JAKARTA, GRESNEWS.COM - Rencana Revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Tambang Mineral dan Batubara yang diusulkan Pelaksana Tugas (Plt) Menteri ESDM Luhut Binsar Panjaitan dinilai akan memperlebar kran ekspor mineral konsentrat dan ore bauksit, nikel dan mineral jarang hingga tahun 2021. Selain itu revisi juga akan mengancam program penataan sektor pertambangan yang dirintis pemerintahan Jokowi.

Khalisah Khalid, Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) menilai kebijakan ini hanya akan menguntungkan korporasi pertambangan. Hal ini juga menunjukkan ketergantungan negara pada ekonomi palsu pertambangan. Pemerintah dituding hanya menjadi pelayan industri pertambangan yang telah menguras kekayaan alam, penghancuran lingkungan hidup dan mengancam keselamatan warga. Walhi melihat ada konflik kepentingan yang kuat diantara pejabat publik yang mengusulkan revisi PP 1/2014.

"Rencana revisi dari Plt. Menteri ESDM justru bertentangan dengan komitmen Presiden," ujar Khalisah di Kantor Walhi, Selasa (11/10).

Ia menyebut rencana revisi PP No 1 tahun 2014 merupakan pelanggaran yang kesekian kalinya terhadap Undang-Undang No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). Khususnya Pasal 102 dan 103 yang mewajibkan perusahaan mineral melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri.

Termasuk pelanggaran atas Pasal 170 UU Minerba yang mewajibkan seluruh pemegang Kontrak Karya (KK) yang sudah berproduksi untuk melakukan pemurnian selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak UU Minerba diundangkan.

Khalisah mengingatkan pemerintah harus segera meninggalkan ketergantungan pada ekonomi palsu pertambangan yang melanggengkan pengurasan kekayaan alam dan mengancam keselamatan rakyat. Jika pelanggaran-pelanggaran ini tidak dihentikan, maka ia menilai, Presiden Jokowi sedang membuktikan dirinya sebagai pelayan industri tambang.

"Dalam konteks ini, maka Freeport adalah perusahaan tambang yang paling diuntungkan," ungkapnya.

Senada dengan Khalisah, Kepala Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Melky Nahar mengungkapkan bahwa rangkaian pelanggaran atas UU Minerba dimulai sejak diterbitkannya Peraturan Menteri (Permen) ESDM No 20 Tahun 2013. Permen tersebut memberikan waktu bagi Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk melakukan ekspor mineral mentah secara bersyarat hingga 12 Januari 2014. Terbitnya PP No 1/2014 dan Permen ESDM No 1 tahun 2014 telah memberi kelonggaran ekspor mineral konsentrat hingga tahun 2017.

Penerbitan Permen ESDM No 11 Tahun 2014 yang memberikan toleransi pelonggaran ekspor melalui prosentase progres pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian (Smelter). Dimana salah satu syarat bagi perusahaan mendapatkan rekomendasi izin ekspor, bila pembangunan smelter dengan progres minimal pembangunan mencapai 60 persen. Terakhir, pemerintah menerbitkan Permen ESDM No 5 tahun 2016 yang menghapus ketentuan syarat progres pembangunan smelter untuk mendapatkan perpanjangan ekspor mineral.

"Anehnya, diterbitkannya beleid ini bertepatan dengan pengajuan perpanjangan ekspor konsentrat oleh PT Freeport Indonesia yang progress smelter-nya hanya mencapai 14 persen," ujar Melky di tempat yang sama, Selasa (11/10).

Menurut Melky, Rangkaian kebijakan pelonggaran tersebut menjadikan PT Freeport Indonesia mendapatkan kuota ekspor 4,55 juta ton konsentrat. Dari 4,55 juta ton konsentrat ini, PT Freeport Indonesia memproduksi 1.016 juta pon tembaga dan 1.663.000 t oz (troy ons) emas, dengan total uang mencapai USD 256 miliar atau Rp 3.328 triliun setara dua kali APBN Indonesia.

"Kebijakan pelonggaran ekspor ini akan menguras habis-habisan cadangan mineral mentah Indonesia untuk dijual hingga 2021," tegas Melky.

POTENSI DIGUGAT WTO - Pendapat itu diperkuat Aryanto Nugroho Manajer Advokasi dan Jaringan, Publish What You Pay (PWYP) Indonesia. Ia menyatakan bahwa revisi PP No 1 tahun 2014, selain bertentangan dengan UU Minerba. Juga bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 10/PUU-XII/2014 yang memperkuat kedudukan Pasal 102 dan 103 UU Minerba dan menegaskan pentingnya hilirisasi.
 
Menurut Aryanto, relaksasi ekspor konsentrat dan ore berpotensi memporak-porandakan proses penataan sektor pertambangan yang sedang berjalan. Termasuk program kordinasi supervisi (Korsup) KPK bersama Kementerian di sektor Minerba, serta proses transisi perpindahan kewenangan perizinan daerah dari Kabupaten ke Provinsi. Pasalnya, masih terdapat 2596 IUP Mineral yang masih berstatus Non-C&C karena persoalan administratif, tumpang tindih tata wilayah dan spasial, serta tidak memenuhi kewajiban keuangan serta alokasi dana rehabilitasi lingkungan dan pasca-tambang.

Selain itu, Aryanto juga menjelaskan bahwasanya revisi tersebut juga bertentangan dengan strategi perekonomian nasional tentang hilirisasi yang merupakan bagian dari janji politik Nawacita Pemerintah Jokowi-Jk pada Pemilu 2014 dalam nawacita. Serta bertentangan dengan RPJMN yang menjadi haluan strategis pembangunan jangka menengah (5 tahun).

Sebagaimana diketahui, hampir 90% dari IUP Minerba berdasarkan data awal Korsup Minerba KPK tidak mengalokasikan dana jaminan reklamasi & pasca-tambang. Bahkan, di Kalimantan Timur saja, terdapat sekitar 3000-an lubang bekas tambang-yang telah menelan korban hingga 25 jiwa, dimana sebagian besar adalah anak-anak-generasi masa depan bangsa.

"Relaksasi ekspor mineral akan memicu kembali laju eksploitasi sumberdaya alam secara besar-besaran, yang mempercepat daya rusak lingkungan, minim standar keselamatan, dan menimbulkan tragedi kemanusiaan," Jelas Aryanto di Kantor Walhi.
                    
Aryanto juga menambahkan, alih-alih melaksanakan janji moratorium sebagaimana dinyatakan Jokowi beberapa bulan silam. Pelonggaran keran ekspor mineral justru menimbulkan ketidakadilan bagi sebagian pelaku ekonomi yang telah membangun fasilitas smelter. Situasi tersebut tentu akan menggiring ketidak-pastian regulasi dalam berusaha dan dapat memancing tuntutan lebih lanjut.

Perlakuan diskriminatif bagi investor yang telah membangun smelter di Indonesia serta pengenaan pajak ekspor pada persentase tertentu yang melekat pada kebijakan relaksasi juga teridentifikasi sebagai export restriction dalam konteks non-tariff barriers.

Hal ini tentunya membuka potensi Indonesia untuk  kembali diprotes di WTO ataupun digugat oleh investor asing ke lembaga arbitrase internasional dengan menggunakan mekanisme International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID).

"Ketika kebijakan larangan ekspor konsentrat diterapkan, Indonesia diprotes keras di WTO, bahkan pernah digugat ke ICSID oleh Newmont," ujarnya.

Akan tetapi menurutnya, jangan menganggap penerapan relaksasi ekspor mineral mentah saat ini akan menghilangkan protes tersebut. "Potensi Indonesia digugat di WTO atau pun ICSID sangat terbuka, akibat penerapan kebijakan yang diskriminatif ini," tambahnya.

BACA JUGA: