara  25 perusahaan yang sudah dalam tahap konstruksi akhir.

"Nah 25 perusahaan ini yang sudah kita paksa untuk mempercepat pembangunan smelter. Kalau sudah jadi ini sudah menyelamatkan setengah dari kehidupan mineral Indonesia," kata Jero di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Senin (13/1).

Jero mengungkapkan dalam menetapkan kedua kebijakan tersebut pemerintah memiliki pertimbangan-pertimbangan khusus, diantaranya aspirasi masyarakat menyangkut terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) buruh di 66 perusahaan tambang nasional. Kedua, terkait pemerintah daerah yang pendapatan asli daerahnya berasal dari mineral. Menurutnya pemerintah pusat juga akan mendesak pengusaha tambang yang berada di daerah untuk membuat fasilitas smelter.

Jero menghimbau kepada pengusaha tambang yang berencana melakukan PHK massal agar bersabar dan tidak usah melakukan PHK. Jero menyarankan agar perusahaan mengistirahatkan pekerja tambangnya, namun perusahaan tetap memberikan gaji. "Jadi sabarlah sebentar. Istirahat saja pekerjanya tapi tetap digaji. Boleh menambang tetapi tidak boleh diekspor mentahnya," kata Jero.

Jero mengatakan tujuan PP No 1 Tahun 2014 dan Kepmen No 1 Tahun 2014 agar pengusaha tambang tidak lagi mengekspor mineral dalam keadaan mentah. Menurut Jero jika Indonesia mengekspor hasil pengolahan mineral dari barang mentah menjadi barang jadi maka akan menghasilkan nilai tambah yaitu harganya menjadi lebih mahal. Disatu sisi nilai tambah lainnya yaitu jumlah tenaga kerja menjadi terserap.

Dengan penerapan kedua kebijakan tersebut nantinya investasi untuk mengolah hasil barang mentah mineral akan tetap mengalir. Di satu sisi dengan penerapan kedua kebijakan tersebut nantinya lingkungan Indonesia menjadi terjaga. "Selama ini hasil tambang dikeruk lalu diangkat pakai kapal tongkang berangkat ke luar negeri dengan volume yang besar. Lalu dibiarkan lingkungan kita rusak," kata Jero.

Sementara itu, Asosiasi Tembaga Emas Indonesia (ATEI) menilai keputusan  pemerintah dengan menerbitkan PP No.1/2014 dan Permen ESDM No.1/2014 tentang peningkatan nilai tambah mineral melalui pengolahan dan pemurnian sudah tepat. Pasalnya, kebijakan tersebut telah mengakomodasi semua kepentingan baik pemerintah pusat dan daerah, maupun pengusaha pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP), baik IUP khusus Pengolahan pemurnian serta Kontrak Karya (KK) untuk mineral tembaga. “Keputusan pemerintah ini tepat, ekspor hasil olahan konsentrat tembaga 15 persen tetap berjalan, PHK besar-besaran dapat terhindar, ekonomi daerah tetap bergerak, tujuan program hilirisasi minerba pun jalan,” kata Ketua ATEI Natsir Mansyur.

Natsir mengatakan ekspor ore (bahan mentah) seharusnya bisnisnya jelas, walaupun Kontrak Karya selama ini  mengekspor hasil olahan konsentrat diatas 20 persen. “Itu silahkan aja KK-nya, ini kan jelas nilai tambahnya naik 30 persen dari 0,5 menjadi 15 persen,” Kata Natsir yang juga merupakan Dirut PT.Indosmelt.

Natsir menambahkan, khusus penetapan Bea Keluar (BK) pihaknya meminta  Kementerian Keuangan untuk membahasnya dengan Kadin, ATEI, Asosiasi Mining Indonesia (AMI) karena ada pertimbangan teknis dalam penetapannya. “Kami berharap Kemenkeu tidak sepihak menetapkan BK. Semangat PP No.1/2014 dan Permen ESDM No.1/2014 sudah tepat mengajak pelaku dunia usaha dalam penetapannya,” ungkap dia.

Sebelum PP dan Permen diberlakukan, dalam menetapkan kadar minimum mineral Kementerian ESDM mengaku telah mengajak bicara kepada Kadin dan pemangku kepentingan lainnya seperti ATEI, AMI, pemilik IUP, IUP khusus pengolahan pemurnian, KK PT.Freeport dan PT.Newmont.  “Kami apresiasi langkah pemerintah yang seperti ini, kita harapkan dalam penentuan BK nantinya Menkeu juga dapat memahami semangat Indonesia incorporeted,” kata Natsir.

Berikut sebagian perusahaan tambang yang telah memiliki smelter;

PT Monokem surya (Penghasil Zirkonium).
PT Delta Prima Steel (Penghasil Pasir Besi)
PT Props Iro Sttel (Penghasil Pasir Besi)
PT Meratus Iron Jaya Steel
PT Batu Licin Kalimantan (Penghasil besi)
PT Indoferro (Penghasil Nikel)
PT Krakatau Posko
PT Indotama Ferro Alloys (Penghasil Mangan).

BACA JUGA: